MEMAHAMI NILAI-NILAI PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN BUDAYA LOKAL
![]() |
sumber gambar: idntimes.com |
Oleh :
Dr.
Kukun Rahmat,
S.Pd.M.Si.
(Kepala SMPN 3 Bayongbong-Garut)
Pendidikan
berkewajiban mempersiapkan generasi baru yang sanggup menghadapi tantangan
zaman baru yang akan datang. Seperti telah dikemukakan, manusia masa depan yang
harus dihasilkan oleh pendidikan antara lain manusia yang melek teknologi dan melek piker, secara
keseluruhannya disebut melek kebudayaan yang mampu “think globally but act locally”
dan sebagainya.
Namun, hakekat pendidikan nilai-nilai budaya dan karakter masih mengisahkan tanda tanya yang begitu
dalam, apa sebenarnya yang dimaksud dengan pendidikan nilai-nilai budaya dan mengapa pentingnya pendidikan budaya
dan karakter, serta
bagaimana kontribusi nilai-nilai budaya dalam konteks budaya
pendidikan ?
Apabila kita
menilik pada kondisi pendidikan saat ini, kelunturan nilai-nilai kecintaan
bangsa dan budaya ternyata tidaklah mengherankan.
Sekolah-sekolah berstandar
internasional (SBI) dengan segala keunggulannya, yang bahkan menggunakan bahasa
Inggris sebagai pengantar sehari-hari dalam mendidik anak bangsa, bukan tidak
mungkin menyebabkan kecintaan pada nilai budaya bangsa mulai pudar.
Materi-materi pembelajaran
cenderung berorientasi pada ilmu pengetahuan ‘murni’, bersandar pada
kepentingan kognitif siswa tanpa mencoba menggali kembali kearifan budaya lokal
yang diintegrasikan dalam sistem pembelajaran.
Model, metode
dan paradigma dalam pembelajaran yang digunakan para praktisi pendidikan
kebanyakan diadopsi dari ahli-ahli pendidikan bangsa Barat, seperti: Bruner, Reigeluth, Piaget, Gagne, Bloom sampai Dick
Carrey. Inovasi pendidikan yang dilakukan terkadang hanya
diambil ‘mentah’nya saja tanpa mempertimbangkan kondisi dan situasi keragaman
budaya yang ada di negara kita. Seolah kita lupa bahwa kita punya Ki Hadjar Dewantara, R.A. Kartini, KH. Wahid
Hasyim, Sardjito, atau bahkan Sumantri Brojonegoro yang juga memiliki
konsep-konsep pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan
kecintaan terhadap bangsa kita. Padahal Ki Hadjar Dewantara pernah berkata
bahwa ‘untuk mendapatkan sistem pembelajaran yang bermanfaat bagi
peri-kehidupan bangsa, haruslah sistem tersebut disesuaikan dengan hidup dan
penghidupan rakyat’. Hal ini berarti bahwa, melakukan inovasi pembelajaran
dalam dunia pendidikan dengan mengambil ‘keilmuan’dari dunia barat itu tidak
dilarang, tapi adaptasikanlah dengan nilai-nilai budaya yang kita miliki.
Sehingga kita dapat
menciptakan inovasi baru yang sesuai dengan kepribadian dan karakteristik anak
didik bangsa kita.
Dasar pemikiran,
pernyataan, dan permasalahan-permasalahan di atas yang menggugah dan menarik
perhatian penulis untuk melakukan pengkajian secara mendalam tentang
nilai-nilai budaya pendidikan yang berbasis kearipan budaya lokal sebagai dasar
pengembangan jati diri bangsa.
Pengertian
Nilai
Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan,
dicita-ditakan dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota
masyarakat. Karena itu sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan
berharga (nilai kebenaran ), indah (nilai estetika), baik (nilai-moral atau
etis), religious (nilai agama). (Elly,Hakam,Ridwan, 2005:31).
Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi
oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan
sebagainya, sehingga dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat
asalnya dari mana nilai-nilai itu diproduk dibedakan atas tiga macam, yaitu : nilai otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut pendapat
seseorang), nilai heteronom yang
bersifat kolektif (kebaikan menurut pendapat
kelompok), dan nilai keagamaan yaitu nilai yang berasal dari Tuhan. Meskipun nilai
otonom dan heteronom itu diperlukan, karena orang atau masyarakat hidup lekat
dengan lingkungan tertentu yang memiliki sikon berbeda-beda, namun keduanya
harus bertumpu pada nilai theonom.
Yang terakhir ini merupakan sumber dari segenap nilai yang lain. Tuhan adalah
alpha dan omega (pemula dan tujuan akhir).(Tirtarahardja dan Lasulo, 2005:21).
Nilai merupakan standar penuntun orang untuk berbuat
terarah, indah, baik, efisien, dan berharga/bermutu serta benar dan adil. (Djahiri, 1985:20).kemudian dalam ungkapan yang tidak
jauh berbeda, Ahmadi (1991:198) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan nilai
adalah seperangkat keyakinan yang diyakini atau perasaan yang diyakini sebagai
suatu identitas yang memberikan corak yang khusus pada pola pemikiran,
perasaan, keterikatan, maupun perilaku. Adapun Yinger (1970) melihat nilai
termasuk nilai-nilai religi dalam tiga penampilan :a) nilai sebagai fakta watak, dalam arti sebagai indikasi seberapa jauh
seseorang bersedia menjadikannya sebagai pegangan dan pembimbing dalam
pengambilan keputusannya; b) nilai sebagai fakta cultural, dalam arti sebagai
indikasi diterimanya nilai tersebut oleh anggota masyarakat serta dijadikannya
sebagai kriteria normatif dalam pengabilan keputusan; c) nilai dalam konteks
strukturalnya; artinya bahwa nilai itu baik sebagai fakta watak maupun fakta
cultural-memberikan dampaknya pada struktur sosial yang bersangkutan. (Soelaeman, 1988:162).
Pengertian
Pendidikan
Menurut bahasa Yunani :
pendidikan berasal dari kata " Pedagogi" yaitu kata " paid"
artinya " anak" sedangkan " agogos" yang artinya membimbing
" sehingga " pedagogi" dapat di artikan sebagai " ilmu dan
seni mengajar anak".
Menurut
UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional ( pasal 1 ) bahwa Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat, bangsa dan negara.
Dari
pernyataan tersebut di atas dapat kita kaji bahwa pendidikan adalah sebuah
proses bermakna yang dilakukan secara berkelanjutan sepanjang hayat. Proses mengubah
manusia untuk bisa hidup bersama secara berdampingan dengan harmonis (to
live together). Sebuah proses tanpa titik. Pendidikan
merupakan sarana penting dalam penanaman nilai dan pengembangan budaya dan
karakter bangsa. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif
karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai
alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan
kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan
mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui
bahwa hasil dari pendidikan baru terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak
segera tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat
Pengertian
Budaya
Pertama
kali muncul istilah budaya sekitar tahun 1871. Istilah tersebut dikenalkan oleh
seorang antropolog
Edward B. Taylor. Menurutnya, budaya adalah “that complex whole which includes knowledge, beliefs, art, moral, law,
custom and any other capabilities and habits acquired by man as a members of
society” (Susanto, et. al.,2008).
Dari sudut pandang ilmu sosiologi, budaya lebih merupakan sikap kelompok
masyarakat dalam menghadapi fenomena yang terjadi di sekitarnya.
Menurut Elly, Hakam
dan
Effendi, (2005) budaya adalah
bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa dan rasa. Kata
budaya sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal.
Kemudian pengertian ini
berkembang dalam arti culture, yaitu
sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Berikut pengertian budaya atau kebudayaan dari beberapa ahli :
1)
E.B
Tylor, budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum. Adat istiadat, dan kemampuan
yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2)
R.Linton,
kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan
hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentukannya didukung dan
diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.
3)
Koentjaraningrat,
mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik dari
manusia dengan belajar.
4)
Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
5)
Herkovits,
kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.
Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut
keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun non material. Sebagian
besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat
dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan
bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan
yang lebih kompleks. (Elly, Hakam,
dan
Effendi, 2005:
27-28).
Kebudayaan dapat pula berbentuk kelakuan-kelakuan yang
terarah seperti hukum, adat istiadat yang berkesinambungan.
Kebudayaan merupakan suatu realitas yang objektif, yang
dapat dilihat. Kebudayaan diperoleh dari lingkungan. Kebudayaan tidak terwujud
dalam kehidupan manusia yang soliter atau terasing tetapi yang hidup di dalam
suatu masyarakat tertentu.(Tilaar, 2002: 39-40).
Berdasarkan pengertian di atas maka pengertian nilai
budaya adalah lapisan yang paling abstrak atau luas ruang lingkupnya. Yaitu berupa hal-hal yang
paling bernilai dalam kebudayaan masyarakat, Atau ide-ide yang mengkonsepsikan
hal-hal yang paling bernilai tinggi dalam kehidupan masyarakat. Tingkat ini
dapat disebut sebagai system nilai
budaya. Jumlah nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan biasanya tidak
banyak. Contoh salah satu nilai budaya yang bernilai tinggi yang ada di
masyarakat kita, misalnya bangsa Indonesia senang bekerja sama dengan sesamanya
berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsep ini yang disebut nilai gotong
royong. Hampir semua karya manusia biasanya dilakukan dengan kerjasama dengan
orang lain. (Suhendar,Supinah, 1993:43).
Di dalam konteks kebudayaan nasional, globalisasi itu
bukan sesuatu yang menakutkan namun justru membuka peluang untuk menciptakan
kemajuan kebudayaan yang positif; meski globalisasi itu sendiri tidak bebas
dari unsur-unsur negative. Untuk
mengantisipasi itu bangsa Indonesia memiliki pedoman yang disebut “Teori
Trikon”, yang terdiri dari tiga komponen sebagai berikut: kontinuitas, melanjutkan budaya para “leluhur” bangsa yang
mengandung nilai-nilai positif; konvergensi, membuka peluang bagi budaya manca untuk
berakulturasi dengan budaya Indonesia; dan konsentrisitas, hasil pertemuan budaya manca dengan budaya Indonesia
hendaknya dapat menghasilkan budaya (nilai-nilai) baru yang bermakna.
Untuk menjawab derasnya arus globalisasi dan
gejala-gejala sosial serta penyimpangan-penyimpangan sosial yang terjadi pada
masyarakat Indonesia serta masalah – masalah di atas maka untuk itu perlu adanya pembenahan dalam
pendidikan,
yaitu penanaman nilai –nilai budaya dalam pendidikan yang tentunya harus
ditanamkan sejak dini. Karakter warga harus dibentuk melalui penanaman nilai-nilai budaya sehingga pada akhirnya terbentuk karakter
bangsa yang kuat.
Pembentukan karakter harus dilakukan melalui
pendidikan, baik formal maupun informal sehingga nanti mampu membangun karakter
bangsa. Pembentukan karakter bangsa ini tentu saja sangat berkaitan erat
dengan nilai-nilai budaya bangsa yang luhur yang menjadi jati diri bangsa
Indonesia dan tentunya itu harus berkelanjutan.
Adapun nilai – nilai budaya luhur bangsa Indonesia yang harus
ditanamkan adalahmanusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3). Sejalan dengan itu
pada nilai budaya falsafah lelulur sunda ditanamkan bahwa hidup itu itu harus “ cageur, bageur, bener, pinter tur singer”. Selain itu masih banyak nilai budaya luhur
bangsa di antaranya sikap mencintai lingkungan, santun dan juga sikap jujur.
Sebenarnya nilai-nilai ini juga sudah tercantum dalam dalam UU Nomor 2 Tahun
1989 Pasal 4 yaitu “pendidikan nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan
dan kebangsaan.(Hasbulah, 1999:65).
Dengan demikian, nilai-nilai luhur budaya lokal diharapkan mampu
menemukan bentuk sintesis dengan melakukan adaptasi, integrasi, mempertahankan
sistem, dan mengarahkan kehidupan bangsa. Pemikiran secara projektif diperlukan
agar kesatuan sistem nilai-nilai ini dapat dilakukan melalui orientasi teleologis
menuju perkembangan masyarakat Indonesia modern. “ Orientasi
teleologis ini tidak hanya untuk memantapkan integrasi nasional saja, tetapi
juga untuk menentukan kepribadian nasional yang tidak ekslusif tetapi mengait
kepada nilai-nilai universal’.
Kenyataan
yang muncul ke permukaan sebagai akibat dari semakin tergerusnya nilai budaya
setempat atau lokal adalah posisinya yang semakin termarjinalkan terutama di
mata generasi muda. Mereka menganggap nilai budaya tradisional atau lokal adalah sesuatu yang kuno dan
ketinggalan jaman serta sudah tidak mampu untuk bersaing ditengah-tengah
persaingan global. Karena mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang datang
dari luar adalah baik dan harus diikuti bahkan dijadikan pegangan hidup
sehari-hari. Padahal, dalam kenyataannya tidak semua nilai yang masuk dari luar
adalah positif bahkan lebih banyak yang negatif dan bertentangan dengan norma
dan nilai budaya lokal.
Melihat
kenyataan nilai-nilai budaya lokal kita semakin tercabut dari akarnya
serta adanya kewajiban kurikulum yang menerangkan perlunya pengintegrasian nilai-nilaii
lokal dalam setiap pelajaran, maka transformasi nilai-nilai lokal kepada siswa
menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan oleh setiap pendidik melalui penyampaian
nilai-nilai tradisional dengan cara diintegrasikan (disisipkan) pada materi
pelajaran yang disampaikannya.
Upaya
pengintegrasian nilai tradisional tersebut tidaklah akan berhasil dengan baik
jika Guru tidak mampu menyampaikannya, sehingga untuk mencapainya diperlukan
tenaga Guru yang mempunyai pemahaman yang memadai akan nilai budaya setempat disamping
kemampuannya memahami materi pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Untuk
itu, pihak PTK (Perguruan Tinggi Keguruan) perlu mempersiapkan lulusannya agar
mempunyai kompetensi tidak hanya kemampuan intelektual tetapi juga pemahaman
akan nilai-nilai budaya lokal yang berlaku di masyarakat.
Perkembangan
pendidikan pada masa ini masih
menunjukan ketidak berdayaan dalam mengimplementasikan nilai-nilai budaya yang
perlu kita lestarikan melalui proses pendidikan berkelanjutan. Dalam hal ini
seakan-akan nilai budaya sudah terlupakan dikarenakan proses pendidikan yang
dilaksanakan pada saat ini baik metode maupun tekhnik pembelajaran selalu
mengadopsi dari luar tanpa mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang ada.
Untuk mengantisipasi itu bangsa Indonesia memiliki
pedoman yang disebut “Teori Trikon”, yang terdiri dari tiga komponen sebagai berikut: kontinuitas, melanjutkan budaya para “leluhur” bangsa yang
mengandung nilai-nilai positif; konvergensi, membuka peluang bagi budaya manca untuk
berakulturasi dengan budaya Indonesia; dan konsentrisitas, hasil pertemuan budaya manca dengan budaya Indonesia
hendaknya dapat menghasilkan budaya (nilai-nilai) baru yang bermakna.
Melihat
kenyataan nilai-nilai budaya lokal kita semakin tercabut dari akarnya
serta adanya kewajiban kurikulum yang menerangkan perlunya pengintegrasian
nilai-nilaii lokal dalam setiap pelajaran, maka transformasi nilai-nilai lokal
kepada siswa menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan oleh setiap pendidik melalui
penyampaian nilai-nilai tradisional dengan cara diintegrasikan (disisipkan)
pada materi pelajaran yang disampaikannya.
Upaya
pengintegrasian nilai tradisional tersebut tidaklah akan berhasil dengan baik
jika Guru tidak mampu menyampaikannya, sehingga untuk mencapainya diperlukan
tenaga Guru yang mempunyai pemahaman yang memadai akan nilai budaya setempat
disamping kemampuannya memahami materi pelajaran yang menjadi tanggung
jawabnya. Untuk itu, pihak PTK (Perguruan Tinggi Keguruan) perlu mempersiapkan
lulusannya agar mempunyai kompetensi tidak hanya kemampuan intelektual tetapi
juga pemahaman akan nilai-nilai budaya lokal yang berlaku di masyarakat.
Sekolah
mengemban fungsi dan tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai
budaya masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya.
Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan
kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara paedagogis, agar
proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan mulus.
Selain itu sekolah berfungsi untuk mempersatukan nilai-nilai dan
pandangan hidup etnik yang beraneka ragam menjadi satu pandangan yang dapat
diterima seluruh etnik yang beraneka ragam dan mampu melestarikan nilai-nilai budaya daerah yang
masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti
dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan
sebagainya.
Untuk
memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku
untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan
nilai-nilai daerah tertentu.
Selain itu pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial
mempunyai fungsi (1) melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3)
mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional,
(4) melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial
tradisional, dan (5) melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap
institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.
Menurut, “Think Globally, Act Locally” tulis Naisbitt dalam bukunya yang
berjudul Globall Paradox. Bahwa, “ jika kita ingin sukses dalam
persaingan Global, maka kita harus mampu berfikir secara global tetapi
berperilaku dan bertindak lokal”.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Rifan.Menanti Kebangkitan Pendidikan 2011. Tersedia (On Line) http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=269630. Selasa, 4
Januari 2011.
BambangUnjianto (2011)Kemendiknas-Terapan-Konsep-Pembangunan-Berkelanjutan. Tersedia (On Line).http://suaramerdeka.com/vi
/index.php/read/news/2011/01/1375349/kemendiknas-erapan-
Konsep-Pendidikan-pembangunan-berkelanjutan 13 Januari 2011
Hasbullah.(1999).
Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan.PT Raja
Grafindo Persada Jakarta.
Nandika, N Dodi, Prof Dr, Ir:
Pendidikan Akhlak Mulia, (sebuah Introspeksi). Bahan Paparan pada Rembug
Penguatan Nilai-nilai dan Budaya Luhur, Unversitas Muhammadiyah Surakarta
tanggal 14 Juni 2008.
Satryo Soemantri Brodjonegoro.Pendidikan.untuk.Transformasi.Sosial.-3
Tersedia(ONLine).http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/22/17035170/Pendidikan.untuk.Transformasi.Sosial.-3
Soyomukti,
Nurani. (2008). Pendidikan Berperspektif
Globalisasi.Ar-Ruz Media Group Jogjakarta.
Suhendar,
Supinah P. (1993). Ilmu Budaya Dasar.
Pionir Jaya Bandung.
Tersedia (On Line)http:// edukasi.kompas.com/read2010/12/23/1730532/
Pendidikan.karakter.Jangan
Indoktrinasi-5
Tirtarahardja
Umar, La Sulo S.L. (2005). Pengantar
Pendidikan. PT Rineka Cipta Jakarta.
Tilaar, H.A.R. ( 2002). Pendidikan Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani Indonesia. Strategi Reformasi
Pendidikan Nasional.PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
Undang-Undang Repoblik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.Departemen
Pendidikan Nasional Repoblik Indonesia.Jakarta.2003
0 Response to "MEMAHAMI NILAI-NILAI PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN BUDAYA LOKAL"
Post a Comment