IKHLAS
Aku masih ingat betul Senin
kemarin itu adalah pertemuan terakhirku mengajar di kelas itu. Senin depan, mereka
sudah harus menghadapi ujian akhir semester. Masih sangat jelas hari itu aku
memberikan tagihan akhir berupa tugas menulis teks ulasan film yang sudah
pernah mereka tonton.
“Anak-anak,
belajar bahasa itu di mana-mana sama saja, hanya belajar mendengarkan,
berbicara, membaca, dan menulis. Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, kalian
sudah pernah mempelajari contoh-contoh teks ulasan film, presentasi mengulas
film yang sudah kalian tonton secara berkelompok di depan kelas. Sekarang
saatnya kalian belajar menulis. Silakan kalian buat secara tertulis di kertas
selembar teks ulasan dari film yang sudah pernah kalian tonton yang menurut
kalian paling menarik! Ingat, menulis itu berbeda dengan mengarang. Mengarang
itu mengada-ada, pura-pura mampu,
sedangkan menulis mah apa
adanya, semampunya. Dan, menulis tingkat SMA itu berbeda dengan tingkat SD.
Kalau menulis tingkat SD itu menyalin tulisan, sedangkan tingkat SMA mah menuangkan ide dan gagasan. Jadi,
kalian tidak saya perkenankan menyalin teks ulasan dari mbah gugel. Tulis saja
sebisanya, semampunya. Kalau ada kesulitan, silakan tanyakan. Jelas, ya. Ada
pertanyaan?”
“Belum ada,
Pak!”
“Banyak, di
soal UKK!”
“Hahaha...
Bapak mah bisa aja.”
“Ingat ya,
menulis, bukan mengarang ataupun menyalin! Silakan.”
* * *
Lembaran
kertas tugas siswa dari tiga kelas yang kuajar kini menumpuk di depan mataku.
Malas aku mengoreksinya. Sebenarnya aku bukan tipe guru pemalas, sungguh. Tapi
nyatanya kali ini aku benar-benar malas. Meliriknya saja kini aku enggan. Ingin
kubakar saja kertas-kertas itu biar mampus. Muak aku dengan kertas. Betapa
tidak, baru beberapa kertas kubaca, sudah tercium bau gugel. Kucoba baca
kertas-kertas lainnya secara random, hampir semuanya rasa gugel, terutama di
kelas yang satu itu. Padahal sudah kuingatkan, tulis sebisanya, jangan
menyalin.
Apa susahnya
sih mengulas film? Menceritakan kembali alur film dengan bahasa sendiri,
kemudian menilai kelemahan dan kelebihan film dengan pemahaman sendiri, apa
sulitnya? Kalau merasa sulit kan bisa bertanya ke gurunya. Apalagi yang sulit?
Ah, jelas
sudah. Intinya, mereka semua tidak ada keinginan untuk belajar. Berangkat
sekolah hanya untuk status pelajar. Ngakunya saja pelajar, tetapi ketika
disuruh belajar malah ogah-ogahan. Maunya hanya santai-santai, kumpul becanda
haha hihi dengan teman-teman, bahkan ada yang cuma numpang pacaran. Dasar
pelajar palsu.
Anak sekolah
zaman sekarang yang dikejar hanya angka bagus di rapor, tak peduli dengan cara
etis ataupun tidak. Tak pernah saya lupakan bagaimana hebatnya aksi mereka
ketika mengerjakan soal UTS kemarin, menyontek berjamaah. Sebal aku
mengenangnya. Harusnya yang mereka kejar itu adalah nilai, nilai keuletan,
nilai kerja keras, nilai kepercayaan diri, nilai pantang menyerah, nilai
kejujuran, bukannya angka. Sudahlah, biar kali ini mereka semua kuberi angka
kecil saja di rapor, biar tau rasa. Titik.
* * *
Pukul dua dini
hari. Aku masih duduk melamun di meja kerja bersama kertas-kertas tugas siswa
yang belum juga kubakar. Mataku sudah spaneng 5 watt, tapi kekesalan masih
menyala terang di hati dan kepala. Tiba-tiba remang-remang terbayang seraut
wajah penuh keteduhan, dengan senyumnya yang khas. Dia adalah guruku. Guru
skripsiku waktu di kampus dulu, sudah sangat lama sekali. Tatapan matanya yang
lembut mampu menghapus lelahku setelah berdesak-desakan di kereta antara
Bogor-Cikini, berpanas-panasan dalam kemacetan bus Rawamangun. Senyum khasnya
itu, mampu memompa semangatku untuk segera menyelesaikan skripsi dengan
literatur yang memadai dan kualitas analisis yang mendalam. Selama kurang lebih
tiga setengah tahun kuliah, rasanya ketika menyusun skripsi itulah aku
benar-benar merasa belajar. Dialah dosen satu-satunya yang benar-benar menjadi
guruku.
Kuingat saat
ia mengajak kami menyanyi pada acara wisuda: Kasih ibu kepada beta / Tak terhingga sepanjang masa // Hanya memberi,
tak harap kembali / Bagai sang surya menyinari dunia //. Kemudian ia
berpesan, “Begitulah seharusnya seorang guru, ikhlas seperti kasih ibu, seperti
mentari, hanya memberi, tak harap kembali.”
Astagfirullah.
Selama ini aku lupa. Aku terlalu banyak mengharap. Mengharap pemikiran siswa
harus sama denganku. Mengharap kemampuan siswa harus sama denganku. Jelas-jelas
pemikiran anak remaja jauh berbeda dengan orang dewasa. Jelas-jelas kemampuan
anak SMA tidaklah sama dengan sarjana. Aku terlalu banyak mengharap, lupa
memberi. Bukannya memberi pembelajaran yang menyenangkan, malah memberikan
kekesalan dan kemarahan. Astagfirullah. Aku lupa memberi. Aku harus
introspeksi. Mungkin metode mengajarku salah, mungkin kurang media
pembelajaran, mungkin gestur dan mimik mukaku salah, mungkin memang banyak
kurang dan salah. Aku harus banyak memberi, jangan banyak berharap. Maafkan
gurumu yang lalai ini, Nak!
Di sepertiga
malam terakhir itu, aku bergegas merapikan lembaran kertas kerja siswa yang
berserakan. Kubawa kertas-kertas itu ke luar rumah. Udara di luar terasa dingin
sekali. Kupandangi langit, ternyata sepi dari bintang-bintang. Biarlah langit
kelam ini menjadi saksi. Dengan mengucap basmalah, kubakar kertas-kertas itu
dengan gelora semangat dalam dada, “Nak, kita mulai dari nol, ya!”
Kamar Perenungan, 13/06/20
EDYAR RAHAYU MALIK
Penulis adalah Guru Bahasa
Indonesia di SMA Negeri 1 Ciawi.
Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMA
Kab. Bogor.
Pegiat Musikalisasi Puisi.
0 Response to "IKHLAS"
Post a Comment