BERJUANG SENDIRI WELAWAN KANKER (2)
Oleh:
Lina Herlina
Pada kisah sebelumnya dokter menyatakan Ibu Yulia positif mengidap kanker payudara stadium 5, bagaimana selanjutnya?
Aku
bercerita sambil sesekali terisak dikelilingi oleh teman-teman baikku sesama
pengajar di sekolah ini. Teman-temanku ikut terisak merasakan beban
penderitaanku.
“Bu
Yul, cepatlah biopsinya, supaya lebih dini terdeteksinya.” Bu haji menasehati
sambil sesekali menyusut sudut matanya dengan tisu.
“Iyah,
kalau di lama-lama nanti tambah membesar”. Kata bu Rina.
“Ibu
punya BPJS enggak?” Tanya bu Irna.
“Belum
diurus Bu,” sahutku.
“Secepatnya
urus, barangkali akan lebih dibutuhkan nantinya.” Bu Rida menimpali.
“Mudah-mudahan
tidak ada apa-apa.” Lanjut bu Rida.
Beruntung
aku punya teman-teman yang selalu menguatkan, memotivasi dan menghiburku. Ingin
kuadukan semua ini kepada suamiku, tapi aku takut dia jadi kurang konsentrasi
dalam pekerjaannya. Karena ia bekerja di perusahaan swasta yang berada di Ibu
Kota sehingga ia jarang pulang. Kupikir sebaiknya ini kuceritakan nanti saat
dia pulang.
Sementara
keluargaku, terutama ibu hanya bisa menangis dan memelukku. Sambil mengelus
kepalaku ibu berkata, “Yul, yang kuat yah, sabar apapun hasilnya serahkan
kepada Allah”.
Sejak
diagnosa itu, aku lebih sering mengurung diri dan cenderung diam. Padahal
sebelumnya aku termasuk tipe orang yang periang. Emosiku menjadi kurang stabil,
aku lebih cepat nangis atau marah. Anakku yang paling besarlah yang sering jadi
pelampiasanku.
Sebenarnya
di tahun 2015 aku pun pernah terkena pembengkakan di jantung, tapi itu tidaklah
terlalu kepikiran seperti diagnosa kali ini. Karena yang kutahu penyakit kanker
ini masih sulit diobati tak seperti penyakit jantung.
Sejak
dirujuk ke dokter bedah, aku tak lantas periksa ke sana. Karena rasa takut yang
lebih menguasai dibanding rasa sakitku.
Belum lagi kepikiran aku akan kehilangan sesuatu yang paling berharga bagi
seorang wanita. Bagaimana kalau suamiku tak lagi menyukai dan akhirnya meninggalkanku.
Maka
kuputuskan untuk berobat dulu seperti biasa ke dokter di beberapa rumah sakit
besar yang ada di Garut. Pun begitu pula ke tiap pengobatan alternatif, dengan
ramuan herbal bahkan segala obat alami ataupun makanan yang direkomendasikan
orang aku lakukan.
Setiap
ke dokter, yang disarankan dokter adalah melakukan operasi pengangkatan. Itulah
hal terburuk yang tak ingin kudengar dari dokter.
Niat
untuk operasi menghilang kembali seiring kepergian ibuku di bulan Juni 2017.
Saat itu Bulan Ramadhan, ketika aku mengalami kenyataan ditinggal oleh
orang-orang terkasih saat aku benar-benar membutuhkan dukungan dan motivasi.
Harapanku serasa hancur.
Kadang
aku berpikir bahwa Allah itu tidak adil . Kenapa aku sendirian yang terus
bertubi-tubi ditimpa musibah. Toh banyak para pendosa yang malah tambah sehat,
keluarganya lengkap tambah bahagia. Astagfirullah,
akulah sang pendosa yang hina ini. Yang telah menuding Allah berbuat tak adil
padaku, padahal Dialah Yang Maha Adil. Boleh jadi aku berpikir inilah yang
terburuk bagiku, tapi menurut pandangan Allah belum tentu buruk. Aku sadar
akulah hamba yang tak tahu diuntung, yang tak pernah bersyukur.
Selang
beberapa bulan, benjolan itu ternyata semakin cepat membesar dan mulai memerah.
Bahkan rasa sakitnya semakin menjalar ke tulang punggung. Aku jadi susah
membungkuk. Sakit sekali rasanya. Mengangkat tangan kiripun aku semakin
kesulitan.
Setelah
aku berdiskusi dengan suami, adik-adik dan saudaraku yang lain kubulatkan tekad
untuk melakukan operasi. Maka mulailah aku mengumpulkan dana karena waktu itu
aku belum punya kartu BPJS. Dengan membawa bekal sepuluh juta, aku berangkat ke
Rumah Sakit Al-Islam Bandung untuk melakukan operasi.
Dr.
Shafwan doter ahli ankologi yang dengan sabar dan telaten memerikasku
mengatakan, “ Kalau Ayah ibu Yulia terkena kanker kelenjar getah bening,
kemungkinan besar ini bisa menurun pada Ibu. Meskipun jenis kankernya bisa saja
berbeda”.
Ya
Allah, aku terima dengan ikhlas kalau Engkau memilih hamba anaknya yang paling
tua yang telah dia warisi dengan penyakit ini. Aku tak akan iri pada
adik-adikku yang dapat hidup dengan sehat tanpa merasakan apapun. Aku ridho Yaa
Rabb, tapi ku mohon berilah kekuatan dan kesabaran kepadaku untuk menjalaninya
dengan ikhlas.
Berbagai
pemeriksaan aku lalui, mulai dari USG, jantung, torax, rongent sampai dipastikan semuanya baik. Maka tibalah hari aku
masuk ruang operasi. Jadwal operasi mulai pukul 08.00 pagi. Waktu itu dokter
memerintahkan berpuasa 4 jam sebelumnya. Sejam sebelum menuju ruang operasi,
ketika dokter memintaku untuk mengganti baju dengan baju operasi, aku
memandangi kedua payudara di kaca wc untuk terakhir kalinya.
“Selamat
tinggal, terima kasih engkau telah berjasa memberikan sari kehidupan kepada
anak-anakku. Engkau telah membantu memberikan pertumbuhan hingga mereka besar.”
Meski anakku yang paling kecil tak mendapatkannya sampai usia 2 tahun, karena
dipaksa berhenti atas anjuran dokter. Ditakutkan ASI yang terisap akan terpapar
dengan penyakit juga.
“Ini
elusan terakhir dariku untukmu, terima kasih telah memberikan keindahan
kepadaku, mohon maaf bila aku tak dapat menjagamu dengan baik. Hingga kamu
harus tersingkirkan dan terbuang”.
“Maafkan
aku”. Tak kuat aku menahan air mataku yang mulai menetes. Kerongkonganku
kering. Ada rasa sakit serasa sembilu menggores di hatiku
“Bismillah,
berilah kekuatan kepadaku Ya Allah Engkau tak akan membebaniku sesuai dengan
kemampaunku, Laa haula wala quwwata Illa
billah”. Itulah kalimat terakhir yang ku ucapkan sambil mengusap dadaku.
Entah
berapa jam aku tertidur di ruang operasi, karena saat tersadar ingatan ini
masih terpengaruh dengan obat bius. Beberapa saat kemudian ingatanku kembali
hilang. Begitulah beberapa saat sesudah operasi. Terkadang aku meracau, entah
apa yang kubicarakan semuanya tidak jelas.
Hingga
cubitan-cubitan kecil mulai terasa di dada sebelah kiri. Bekas sayatan pisau
operasi mulai terasa perih. Aku mulai sadar sepenuhnya. Bahwa dada kiriku kini
telah rata, semuanya telah terenggut dengan penyakit yang biadab itu. Malam itu
hingga esok harinya aku tak dapat memicingkan mata sedikit pun karena rasa
sakit dan perih bekas sayatan operasi.
Kukira
setelah operasi ini semua akan berakhir, tapi ternyata inilah awal dari
penderitaan yang sesungguhnya bagiku. Hampir sebulan aku melalui masa perawatan
pasca operasi. Terhitung lama juga bila dibanding dengan pasien yang lain.
Karena setelah operasi, di bekas sayatannya itu terus mengeluarkan cairan.
Belum lagi sebagian dari fungsi jantungku terganggu. Sehingga aku melakukan
kemoterapi dengan obat hafalen. Efek
dari Kemo yang ini tidak begitu terasa karena ini tergolong berdosis rendah.
Setelah
dinyatakan boleh pulang, itulah kebahagiaan yang kurasakan saat ini. Setelah
kepedihan-kepedihan yang terus bertubi-tubi, inilah saat-saat terindah ketika
aku bisa memeluk kedua putraku kembali. Rindu yang tak tertahan sebab beberapa
bulan tak dapat melihat keluarga dan juga teman-temanku.
Alhamdulillah
aku dapat merasakan bahwa aku hampir kembali sehat. Aku mulai bekerja dan
melakukan aktivitas seperti biasanya. Yang berbeda adalah, setiap sebelum
berangkat sekolah aku harus mengurus luka operasiku, membersihkannya dan
mengganti perbannya. Aku pun harus terbiasa menggunakan bra istimewa untuk seorang
wanita yang telah kehilangan salah satu organ kebanggaannya.
Enam
bulan kemudian, munculah masalah yang baru. Dari bekas jahitan selalu keluar
darah segar dan muncul lagi benjolan baru di atasnya. Kalau sudah keluar darah
segar berlembar-lembar tisu disumpalkan di sana hingga basah oleh darah. Aku
tak lagi pergi berobat, karena tak punya uang yang cukup untuk berobat. Kucoba
untuk menangani sendiri penderitaan ini, hingga lama kelamaan benjolan itu
pecah dan mengeluarkan nanah.
Terkadang
aku merasa minder dan risih bila berdekatan dengan orang lain. Aku takut mereka
merasa jijik dengan bau amis yang keluar dari darah dan nanah yang
terus-menerus mengucur. Ingin rasanya aku mengurung diri di dalam kamar agar
aku tak berjumpa dengan orang, tapi aku tak dapat melakukannya. Karena
kebutuhan hidup memaksa aku harus banting tulang untuk membiayai hidupku
beserta kedua anakku. Jadi aku tetap harus memaksakan diriku berangkat ke
sekolah dan melakukan tugasku mendidik siswa-siswiku.
Lalu kemana suami yang
selama ini menjadi pendamping hidupku.?
BERSAMBUNG ...
*) Lina Herlina, S.Ag, M.Pd.I guru PABP di SMPN 3 Limbangan.
**) Cerpen ini diambil dari kisah hidup sahabatku Ibu Yuli Susilawati, S.Pd Guru IPA di SMPN 3 Limbangan Kabupaten Garut. Tulisan ini didedikasikan untuk beliau yang sedang berjuang melawan kanker stadium 5, semoga menjadi motivasi buat semua orang yang terkena kanker. Tetaplah tabah dan kuat berjuang seperti beliau
BERSAMBUNG ...
*) Lina Herlina, S.Ag, M.Pd.I guru PABP di SMPN 3 Limbangan.
**) Cerpen ini diambil dari kisah hidup sahabatku Ibu Yuli Susilawati, S.Pd Guru IPA di SMPN 3 Limbangan Kabupaten Garut. Tulisan ini didedikasikan untuk beliau yang sedang berjuang melawan kanker stadium 5, semoga menjadi motivasi buat semua orang yang terkena kanker. Tetaplah tabah dan kuat berjuang seperti beliau
0 Response to "BERJUANG SENDIRI WELAWAN KANKER (2)"
Post a Comment