MY DIARE
MY DIARE
Oleh:
Neneng Irmawati, M.Pd.
Amel
menatap kakaknya heran. Beberapa hari lalu bilang kapok. Sekarang kebiasaan
buruknya kambuh lagi.
“Kak Ardi
ini gimana sih, kemaren-kemaren mau berhenti, ko malah semakin jadi. Baru
sembuh lho! Nanti sakit lagi, yang repot kan Ibu.” Amel menggelengkan kepala,
tak mengerti dengan sikap kakaknya yang bebal.
Sang Kakak
tak menghiraukan celoteh adiknya. Dia asyik menyuapkan gumpalan daun singkong
berbalut sambal ke mulutnya. Dengan cekatan tangannya meraup nasi, mencubit
sedikit goreng ayam, dan segera melahapnya. Lagi dan lagi. Sesekali Ardi
mengusap peluh yang mengalir di kedua pelipisnya. Pipinya memerah. Bibirnya
kelihatan merekah akibat rasa panas oleh pedasnya sambal. Dalam waktu singkat
Ardi menghabiskan makanannya, berikut semangkok sambal, ludes tak bersisa.
Ardi
menikmati betul makanan kesukaannya. Sambal buatan Ibu. Rasanya tiada tara.
Malam itu menu yang terhidang di meja makan tak kuasa dia hindari. Semua
nasihat dokter terlupa begitu saja. Harus banyak minum air. Berolah raga. Jangan
lupa sarapan. Dan yang utama berhenti mengkomsumsi segala jenis makanan pedas.
“Ususmu
tidak akan kuat Ardi,” ucap dokter, “Lambungmu juga akan bermasalah jika kau
terus menerus makan sambal dan sejenisnya. Sedikit-sedikit cobalah kaukurangi.
Hati-hati memilih makanan, ya. Banyak juga makanan yang enak tanpa harus
pedas.”
Akh ...
mudah saja dokter itu bicara! Ardi mengangkat kedua tangannya di atas kepala.
Perutnya kenyang penuh. Wajahnya memancarkan kepuasan. Kemudian diraihlah gelas
minum yang berada di samping piring yang telah kosong. Setelah menenggak sisa
air dalam gelas, Ardi menoleh kepada adiknya.
“Awas kalau
bilang Ibu.”
“Itu sambal
buat Ayah, bukan untuk Kakak. Kalau Ibu tau pasti marah besar.” Amel mendelik
sambil merapikan bukunya yang tergeletak berserakan di atas meja makan.
“Eh, siapa
suruh sambalnya ditaruh di sini. Lagian Ayah lembur malam ini. Pasti dia makan
di kantor. Sayang kan kalau sambalnya basi.”
Amel tak
langsung menjawab. Bergegas dia memasukkan bukunya ke dalam tas. Tugas sekolah
sudah tuntas dia kerjakan. Tidak ada alasan untuk berlama-lama di ruang makan.
Sudah bosan rasanya dia mengingatkan kakaknya.
“Sudah
sakit baru tau rasa....” Amel mendesis pelan dan meninggalkan Ardi yang
terlihat mengelus perut.
*
Hari ini
penting buat Ardi. Bagaimana tidak, dia menghadapi dua ulangan sekaligus di
sekolahnya. Dan Ardi tidak mau begitu saja melewatkannya. Ulangan mata
pelajaran apa pun baginya tidak berarti melulu tes. Ini prioritas dan prestise.
Ardi senang membuktikan bahwa dirinya mampu menaklukkan setiap tantangan tugas
dari gurunya. Suka pamer. Itulah Ardi.
Tapi Ardi
memang anak yang cerdas. Selain karena rajin dan selalu cermat menyimak guru,
mungkin juga didukung faktor keturunan. Ayahnya seorang insinyur teknik lulusan
perguruan tinggi negeri terkenal. Ibunya bekerja di salah satu firma hukum
sebagai notaris. Dia lahir dari keluarga terpelajar. Ardi tidak perlu repot
mencari sumber belajar. Ratusan buku tersusun rapi dalam ruang perpustakaan
keluarga yang dibangun ayahnya. Dan Ardi bisa dengan mudah memanfaatkan
jaringan internet yang terpasang di kamarnya setiap saat. Lengkapnya fasilitas
belajar ditambah dorongan dalam diri yang kuat untuk berprestasi melahirkan
Ardi “Sang Juara”.
Satu jam
menjelang azan Subuh Ardi sudah bangun. Rasa mules memaksa dia segera bergerak
menuju kamar mandi. Cukup lama Ardi nongkrong di dalam, sebelum suara ketukan
dari luar membangunkan “kesadarannya”.
“Cepat dong
... lama amat ....”
“Iya, iya,
sabar dikit napa sih.” Ardi membuka pintu dengan wajah sedikit merengut. Dia
tidak suka kenikmatannya terganggu.
“Kalau mau
tidur jangan di sini, kebiasaan tau. Kakak suka lupa keluar kalau dah di WC.”
Mata Amel sedikit menyipit melihat kakaknya masih meringis sambil memegang
perutnya. “Mules nih yeeee, syukurin dech!”
“Akhhh
bawel ...,” ucap Ardi kesal.
“Ada apa
ini, masih pagi kok sudah pada ribut?” Ayah Ardi muncul dari balik kamarnya.
“Ayo Ardi, siapkan sajadah ... kita salat berjamaah, sebentar lagi azan.”
“Siap,
Bos!”
Segera
setelah mandi dan berseragam, Ardi bergegas keluar rumah. Dirinya siaga masuk
ke mobil ketika suara ibunya memanggil dari dalam rumah.
“Ardi
sarapan dulu, Nak!”
“Tak usah,
Bu. Aku nanti makan di kantin aza. Dah telat nih.”
“Oh, tak
bisa begitu. Duduk Lazuardi dan habiskan makananmu.” Kedua tangan Ibu menekan
bahu Ardi dan menggeser piring sarapan lebih dekat dari jangkauan anaknya.
“Tidak ada yang lebih penting untuk memulai aktivitas di luar selain sarapan
terlebih dahulu. No excuse, Ardi.”
Ardi enggan berdebat dengan ibunya yang super disiplin. Secepat kilat dia
menghabiskan sarapannya. Perutnya sedikit melilit. Tapi Ardi tak peduli.
Pikirannya sudah lebih dulu melesat menuju sekolah.
**
Suasana di
kelas IX C tidak seperti biasanya. Senyap. Sebagian besar siswa sudah berada di
dalam. Ini kebiasaan yang tak aneh. Jika ada ulangan, tempat duduk menentukan
segalanya. Itulah sebabnya mereka berebut sepagi mungkin mencapai posisi
strategis. Kedua dari belakang adalah pilihan terbaik. Pertama, jauh dari
jangkauan guru. Kedua, mudah menengok kanan kiri. Ketiga, bebas berinteraksi
dengan “tetangga” senasib. Kalau berani mengambil resiko, mungkin bisa sedikit
mengintip catatan. Banyak cara dilakukan untuk menjaga keadaaan aman terkendali.
Akh ... romantika ulangan.
Tapi ini
tidak berlaku bagi Ardi. Dirinya selalu percaya diri. Ketika temannya serentak
bergerak ke belakang, dia malah nyaman berada di depan. Ardi memilih bangku di
baris pertama paling sisi. Jauh dari bisikan temannya yang tak berdaya karena
kelelahan memikirkan jawaban.
“Di, siap?”
Dejan menepuk bahu Ardi pelan. Tubuhnya yang gempal dimiringkan ke depan,
berusaha melihat apa yang sedang dibaca Ardi.
“Insya
Allah, kamu?” sambil sedikit memberi ruang pada teman baiknya, Ardi menoleh
tersenyum.
Dejan tak
langsung menjawab. Diraihnya buku yang sedang dipegang Ardi. “So pasti, lah.
Aku tenang selama ada dirimu di sampingku.” Gombalan Dejan membuat Ardi
tersenyum kecut. “Belajar dong kalo lo mau hasil bagus, mau enaknya saja.”
Dejan tak
menimpali. Dia malah melihat wajah Ardi. “Ko pucat, Di? Stres, ya?” Ardi diam.
“Maaf-maaf saja, ya, tapi kali ini nilaiku pasti lebih bagus dari lo.”
“Sudahlah,
tuh lihat Bu Neli sudah masuk.”
Betul saja.
Guru matematika yang selalu berpenampilan anggun itu berdiri di depan kelas.
Setelah mengucapkan salam, matanya mengitari seluruh siswa satu per satu.
“Anak-anak,
sesuai rencana, hari ini kita tes. Tidak ada buku apa pun di atas meja. Seperti
biasa, atur posisi meja kalian agar tidak saling berdempetan. Dan semua tas
tolong simpan di depan.” Dengan cepat siswa menggeser meja, merapikan alat
tulis, dan memindahkan tas mereka ke depan.
Soal
dibagikan. Ulangan dimulai. Suasana hening. Bu Neli duduk mengawasi. Untuk
sementara tidak ada gerakan yang mencurigakan. Semua siswa khusyuk mengerjakan.
Dua puluh
menit berlalu. Ardi menggigit bagian bawah bibirnya. Keringat dingin keluar
dari tubuhnya. Sesekali dia meringis. Tenang
... sebentar lagi ... sebentar lagi. Ardi mencoba menenangkan diri. Dia
mendengar suara-suara kecil dalam perutnya. Akh
sial nih perut, ga bisa diajak damai. Ardi merengut dalam hati. Tanpa
disadari dia menoleh ke samping lalu ke belakang. Beberapa teman yang Ardi
lihat masih tunduk sambil sibuk menulis. Berjuang menaklukkan rumus. Di
sampingnya, Dejan, menggarukkan pulpen ke kepala. Alisnya menggernyit. Juga
sedang berpikir. Ardi mencoba untuk kembali pada soal. Baru setengahnya
selesai. Namun gejolak dalam perutnya sungguh membuyarkan konsentrasi.
“Valiza ...
ayo kerjakan sendiri, tak perlu larak-lirik begitu ....” Suara Bu Neli sedikit
mengagetkan Ardi. Sedang yang disebut namanya, hanya tersipu malu.
Detik demi
detik membuat Ardi tersiksa. Dia tak kuasa lagi menahan mules. Usus besarnya
terasa terpilin. Mengerut perih. Sakitnya menjulur sampai ke dada. Membuat
napasnya sesak. Lambungnya siap-siap meledak. Ardi terbatuk-batuk. Tubuhnya
bergoncang. Sesaat kemudian Ardi pasrah. Maka terjadilah sesuatu yang buruk
dalam hidup Ardi hari itu.
Ardi
merasakan ada cairan yang keluar dari bawah tubuhnya. Sesuatu yang tidak dia
kehendaki. Sekarang, wajah Ardi benar-benar pucat. Matanya berair. Tubuhnya
membeku. Beberapa detik kemudian, aroma di dalam ruang kelas itu berubah.
“Aduuuh,
bau apa sih ini ....“ Valiza, anak perempuan yang duduk di belakang Ardi
refleks menutup hidungnya dengan sebelah tangan. Beberapa siswa celingukan
bingung. Lalu berlaku sama seperti Valiza.
“Iya nih
.... Buuu, ada yang kentuuut!” Siswa lain ikut bersuara. “Siapa sih, ga pakai attitude banget ....”
Aroma dalam
ruangan kelas semakin menyengat. Tidak ada lagi siswa yang menatap sangat soal
ulangan. Siswa perempuan mulai berbisik ria. Berdiri dan berjalan ke luar.
“Ikhhh, ga kuat nih ... parah ... uhh ... Bu, izin keluar, yaaa!” Suasana ramai
gaduh.
Bu Neli
bingung dengan apa yang terjadi. Beliau berdiri dan mencari sumber masalah.
Ardi menutup kepala dengan tangannya, menenggelamkannya di atas meja. Seluruh
sendinya lunglai. Tak berdaya. Dirinya sudah setengah pingsan.
“Ibuuu
....!” Dejan melirik Ardi. “Ardi ...?” Dia melihat celana Ardi basah. Dejan
menatap Ardi khawatir. Dirinya tak tahu harus berbuat apa. Bu Neli mendekat.
Dengan cepat beliau mengerti apa yang telah terjadi.
“Rakha,
cepat pinjam sarung ke Mang Maman ....” Bu Neli menunjuk ke arah pintu keluar.
Siswa yang bernama Rakha segera meluncur melaksanakan misi pentingnya. Bu Neli
mendekati Ardi, mencoba menenangkan, “Tidak apa-apa Ardi, semua akan baik-baik
saja.”
***
Tiga hari
berlalu sejak kejadian. Dan semuanya tidak baik-baik saja. Ardi mengasingkan
diri di dalam kamar. Seperti pertapa yang lebih suka bermeditasi dari pada
dilihat orang lain. Bedanya Ardi tidak berusaha menenangkan diri. Jika sang
pertapa bertahan berdoa untuk bersatu dengan alam, Ardi rasanya ingin lenyap
saja ditelan bumi. Peristiwa itu telah memukul kehormatannya dengan sangat
keras. Wahai bumi tarik aku ke bagian
terdalam dirimu. Sampaikan aku ke intimu. Biar bara magmamu membakar habis rasa
maluku. Ardi menjerit dalam hati. Marah kepada Yang Mahakuasa karena
membiarkan ini terjadi.
Amela, sang
adik, jelas-jelas khawatir. Berkali-kali dia mengetuk pintu kamar Ardi sambil
menawarkan berbagai jenis makanan enak favorit kakaknya. Ardi bergeming.
“Kakak, ayo
dong buka, ini aku bawa miso panas. Dikasih toping udang ma jamur. Pasti enak
nih dimakan saat hujan gerimis kayak gini. Ayo dong bangun, dari tadi Kakak
belum makan, aku khan sedih kalo Kak Ardi sakit.” Dengan suara memelas yang
didramatisir Amela mencoba menarik perhatian Ardi.
Suara di
kamar tetap senyap. Ardi tak peduli. Peristiwa di kelas itu selalu mengitari
pikirannya. Terus berulang seperti de
javu. Masih jelas terdengar tertawaan dan ejekan teman-temannya. Lihat, sang juara membuang kotorannya
semena-mena. Aduuuuuh ... pedih dan perih.
Bagaimana Tuhan aku menghilangkan rasa malu
ini? Bagaimana bisa aku menatap wajah teman-teman yang tersenyum geli
melihatku? Bagaimana juga aku bisa kembali ngobrol, makan cemilan bareng, atau
sekedar menjawab pertanyaan temanku tentang materi pelajaran yang tidak mereka
mengerti? Bagaimana aku akan menghabiskan waktu seharian dengan mereka di
kelas? Bagaimana dengan para cewek yang suka padaku? Bagaimana ... oh ...
bagaimana aku menghapus memori agar semua ini seakan tidak terjadi? Lalu
bagaimana aku menjawab semua pertanyaan ini? Bagaimana ini akan berakhir?
Ardi
mendekap gulingnya semakin erat. Tubuhnya terbaring miring menghadap jendela.
Tetesan air hujan berbaris rapi menyusuri kaca jendela kamarnya. Entah kenapa,
kali ini Ardi merasa cengeng. Hujan seakan mengerti dirinya. Turut berduka atas
penderitaan sang makhluk.
****
Suara azan
Maghrib berkumandang merdu. Lampu di dalam kamarnya belum dinyalakan. Dengan
enggan Ardi bangun dari ranjang. Berkali-kali ibunya mengetuk. Kemudian
ayahnya. Tak lama kemudian ibunya lagi. Mau tak mau akhirnya Ardi beranjak
keluar.
Kadang Ardi
merasa terkekang dengan berbagai aturan di rumah yang dibuat sang ibu. Setiap
pagi buta, alarm rumah melengking nyaring membangunkan seluruh anggota
keluarga. Mandi sebelum salat Subuh adalah bentuk kepatuhan mutlak yang harus
dilaksanakan. Setelah salat, ibunya selalu mengecek kerapihan tempat tidur.
Sarapan adalah harga mati. Pulang sekolah tepat waktu itu wajib. Kalau telat
harus ada pemberitahuan. Jika melanggar, besoknya setengah harga uang saku akan
surut. Cape sih kalau dipikir. Namun
untungnya, lebih daripada itu dirinya bangga memiliki kedua orang tua yang
tetap berusaha selalu ada di sisi anak-anak mereka pada saat dibutuhkan.
Seperti
saat ini.
“Sini, Nak,
Ayah mau bicara ... duduklah kamu di samping Ibu ....”
Ardi tak
membantah. Ayahnya tersenyum. Ada misteri di balik matanya. Kemudian beliau
berdiri.
“Sebenarnya
bukan Ayah sih yang ingin ngobrol sama kamu, tapi ibumu.” Ayahnya berdiri
sambil merogoh saku celana, mengambil sesuatu, kemudian melirik manja pada
istrinya, “Ayah mau beli martabak dulu, ya, orderan dari ibumu. Ada yang request rasa?”
“Rasa apa
sajalah, yang penting menteganya dibanyakin ....” Ibu menjawab cepat.
Sesaat
setelah Ayah pergi, Ibu memandang wajah Ardi yang tertunduk lesu. “Ardi, Ibu bingung
mau memulai dari mana, tapi sungguh Ibu merasa ....”
“Sudahlah,
Bu, ngomong saja langsung, kalau mau marah, marah saja ....” Ardi memotong
kalimat ibunya.
Ibunya
menarik napas dalam. Beliau maklum masalah ini sensitif buat anaknya. Sambil
memegang tangan Ardi, Ibu memberikan amplop putih.
“Ini,
bacalah!”
“Apa ini?”
Ardi mengangkat wajahnya, “Surat? Dari siapa?”
“Temanmu.
Ayo bacalah!” Ibu mengulang perintahnya.
Dengan ragu
Ardi menyobek bagian atas amplop putih yang dipegangnya. Pelan dia membuka lipatan
kertas bergaris berisi tulisan dengan model keriting besar. Hmmm, dari Dejan.
Tuk Ardi, My Bro
Sehat Di? Came on ... sekolah donk.
Kite rindu lo!!! temen-temen banyak yang nanyain, kapan lo masuk. Ko lo, ceklist terus. Ga ada lo ga rame nich, banyak
yang kelabakan ngerjain PR heheheh ... anak zaman now kan gampang move on yea
... lagian lo ko dipikirin bangeut sih, ini masalah sepele Bro ... (ngomong
apalagi yaaa ... hihihi). Pokoknya masuk ... besok masuk ... harus masuk. Gua
tunggu ya di gerbang sekolah, atau perlu gua jemput lo ke rumah? Janjian kita
perginya. Kalo besok lo masih mogok, kite satu kelas mau nyambangin lo ke rumah
... aku ga bisa bikin surat panjang nih, intinya missxxxzss yu Bro, ...
From: ur big brother ... lalalala ...
Solidarity forever ....
Ardi melepas senyum kecil. Dasar Dejan. Sahabatnya itu selalu peduli.
“Naah, Di, keadaanmu tak seberat apa yang kaupikirkan. Berat ringannya
masalah tergantung kita menyikapinya. Kadang hal yang memalukan menurut kita,
dianggap biasa oleh orang lain. Itu karena orang lain lebih mengerti keadaan
kita daripada kita sendiri. Tiga hari cukuplah bagimu untuk berpikir,
merenungkan akibat dari perbuatanmu. Di balik setiap musibah, ada hikmah. Ibu
yakin kamu paham itu. Dan setiap musibah yang kau alami, akan membuatmu semakin
kuat. Tapi hanya dengan satu syarat, kamu tidak berhenti. Kamu terus maju.”
Sejenak Ibu membiarkan Ardi berpikir, “Ibu berharap besok kau masuk sekolah.
Diam di rumah tidak akan merubah apa pun. Hadapi masalahmu, Ardi, agar kau
dapat menemukan solusinya.”
*****
Ardi
menatap gerbang SMPN 3, sekolahnya, dengan gagah. Kedua tangannya memegang erat
tali ransel. Hadapi Ardi. Tersenyumlah
Lazuardi. Bergantian kakinya melangkah. Terasa ringan. Dia menengadahkan
wajah ke langit luas. Wahai Pemilik Kehidupan, atas nama-Mu, aku bersumpah
mulai hari ini ke depan kunyatakan perang melawan semua jenis makanan pedas.
Aku juga bersumpah bahwa aku akan memenangkan peperangan ini. Dengarkanlah
janjiku ini, wahai sambal!
******
0 Response to "MY DIARE"
Post a Comment