MENCARI MUTIARA YANG HILANG
Oleh:
Ai Riani Sofah, S.Pd
(Guru IPS MTsN 2
Tasikmalaya)
![]() | |
|
Undang-undang
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 mengamanatkan bahwa salah satu tujuan
pendidikan, yaitu membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut diterapkan
program pendidikan karakter yang
telah dicanangkan sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan diperkuat dengan revolusi mentalnya Presiden Joko Widodo sehingga keluarlah Peraturan Presiden
Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pada Pasal 2
dinyatakan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter bertujuan membangun dan
membekali peserta didik sebagi generasi emas Indonesia Tahun 2045 dengan jiwa Pancasila dan pendidikan karakter
yang baik guna menghadapi dinamika perubahan di masa depan.
Betapa
pentingnya pendidikan karakter bagi Bangsa
Indonesia dan menjadi perhatian pemerintah yang diwujudkan dalam kebijakkannya.
Di antara jenis sikap dan sifat yang mulia hilang tercerabut dari akar budaya
masyarakat Indonesia adalah kejujuran,
poin kedua setelah nilai religius dari 19 nilai
yang diusung dalam penguatan pendidikan karakter. Hal ini merupakan
tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan sebagai benteng moral
bangsa.
Informasi
melalui media masa tentang tindak ketidak jujuran yang dilakukan oleh oknum
pejabat negara terus mengalir menjadi konsumsi keseharian masyarakat kita.
Bentuk bervariasi seperti tindak korupsi, menggelapan uang, pelecehan, politik
uang dalam pilkada yang berakhir di meja hijau merupakan ekpresi ketidak
jujuran. Di samping itu, berita- berita hoax
dan ungkapan kebencian ( hate speech) dengan motif-motif tertentu
sudah sangat meresahkan. Ini gambaran bahwa telah hilangnya integritas yang
bermuara dari kejujuran. Pertanyaannya
bagaimana sekolah/madrasah dapat mengantisifasi sikap ketidak jujuran tersebut?
Ternyata,
sekolah/madrasah, garda terdepan yang menjungjung tinggi pendidikan moral,
tidak serta merta steril dari tindak
ketidakjujuran. Perbuatan negatif ini
sering ditemukan pada aktivitas sehari-hari dari yang sangat sederhana sampai
yang kompleks, secara individu atau kolektif, secara
liar atau terorganisir. Pelakunya mungkin peserta didik, guru, tenaga
kependidikan dan lain-lain.
Misalnya,
beberapa tahun yang lalu terdengar ada kepala sekolah yang ditahan gara-gara
curang membobol soal ujian nasional sebelum diujikan; guru-guru mata pelajaran
tertentu memberi kunci jawaban kepada peserta didik yang sedang ujian baik
secara langsung maupun melalui phone cell;
ada lagi oknum guru atau panitia mengoreksi jawaban peserta ujian pada lembar jawab komputer dan menggantinya dengan jawaban yang benar berdasarkan
kunci yang dibuat sebelumnya. Di beberapa sekolah kerap terjadi
penyalahgunaan anggaran, penggelembungan siswa untuk pendapatkan BOS lebih
besar, masalah kehadiran pegawai, dan sebagainya. Hal ini merupakan praktik
tindak ketidakjujuran dan jika dibiarkan akan menjadi kebiasaan dan akhirnya
menjadi budaya tidak berdosa.
Adakah tindak
ketidakjujuran yang dilakukan oleh peserta didik? Kebiasaan menyontek ketika
ulangan atau ujian sering ditemukan. Mereka mungkin menyontek dari buku, dari
contekan yang dibawa, atau dari temannya. Banyak juga ditemukan peserta didik yang tidak mau
mengakui kesalahan-kesalahan yang
diperbuatnya, malah menuduh orang lain yang salah. Ini pun gambaran hilangnya
kejujuran pada peserta didik yang sudah dianggap biasa.
Melalui tulisan ini, akan
disajikan arti penting dari sebuah kejujuran, faktor-faktor yang
memengaruhinya, dan cara menerapkan sikap jujur dalam pembelajaran.
Jujur, dalam bahasa arab al- shidq yang artinya
benar, dapat dipercaya. Jujur adalah perkataan dan perbuatan sesuai dengan
kebenaran. Menurut kamus besar bahasa Indonesia jujur artinya lurus hati, tidak
berbohong, tidak curang, tulus dan ikhlas.
Jadi, kejujuran adalah perkataan
atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan ketetapan yang seharusnya sehingga dapat dipercaya. Jujur (al-shidq) merupakan salah satu
karakteristik wajib yang melekat pada
diri rasul yang patut diteladani oleh umatnya. Sedangkan lawan dari jujur
adalah dusta (al kidzb) artinya
berkata dan bertindak tidak sesuai
ketentuan semestinya. Sifat negatif ini mesti dihindari karena akan
mengakibatkan ketidak percayaan, merugikan orang lain dan tidak sedikitt
menimbulkan fitnah dan inilah awal dari kehancuran bangsa.
Kita yakin dan optimis, kejujuran itu masih dibutuhkan orang banyak pada
setiap keadaan, ruang dan waktu. Selama ada kebaikan, orang-orang yang memelihara sifat ini masih ada. Menepis
prasangka sebagian orang bahwa saat ini sulit didapati orang yang jujur. Ada
juga anggapan bahwa orang yang memiliki sifat terpuji ini sulit untuk sukses dalam pekerjaanya. Pernyataan
tersebut jelas keluar dari rasa keputusasaan dan fesimisme seseorang yang tidak
berdasar. Sejatinya, kejujuran itu membawa ketenangan dan ketentraman baik
secara peresorangan mapun secara kolektif. Sifat terpuji ini dapat menumbuhkan kepercayaan
seeorang.
Telah
dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW.
ketika Khadijah mempercayakan barang dagangannya kepada Rasul, bahkan janda
cantik yang saudagar itu sangat tertarik
dengan akhlak terpuji beliau sehingga mempersuntingnya. Kisah lain, ketika hajar aswad di sekitar Ka’bah Baitullah setelah lama hilang dan ditemukan kembali, setiap kabilah
bersaing ingin meletakan kembali hajar aswad pada tempatnya semula, akhirnya keputusan
ada di tangan manusia berbudi agung dan mulia. Beberapa saat menjelang hijrah
Nabi dari mekkah ke Madinah (Yatsrib) Ali Bin Abi Thalib, sahabat Rasul,
disuruh mengembalikan barang-barang orang Quraisy yang dititipkan kepada
Rasulullah. Ini berkat kejujuran dan amanah Rasulullah. Akhlaknya ini tidak
saja dikagumi oleh para sahabatnya tetapi juga diaakui oleh musuh-musuhnya,
bahkan Allah pun memuji perangainya. Sangatlah
pantas jika Rasul diberi gelar al-Amiin (orang terpercaya).
Jujur dalam
pergaulan menuai banyak manfaat, di antaranya:
hidup menjadi tenang, mudah mendapat pekerjaan, memperbanyak teman, memperoleh
kesuksesan, memiliki nama baik dan menjadi contoh bagi orang lain.
Secara teori ada
beberapa faktor yang dapat memengaruhi kejujuran. Pertama faktor pribadi, yaitu proses penyadaran dari dalam terhadap peristiwa yang telah dan sedang dialamainya. Kedua, faktor orang lain yang dianggap penting dapat ikut membentuk serta memengaruhi sikap seseorang. Ketiga
faktor media masa, seperti televisi, koran, majalah, dan internet
berpengaruh sangat besar terhadap
pembentukan sikap. Keempat faktor
emosional, karena sikap seseorang
terkadang merupakan pernyataan
berdasarkan kondisi emosial.
Bagaimana
menerapkan nilai kejujuran dalam
pembelajaran di sekolah? Sekolah sebagai pranata
sosial dan pendidikan kedua setelah keluarga memiliki tanggungjawab membentuk karakter peserta didik. Pembentukan karakter di sekolah diwujudkan dalam penerapan
kurikulum yang holistik mencakup nilai-nilai spiritual, social, pengetahuan dan keterampilan. Pembentukan
karakter disekolah dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung dilakukan oleh pendidik dan terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran.
Semua pendidik dan tenaga kependidikan, tanpa terkecuali, bertanggung jawab
dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai
kejujuran di sekolah.
Misalnya,
peserta didik belajar jujur ketika
melaksanakan ulangan atau ujian dengan tidak menyontek dari buku,
contekan atau dari teman-temannya. Jika perlu tulis slogan integritas dalam kertas jawaban , misalnya “Saya
mengerjakan ujian dengan jujur”, “
Menyontek adalah dosa”, “Allah bersama
orang-orang yang jujur” dan sebagainya.
Latihan jujur
ketika di kantin sekolah, misalnya
setiap barang jualan yang ada diberi label harga, peserta didik bisa
berrtansaksi tanpa ada si penjualnya dengan melihat harga yang tertera dan
menyimpan uangnya pada tepat yang telah ditentukan. Di kantin juga terdapat
slogan misalnya ” Indahnya hidup
jujur,” “ Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar, Allah maha Tahu,” “Hidup Jujur Pasti Mujur”, “ Kawasan ini
dalam pengawasan malaikat” dan sebagainya.
Buatlah fakta
integritas di kelas dipimpin oleh wali
kelasnya pada awal tahun pelajaran dan menempelkannya pada dinding kelas agar terbaca oleh seluruh peserta didik.
Siswa diajari mengelola keuangan kelas merupakan salah satu cara melatih
kejujuran. Biasanya di kelas kerap
terjadi kehilangan buku, uang dan barang-barang lainnya.
Menanamkan
kejujuran di sekolah utamanya dilakukan melalui pembiasaan dan keteladanan. Pembiasaan yang baik akan menjadi budaya dan
tata nilai yang baik pula. Demikian pula
keteladanan yang baik dari kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, satpam,
tenaga kebersihan, peserta didik senior, dapat menumbuhkan karakter peserta
didik. Kedua aspek ini sipatnya mengikat
bagi segenap warga sekolah. Jika tidak, maka akan terjadi ketimpangan dalam
proses dan hasil pendidikan.
Menanamkan
kejujuran itu dapat dilakukan dari hal yang kecil, secara konsisten dan
tanggung jawab semua orang. Pendidikaan nilai tidak hanya diajarkan
secara teoritis tetapi dilatih, dibiasakan, dimasyarakatkan sehingga menjadi akhlak. Kebiasaan membuang
sampah pada tempatnya, mengucapkan salam, meminta maaf ketika melakukan
kesalahan, bersikap adil,peduli, emapti, menepati janji, berbicara lemah lembut
dan sopan adalah nialia-nilai positif yang harus dibudayakan di sekolah.
Beberapa hal
yang dapat dilakukan oleh guru dalam
menanamkan kejujuran kepada peserta
didik melalui instrospeksi, budaya dan
pujian. Pertama lakukan instrospeksi
terlebih dulu sebelum menghakimi atau menyalaahkan peserta didik, sudah
jujurkah guru dalam mendidik, sudah ikhlas sepenuh hati tanpa ada diskriminasi? materi yang
disampaikan sudah sesuai dengan metode yang tepat? Kedua,
ciptakan budaya berani jujur dalam setiap
keadaan dimanapun dan kapanpun. Ketiga,
berikan pujian pujian kepada peserta didik bukan hanya pada hasil tetapi juga pada usahanya
dengan jujur. Berikan teguran dengan
santun jika ada yang nyontek atau
curang, tuliskan pesan edukatif di
kertas ulangannya.
Strategi yang
pernah penulis lakukan ketika memberikan ulangan kepada peserta didik. yaitu sebelum dimulai
atur tempat duduk untuk menghindari kerjasama dalam menjawab
soal; berikan soal uraian yang menuntut peserta didik berpikir analisis,
evaluasi dan kreasi; awasi mereka dengan
ketat jika soalnya mudah atau bentuk pilihan ganda; buat
variasi soal yang berbeda dengan bobot yang sama; dampingi dan catat bila ada
hal-hal yang penting; dan berikan teguran jika ada siswa yang menyontek.
Menutup tulisan
ini, untuk membangun negara yang kuat,
berkemanusiaan, adil dan beradab tidak
hanya dibutuhkan orang–orang yang berilmu tinggi dan terampil tetapi juga
orang–orang yang jujur. Kejujuran diperoleh dari konsistensi pembiasaan, pembudayaan
dan keteladanan dalam kegiatan pembelajaran yang menjungjung tinggi nilai-nilai
kebijaksanaan. Kejujuran itulah mutiara yang hilang. Wassalam.
0 Response to "MENCARI MUTIARA YANG HILANG"
Post a Comment