SEBONGSANG TAHU DAN TAWA
![]() |
https://www.wartaekonomi.co.id |
Oleh:
J. Firman Sofyan. S.Pd.
(Guru SMART
Ekselensia Indonesia)
Malu
rasanya saat mereka berada lebih awal di ruangan bercat putih tersebut, meski hanya beberapa detik
atau menit dibanding saya. Ada yang merespons dengan senyuman, candaan, bahkan
sindiran. Namun, semua hanyalah respons sementara hingga akhirnya mereka
menikmati suasana.
Dengan ramah, seorang anak
bernama Wabil mengambilkan aku sebuah kursi. Dengan teliti dan hati-hati, ia
menempatkan sebuah kursi plastik tepat di depan dia dan teman-temannya. Dia
kembali ke kursinya, sementara yang lain mulai mengubah posisi duduknya.
Qurthubi mengakhiri obrolannya dengan Ikhwan. Zulfa meletakkan rubiknya. Dafa
dan Sabil bergerak seminim
mungkin: menaikkan posisi kacamata.
“Arya belum ada, Ustaz!”
sahut Mahmud.
“Ada yang tahu Arya di
mana?” Tanya saya.
“Sepertinya masih salat Dhuha, Ustaz!” jawab Gian.
Terhentak jiwaku. Bahkan
seorang remaja seusia Arya, sepagi ini, telah menyedekahkan 360 persendiannya. Adapun
jiwaku masih belum seutuhnya berada di depan mereka. Kadang aku masih
bertanya-tanya mengapa aku bisa berada di depan mereka.
Tetiba, memori ini teringat
masa ketika baru saja mendapatkan gelar sarjana. Perusahaan-perusahaan nasional
menawarkan pekerjaan dengan berbagai posisi yang cukup didambakan. Dua sekolah
berstandar nasional bahkan internasional pun mengajak aku untuk bergabung.
Meski cuma satu, sebuah sekolah dasar negeri, memaksa aku untuk mengajar di
sekolah mereka dengan iming-iming jadi pegawai negeri sipil. Tawaran terakhir
bahkan membuat orang tuaku begitu girang, bahagia tak terkira. Namun, aku
mengecewakan mereka, terutama ibu, yang kini telah tiada.
Apakah dengan memilih
pilihan sendiri bahkan mengecewakan kedua orang tua kelak aku bisa hidup?
Apakah hidup ini sebenarnya? Apakah hidup itu sekadar peluang dengan nasib yang
melempar dadu acak dan nasib adalah bagaikan sibernetik dengan umpan balik
pilihan probabilistik? Ataukah kelak hidup aku akan sama sekali absurd, tanpa arah dan bentuk?
Ketukan pintu dan salam
Arya mengembalikan jiwa ke dalam raga yang ternyata nyata sedang satu ruangan
bersama mereka. Arya pun menghampiriku untuk mengucapkan maaf karena telat
hadir di kelas. Aku tak kuasa untuk sekadar bertanya apalagi memarahinya. Ada
rasa malu di dalam diri karena belum bisa memberikan teladan yang baik.
Diciumnya tangan kananku dengan ikhlas dan tulus. Ia kemudian duduk di kursi
baris kedua, tepat di sebelah sahabat karibnya, Afandi. Ternyata Afandi
berinisiatif untuk membawa dan meletakkan tas sahabatnya tanpa diminta.
“Urutan pembagian rapor
akan ustaz mulai dari siswa paling atas dalam daftar hadir. Bagaimana?” tanya
saya.
“Diundi saja ustaz supaya
lebih adil!” jawab Zulfa yang merupakan siswa terakhir dalam daftar hadir
siswa.
“Yang lain setuju diundi?”
lanjut saya.
“Setuju!” jawab para siswa
serempak.
Aku pun mengambil kartu
Uno. Kuurutkan kartu tersebut berdasarkan urutan angka dan warna. Angka yang
tertera pada kartu memang hanya sembilan, tidak cukup untuk mengakomodasi pengurutan
20 siswa kelas IXB. Jumlah sebelas angka yang belum ada akhirnya aku modifikasi
berdasarkan warna. Kartu Uno nomor 1 warna merah urutan sepuluh, Uno nomor 2
biru, urutan kesebelas, Uno, nomor 3 warna hijau urutan kedua belas, dan
seterusnya. Mereka menerima undian dengan lapang dada.
“Dalam hitungan ketiga
silakan ambil kartu Uno yang ada di dalam kotak ini!” instruksi saya.
Dalam hitungan detik, kartu
Uno telah berpindah tangan. Ada yang lari sekencang-kencangnya dari kursi
paling belakang. Ada yang menarik baju temannya karena takut tidak kebagian. Beberapa
siswa mengambil undian dengan santai saja. “Toh, semua juga pasti akan
mendapatkan urutan!” begitulah mungkin pikir mereka.
Zulfa menujukkan ekspresi
kecewa. Ia mandapatkan kartu nomor 9 biru. Artinya ia akan mendapatkan rapornya
pada urutan kedua puluh alias terakhir.
“Itu namanya takdir!” sahut
Rama.
“Kau sih narik-narik tas
aku tadi. Kualat deh jadinya!” lanjut Aswandy, siswa asal NTB.
Zulfa hanya bisa tersenyum
mendengar respons teman-temannya. Ia akhirnya terhibur karena yakin akan mendapatkan
nilai besar pada semua mata pelajaran. Ia pun yakin bahwa ia akan naik kelas
karena tidak ada nilai yang di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Ia
tidak pernah melaksanakan remedial untuk semua mata pelajaran di kelas IX.
Bahkan, ia selalu meraih nilai tertinggi setiap ulangan harian.
Selain Zulfa, siswa lain pun
senang dengan hasil undiannya. “Hore, aku urutan pertama!” ucap Gilang. “Aku
kedua!” balas Gian. Tanpa diminta, siswa lain menyebutkan urutan
masing-masing pengambilan rapor.
Tawa senang meraka semakin
merekah saat aku mengambil dua bongsang tahu Sumedang yang memang sudah bawa sejak
pagi. Tidak mahal memang, namun cukup membuat endorfin siswa meningkat. Akting
bahagia Zulfa berubah menjadi nyata. Mereka tersenyum bahagia saat dengan
tertib mengambil penganan sederhana tersebut. Endorfin ini sangat berharga saat
berhadapan dengan para remaja, apalagi aku tahu bahwa di akhir pembagian rapor
nanti akan ada seorang siswa yang kehilangan endorfin. Hormon tersebut akan
digantikan oleh norpinefrin.
Sebelum membagikan rapor, aku
memohon maaf kepada para siswa atas nama guru mata pelajaran dan wali kelas.
Mungkin banyak hak mereka yang belum kutuntaskan. Bisa jadi ada kewajibanku
tidak tertunaikan. Aku melihat wajah para siswa satu per satu. Aku seolah tidak
percaya mereka kini telah kelas sembilan dan akan melanjutkan sekolah ke
jenjang lebih tinggi.
Aku akan selalu terkenang
dengan tangisan Syarif saat kelas tujuh yang tidak mau sekolah karena kangen
kepada orang tuanya nun jauh di Sulawesi sana. Tangisan Dimas yang sangat sulit
reda pun tentu akan selalu dalam ingatan. Bahkan usaha Ibrahim melarikan diri
dari asrama saat dini hari sangat membekas di memoriku. Usaha melarikan diri
yang membuat seluruh guru, terutama guru asrama, kewalahan. Usaha yang membuat guru melakukan
berbagai usaha untuk mencari keberadaanya. Hingga akhirnya, seorang guru
menemukannya sedang berada di salah satu pul bus yang ada di Pondok Cabe.
“Saya mau pulang, Ustaz!”
jawab Ibrahim sambil menangis.
“Tidak apa-apa tinggal di
asrama, Ibrahim!” jawab Ustaz Saiful.
“Saya kangen ibu, Ustaz.
Saya tidak mau tinggal di asrama!” sambung Ibrahim
“Ibu kamu tahu yang terbaik
untuk kamu, Ibrahim!” kata Ustaz Saiful meyakinkan Ibrahim.
Ibrahim pun akhirnya mau
kembali ke sekolah dan asrama. Kini, ia telah menjadi seorang remaja yang
cerdas, mandiri, dan berprestasi.
Aku mengawali retorika
dengan mengambil salah satu kutipan dalam buku Nitisastra yang menurut Profesor
Poerbacaraka ditulis pada akhir zaman Majapahit. “Salah satu musuh anak muda
dalam menuntut ilmu adalah gila asmara. Camkanlah anak muda! Menurut Pascal,
hati memang mempunyai logika tersendiri, tidak selalu satu tambah satu menjadi
dua, terutama mereka yang belum mengikuti keluarga berencana.”
Retorika pertama yang berbau
anekdot memang, namun bertujuan mengingatkan para siswa yang beranjak remaja
bahwa belum saatnya mereka menjalin asmara. Hal ini aku sampaikan karena aku
pernah menemukan salah satu siswa mengunjungi perpustakaan hanya agar bisa
bertemu dengan siswi dari sekolah lain. Ya, namanya juga remaja yang sedang
dimabuk cinta.
Aku pun sedikit beretorika
untuk masa depan mereka, baik naik atau tidak naik kelas. “Tidak ada yang
bodoh. Tidak ada yang gagal. Setiap kalian adalah istimewa. Kalian istimewa
dengan kecerdasan masing-masing!”
Sugesti positif ini memang
penting disampaikan oleh guru seperti yang disampaikan Bapak Pembelejaran
Akselerasi, Georgi Lazanov. Sugesti ini bisa membangkitkan delapan kecerdasan
menurut Howard Garner. Di kelas ini ada Azmi, Jak Mania sejati, anak Jakarta
yang sangat mahir bermain futsal. Ada pula Agung, si anak Medan, yang piawai
menari Saman. Ada pula Raihan Hidayat yang sangat mahir dalam teknologi
informasi. Dan, tentu siswa lain dengan kecerdasannya masing-masing.
Namun, sayang, sistem
pendidikan Indonesia menuntut siswa untuk mahir di semua bidang. Rapor adalah
salah satunya. Nilai rapor ini akan menjadi dokumen yang akan menentukan banyak
hal, mulai dari kenaikan kelas, penerimaaan mahasiswa baru di PTN, hingga
warisan untuk anak cucu kelak. Warisan yang berisi kebanggaan atau kekecewaan.
Kebanggan atas nilai rapor
berhenti sejenak saat salah satu siswa asal Bandung menerima laporan hasil
pembelajarannya di kelas sembilan. Thorik, siswa pendiam namun sangat suka membaca buku dan cukup
mahir dalam mata pelajaran-pelajaran eksak, dinyatakan tidak naik kelas oleh
sistem. Thorik “hanya” meraih nilai 50 untuk mata pelajaran Tahfiz Quran.
Thorik gagal melewati salah satu sistem kenaikan kelas: nilai rapor tidak boleh
ada yang di bawah nilai 55. Ratusan bahkan ribuan buku yang telah ia baca atau
berbagai aplikasi ilmu eksakta yang telah ia kuasai tidak bisa menolongnya
mengalahkan sistem. Kelak, ia adalah salah satu manusia yang akan mewariskan rapor
kekecewaan kepada anak dan cucu-cucunya.
“Tetap semangat, Thorik.
Ini bukan akhir segalanya. Kamu telah melakukan yang terbaik. Namun, saat ini
yang terbaik untuk kamu adalah membimbing adik-adik kelas kamu di kelas
sembilan tahun depan sekaligus meningkatkan hafalan Quran kamu.”
“Iya, Ustaz. Saya terima
hasil ini. Ini semua salah saya karena tidak mampu menghafal Quran sebaik
teman-teman saya. Saya berjanji akan lebih baik lagi pada tahun depan,” jawab
Thorik.
Meski ia terlihat tegar,
namun aku yakin ia sedang lara. Kini, segenap rasa sedih, kecewa, takut,
depresi membanjir dalam tubuh Thorik karena endorfin yang terbentuk saat masuk
kelas hilang tergantikan oleh norpinefrin. Kimia otak ini memang muncul
fluktuatif dari jam ke jam atau musim ke musim, namun tugas orang dewasa lebih
utama untuk mengurangi kimia otak ini pada anak atau remaja. Semoga sugesti dan
motivasi yang aku sampaikan di awal pembagian rapor tadi mampu mengurangi kadar
norpinefrin dalam diri Thorik.
Akhirnya, setelah melihat
sembilan belas reaksi berbeda dari para siswa, aku menghadapi Zulfa. Siswa yang
mahir menjadi penjaga gawang ini masuk kelas dengan ekspresi penuh keyakinan.
“Saya sudah gak sabar saya nih, Ustaz!” ia memulai percakapan.
“Kamu sudah lihat hasil
rapor teman-temanmu?” tanya saya.
“Iya, saya sudah lihat kecuali
beberapa siswa yang gak mau kasih lihat,” jawabnya.
“Bagaimana prediksi
nilai-nilai kamu?” Tanya saya lagi.
“Saya yakin nilai-nilai
saya bagus dan saya pasti naik kelas!” jawabnya lantang dan penuh percaya diri.
Aku ambil rapor terakhir
yang ada di meja. Tertulis nama Zulfa Diansyah. Aku serahkan rapor tersebut
kepada siswa asal Padang tersebut. Dengan perlahan ia membuka satu per satu
lembar rapornya. Ia abaikan data diri di lembar pertama dan kedua. Ia intip
kembali nilai rapor kelas tujuh dan kelas delapan yang tanpa cela. Dan, ia
berteriak girang saat melihat nilai rapornya. Nilai rapornya sangat bagus,
paling tinggi di antara teman-temannya. Tentu saja ia pun dinyatakan naik ke
jenjang berikutnya.
Setelah berterima kasih, ia
menarik tangan kananku. Ditempelkannya cukup lama punggung tangan kanan saya ke
hidungnya. Kemudian ia mengucap salam dan meninggalkanku sendirian di kelas
Bahasa Indonesia dengan perasaan campur aduk. Endorfin dan norpinefrin
tampaknya hadir secara bergantian pada diriku juga.
Aku kembali menerawang dan
berangan-angan ke masa lalu. Seandainya aku dulu mengajar di sekolah negeri
atau bertaraf internasional pasti setelah bagi rapor, aku bisa membawa sekadar
baju batik atau mungkin amplop tanda kasih dari orang tua siswa. Mungkin aku
bisa pulang membawa berbagai jenis makanan, mainan untuk anak, atau bahkan
perhiasan untuk istri di rumah.
Namun, itu semua hanya
khayalan, lamunan belaka. Kini, sudah tiba saatnya kembali ke rumah. Tiba-tiba
air mata ini mengalir tanpa diminta saat bola mata ini melihat sebuah spanduk
besar terpampang di halaman sekolah. Spanduk berisikan beberapa siswaku bersama
orang dewasa, namun bukan orang tua mereka. Di pojok kanan terdapat lambang
sekolah kami SMART Ekselensia Indonesia dan Dompet Dhuafa.
Naïf rasanya mengharapkan
pemberian dari mereka, para anak duafa, apalagi orang tua yang penghasilannya
mungkin hanya cukup untuk memenuhi makan sehari-hari saja. Akhirnya aku sadar, aku berada di antara mereka bukan
karena harta, namun untuk berbagi kebahagiaan, meski sekadar sebuah salam,
tawa, atau tahu sumedang. Inilah hidup yang sesungguhnya. Seolah menjawab
seluruh pertanyaanku pada awal bergabung dengan sekolah nirlaba ini pada tahun
2009.
Dengan mata yang masih
sembap, aku pun menuju sepeda motor usang berwarna biru produksi Jepang tahun
2007. Dan, air mataku kembali berlinang tak tertahankan saat menemukan kotak
berukuran sedang berbungkus koran. Aku buka bungkusan tersebut. Kotak tersebut
tertuliskan: PEMBERIAN IBU DARI MALANG!
Alhamdulillah, cerpen sy dimuat, Makasih admin.
ReplyDeleteMantap!
ReplyDelete