MELAWAN MAUT
Sore
itu, tepat tiga puluh enam tahun silam, hujan makin lebat. Langit menumpahkan
air ke bumi. Dari kaca jendela tampak jelas derasnya hujan. Sawah yang terbentang luas di depan sekolah, tak lagi terlihat. Kelabu,
yah semua memutih.
Samar-samar
terlihat anak-anak berlarian, ada yang pakai payung ada pula yang sengaja
hujan-hujanan. Seketika, pintu terbuka. Anak-anak tercengang. Nampak jelas
genangan air hujan di halaman sekolah. Rupanya angin di luar amat kuat. Dingin pun
mulai merambat menyusuri seluruh nadi.
SMP
Negeri angkatan pertama. Satu-satunya SMP Negeri yang terletak tak jauh dari
Samudera Indonesia. Wilayah Cianjur Selatan yang langsung berbatasan dengan
Kabupaten Sukabumi. Sebuah daerah terpencil jauh dari keramaian kota.
Kelas
I semester pertama, terdiri dari tiga
kelas, A, B, dan C. Di kelas I A, pelajaran terakhir matematika. Pak Dudung
selalu tepat waktu. Ia tak pernah bisa kompromi, walau hujan badai sekalipun.
Tak ada korupsi waktu. Konsentrasi belajar saat itu telah pudar. Menghitung
luas lingkaran, nyaris tak pernah usai. Hasil perkalian selalu salah dan salah.
Karenanya pak Dudung semakin marah-marah.
Hampir
pukul lima sore. Kelas mulai gelap. Tak mampu lagi melihat goresan kapur di
papan tulis. Begitu pun rumus luas lingkaran yang baru saja ditulis hampir tak
terlihat. Tak ada listrik. Anak-anak mulai resah. Makin gelisah, setelah mendengar teriakan
anak-anak di luar.
“Caah dengdeng... (banjir bandang),
Cisokan banjir...., Cisokan banjir...!” suara anak-anak berteriak. Kelas IB dan
IC mulai berlarian menembus derasnya air hujan. Pak Dudung pun, akhirnya tak
bisa menghalangi anak-anak pulang. Sekolah di desa, tantangan alam memang tidak
bisa disepelekan. Bagi siswa yang dekat sekolah memang tidak ada masalah. Tapi
bagi siswa yang jauh, hal itu adalah masalah besar. Lebih-lebih bagi kampung
yang melewati sungai. Sedangkan hampir semua sungai tidak ada jembatan.
Kemana
harus pulang, apakah nginep atau pulang? Bimbang dan ragu. Membayangkan jalan
yang panjang. Delapan kilometer menempuh sawah yang becek, beberapa
perkampungan dan hutan. Senja mulai menyapa. Entah jam berapa bisa sampai di
rumah. Bila pukul lima baru keluar sekolah. Beranikah menghadapi gelapnya
malam? Rangkaian pertanyaan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.
“Hai...
Mi, jangan melamun! Ayo pulang!” Teti membangunkan hayalan.
“Hai...
juga!” jawabku sambil berdiri di teras sekolah.
“Ayo
pulang, takut banjir bandang!” Teti mengingatkanku sambil membukakan payungnya.
“Hati-hati
yah, dadah....!” kata anak-anak itu serempak. Mereka melambaikan tangan.
Setelah dibalas lambaian tangan mereka pun berlarian. Sedangkan aku berdua
bersama si Enur mengemasi sepatu, dimasukkan keresek kemudian dimasukan lagi ke
dalam tas buku. Jika sepatu dipakai, mungkin hari itu akan hancur terkena
lumpur.
Aku
berdua menyusuri jalan sawah yang sangat
becek. Payung yang dipakai kadang meliuk-liuk terkena derasnya air hujan.
Kadang meliuk ke kanan, kadang ke kiri. Payungku saat itu, tak mampu menahan.
Rok dan kemeja putihku mulai basah kuyup. Bahkan tas buku yang kugendong pun,
tak mampu kulindungi. Ini bukan hujan biasa.
Petir
dan kilat bersahutan. Aku dan Enur, dua anak perempuan yang baru dua belas
tahun, tertinggal oleh teman-teman.
Mereka anak lelaki telah jauh berlari. Kini tak ada yang bisa dijadikan teman,
saat aku berdua ketakutan.
Menyusuri
jalan sawah yang becek, sering terpeleset. Jari-jari kakiku terasa sakit,
beberapa kali ditancapkan, menahan berat badan dari licinnya jalan. Terkadang
terasa pedih terkena duri yang tak terlihat dalam lumpur. Sakit dan pedih
seakan tak pernah kurasa, hanya takut dan takut yang memenuhi kepalaku.
“Mi,
nginep di rumahku yah!” kata Enur kepadaku.
“Emmh,
engga Nur, aku pulang ajah,” jawabku sambil terus berjalan mencari pijakan,
agar tak lagi terpeleset.
“Maghrib,
Mi. Hari hampir gelap,” ajak Nur.
“Memang.
Tapi Nur, aku engga bawa baju ganti. Lagi pula tugas yang kemarin masih di
rumah. Sedangkan besok dikumpulkan. Bagaimana, nanti aku dimarahin. Gini aja,
kalau besok-besok hujan aku nginep. Oke Nur ?”
“Siip
lah!” jawab Enur sambil menghentikan langkahnya, karena telah sampai di depan
rumahnya.
“Mi,
apa kamu berani pulang sendiri? Ingat, ini udah magrib. Dengar tuh, adzan!
Bentar lagi juga gelap,” si Nur tengadah menunjuk suara adzan yang bersahutan
di tiap mesjid.
Anehnya
pula, suara kentongan sejak tadi tak berhenti. Tidak biasanya, padahal jika
sudah terdengar adzan kentongan suka berhenti. Ini sudah hampir satu jam, terus
menerus berbunyi. Dulag, bukan. Mana mungkin ada orang dulag, ini buka mau
lebaran.
“Nur,
ada yang aneh tidak menurutmu?”
“Apa
yah, Mi?”
“Kentongan!”
“Oooh,
bener. Kenapa yah dari tadi berbunyi? Padahal kalau sudah adzan kentongan
berhenti. Dulag juga bukan,” si Nur mengerutkan keningnya sambil memicingkan
kupingnya.
“Mungkin
tanda bahaya,” jawabku sedikit takut.
“Benerkan,
kataku? Kamu nginep di rumahku, kamu sih, bandel. Mia..., Cireang pasti banjir
bandang. Kalau kamu masih bandel juga, jangan pakai jalan itu,” Enur melarangku
sambil memegang tanganku. Namun aku berusaha melepaskan tangannya.
“Nur,
hari ini aku harus pulang. Doakan saja aku. Yah, aku mau jalan jembatan. Biar
pun jauh, aku ke situ aja. Doakan aku yah!” aku berpandangan, lalu pergi
diantarkan tatapan sahabat sejatiku.
Jalan
masih panjang, sekitar empat kilometer lagi. Kalau tidak hujan, dengan jalan
biasa satu jam juga sampai. Tapi, dengan kondisi jalan seperti ini yang licin,
becek dan jauh, belum terbayang jam berapa sampai di rumah. Lahaola
saja, semoga dimudahkan.
Tiba
di jembatan Cireang pertama, air setinggi enam meter. Jembatan setinggi enam
meter itu telah rata dengan air. Dapat dibayangkan, jika aku tadi memaksakan
jalan lewat ketempat biasa, langsung hanyut terbawa arus. Setengah berlari aku
melewati jembatan itu, takut jembatan itu hanyut lagi seperti dulu.
Aku
terus berjalan setengah berlari, jika ada jalan menurun aku berlari kencang.
Bila tiba di pemukiman, hatiku tenang. Namun jika masuk hutan apalagi di tempat
itu dikabarkan angker, bulu kuduk ini berdiri. Ancang-ancang berlari, tak
pernah berani tengok kanan dan kiri. Bahkan, sekali pun ingin nengok ke
belakang, aku tak berani. Kata orang, jika malam berjalan sendirian jangan
nengok ke belakang. Dengan nafas engos-engosan aku berlari kencang.
Tak ada orang kutemui dijalanan sepanjang jalan.
Mungkin mereka tengah shalat magrib, mengaji atau mungkin ketakutan karena di luar
hujan. Ditambah lagi suara kentongan masih juga berbunyi. Padahal waktu magrib
telah lewat. Apa mungkin kentongan menjelang Isya? Ah, itu tak mungkin.
Biasanya juga tidak begini.
Tiba
di Pagadungan, sebuah kampung yang bersebrangan dengan kampungku. Jika memang
disatukan dengan jembatan layang, tidak perlu waktu lama bisa sampai. Kampung
itu dipisahkan dengan sungai Cireang yang jauh di lembah sana. Dari tempat aku
berdiri, turun ke Cireang melewati jalan berbatu dan hutan. Hanya dua kilometer
lagi jalan yang harus ditempuh. Tapi tempat inilah yang paling menakutkan.
Antara
terus berjalan atau berhenti. Beberapa menit aku menatap jalan yang akan
kulalui. Terbayang, apa yang akan terjadi sepanjang jalan itu. Ya Tuhaaan...
Sejenak aku berpikir dan memanjatkan doa. Andai aku harus terus berjalan,
berikan aku keberanian. Andai tempat itu berbahaya bagiku, maka hentikan
langkahku sampai di sini.
Meskipun
hati ini ragu, aku berusaha memantapkan hati. Menuruni jalan berbatu yang
berliku. Tibalah di jembatan yang membentang sepanjang duapuluh meter. Tinggi
jembatan dari dasar sungai sekitar lima belas meter.
Dengan
hati-hati aku mendekat. Tertatih-tatih melintasi licinnya batu cadas bercampur
tanah merah. Hatiku makin cemas. Sedikit saja terpeleset jatuh terpental.
Tiba
di ujung jembatan, jantungku berdebar tidak karuan. Inikah hari terakhirku?
Gumpalan air itu menyurutkan langkahku. Deru air bah, yang berbuih di kolong
jembatan seketika menghapus semua impianku. Kematian membayang di depan mata.
Air bah itu akan mengakhiri hidupku.
Hanya
doa yang bisa aku panjatkan, lahaula
wallakuwwata illabillahi aliyill adziim. Selangkah, dua langkah berhenti,
selangkah dua langkah berhenti. Begitu pun selanjutnya. Kaki bergetar, hatipun
menggelepar. Aku sedang bercanda dengan maut, atau menantang maut?
“Ya
Allah...!”Aku terkejut setengah mati. Kuangkat kedua tanganku, memohon pada
yang Maha Kuasa.
“Jembatan
ini putus. Bagaimana mungkin aku kembali ke belakang. Satu kilometer lagi aku
sampai ke rumah. Ya Allah, tolonglah hambamu ini! Ibu, Umi, Apih, tolong Mia.
Doakan Mia, Ibu..., Mia masih mau hidup. Beri Mia kesempatan untuk
membahagiakan orang tua, Ya Allah. Beri kesempatan Mia mewujudkan impian.”
Air
mata pun mengalir di pipiku. Tempat ini, akan menjadi akhir semua ceritaku.
Inikah hari penghabisanku?
Kulihat
pegangan tangan dari bambu masih kuat. Walau titiannya telah tiada, masih ada
pijakan dari pohon kelapa. Rupanya itu bekas penyangga titian yang masih
tersisa. Meskipun banyak paku menancap, dengan hati-hati aku merayap hingga
tiba diujung jembatan. Alhamdulillah.
Di
ujung jembatan itu, kembali aku gelisah. Tanjakan itu berliku bagaikan ular. Di
bawah pohon sawo yang besar, banyak cerita orang. Jika ada yang lewat,
tiba-tiba pohon itu diterjang angin besar, dengan ringkikan serem wanita
tertawa. Sedangkan rumpun bambu di tanjakan itu, ada penghuninya. Yang lebih
mengerikan, di ujung hutan ini, ada
pekuburan besar yang angker.
“Ya
Allah, berikan aku kekuatan dan keberanian. Jauhkan aku dari hal-hal yang
menakutkan,” bibirku terus-menerus berdoa.
Kemudian
aku membacakan Ayat Kursi, Al-Ihlas,
Al-Falaq, serta An-Naas, berulang
kali dengan suara keras, hingga tiba di perkampungan. Pikirku, semua jin,
syaitan dan genderewo akan lari kocar-kacir mendengar ayat-ayat Allah.
Alhamdulillah dengan keyakinanku kepada yang Maha Kuasa, akhirnya aku tiba di
rumah tepat adzan Isya. Terlihat ibu sedang berdiri di pintu menungguku.
“Aduh...
Mia anak ibu. ternyata benar kamu itu nekad pulang. Ibu cemas sekali
sayang....” ibu memelukku sambil menciumiku kiri dan kanan. Ibu menuntunku ke
dapur, karena seluruh badanku basah kuyup.
Aku
hanya terdiam. Tak ada yang ingin aku sampaikan. Semua ketakutanku telah
berakhir.
“Mia,
kamu pakai jalan mana sayang? Cireang airnya besar. Tak ada orang yang berani
menyeberang,” kata ibu cemas.
“Jembatan
bu.”
“Mia,
bisa lewat jembatan itu? Sama siapa sayang? Jembatan itu putus, sudah lama,”
jawab itu keranan. Lalu ibu memberikan handuk kering kepadaku.
“Iyah
Bu, jembatannya putus,” kataku sambil menggigil kedinginan.
“Kamu
sendirian?” kata ibu cemas.
“Sendiri,
Bu, emang sama siapa lagi. Tak ada orang sepotong pun, hmmh....hmmmh...” aku
makin menggigil, tanganku menggelepar, gigipun bergetar sampai terdengar
bunyinya.
“Ganti
baju dulu, nanti aja ceritanya. Kamu kedinginan, nanti sakit,” ibu menarik tanganku
agar segera ganti baju ke kamar mandi. “Ini ibu buatkan teh manis panas, biar
anak ibu tidak kedinginan.”
Selesai mandi dan ganti baju, aku minum teh
manis panas dari ibu. Tiba-tiba, Wa Rati datang.
“Mia,
baru datang? Ua cemas sekali, Nak.”
“Iyah,
Kak..., baru aja tiba,” jawab ibu.
“Duh...
dari tadi tak enak hati. Dengar suara kentongan sejak tadi sore tak berhenti sampai sekarang. Pasti
besok pagi ada kabar duka,” kata ua Rati.
“Itulah
Kak dari tadi, aku sama gelisah. Tapi alhamdulillah selamat,” jawab ibu.
“Iya
istirahat saja, cape. Tidurkan!” kata Ua Rati, kemudian ia pergi lagi dan
hilang ditelan gelapnya malam. Sedang aku, usai makan pegi ke kamar untuk
melepas lelah dan tertidur pulas.
Keesokan
harinya, seperti biasa aku ke sekolah. Di jalan banyak orang yang bertanya.
Katanya ada anak-anak sekolah yang hanyut di sungai. Aku tidak tahu, tak bisa
jawab apa-apa. Entah mengapa, mereka bertanya padaku. Makin dekat ke sekolah,
makin jelas kabar itu, katanya ada tiga orang anak SMP Negeri yang hanyut
kemarin sore. Berita ini makin menambah aku penasaran. Benar ataukah bohong?
Di
depan sekolah banyak orang berkerumun, terbaca dari raut wajah-wajah mereka yang
sendu. Bahkan, matanya memerah. Yakin hatiku, bahwa kabar itu memang benar. Tak
ada lagi canda tawa seperti biasa.
“Mia,
apa kamu sudah tahu?” Yuli bertanya sambil menatap mukaku.
“Tahu
apa?” aku balik bertanya.
“Tiga
orang teman kita hanyut, mereka kelas B dan C, kamu tahu tidak?” Yuli menyampaikan berita duka.
“Innalillahi wainnaillaihi rojiun, siapa?”
aku penasaran
“Teti
dua-duanya kelas B dan C, lalu maesaroh kelas C,” sahut Yuli.
“Subhannallah,”
“Satu
lagi, pabelahnya, Mang Juher,” ujar Indri.
“Dari
perahu?” aku penasaran, ingin meyakinkan kabar dari orang-orang tadi di jalan.
“Iya
perahunya hanyut. Satu perahu dua puluh orang. Yang lain selamat, empat orang
hanyut. Sekarang sudah ketemu tiga orang, Teti I-B, ketemu dari tumpukan sampah
dan badannya tertimbun lumpur sebagian. Teti I-C ketemu tersangkut di akar
pohon besar dekat muara. Maesaroh I-C, ketemu di sebuah leuwi tersangkut di akar pohon yang malang. Kasihan yah, nasib
mereka,” kata Yuli menutup ceritanya. Terlihat air matanya menggenangi kelopak
mata.
“Ya
Tuhan, alhamdulillah engkau telah menyelamatkan hamba. Mungkin nasib hamba akan
seperti mereka jika tanpa pertolonganmu. Di jembatan itu, riwayatku hampir
tuntas. Karena pertolongan-Mu ya Allah, aku biasa selamat. Namun kini, temanku
telah Engkau ambil. Semoga Engkau berikan tempat yang indah disisi-Mu. Tak ada
yang bisa menolak kuasa-Mu. Selamatkanlah semua siswa-siswi SMP Negeri ini,
hingga tercapai semua cita-citanya.”
Kisah memilukan masa kecil penulis
(
Bandung, 29 Januari 2018.)
0 Response to "MELAWAN MAUT"
Post a Comment