NGACO, NGACA, NGACI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh:
Mohamad Nursodik
Kegiatan pertama
di awal tahun pelajaran, tentulah penerimaan peserta didik baru. Kegiatan
tersebut dilaksanakan berdasarkan aturan yang sudah dibuat, baik dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maupun peraturan di bawahnya. Alhasil
proses tersebut dapat berjalan dengan lancar.
Setelah
dinyatakan diterima, peserta didik akan memasuki sebuah kegiatan
awal yang sering disebut dengan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Kegiatan
ini bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik pada kegiatan pembelajaran yang
sesungguhnya. Inti dari kegiatan MPLS adalah memperkenalkan peserta didik pada
lingkungan yang baru, agar mereka dapat beradaptasi dengan sekolah tersebut.
Setelah kegiatan selesai, pembelajaran efektif pun dimulai. Semua perangkat yang
berkaitan dengan kegiatan pembelajaran pun dipersiapkan dengan baik, dengan
harapan dapat menghasilkan output yang
baik pula. Namun dalam perjalan waktu, ternyata apa yang diharapkan tidak
selalu sesuai dengan ekspektasi. Di banyak sekolah, masih banyak “masalah” yang
berkaitan dengan peserta didik. Masalah tersebut berkaitan dengan pelanggaran
tata tertib, kenakalan, atau dengan kata lain masih banyak siswa yang belum
berbudi pekerti luhur. Dalam terminologi ini penulis menyebut dengan istilah “ngaco”.
Berkaitan dengan
masih banyak peserta didik yang masih “ngaco”,
sekolah harus berupaya untuk mengatasi masalah tersebut dengan baik. Upaya yang
dilakukan oleh sekolah dalam rangka menumbuhkan budi pekerti yang baik ini
penulis menyebut dengan istilah “ngaca”.
Sekolah memberikan cermin (ngaca) yang baik kepada siswa agar terjadi perubahan
sikap yang lebih baik.
Dalam pandangan
Thomas Lickona, karakter terdiri atas
nilai-nilai yang diketahui, diyakini, dan dilakukan. Sehingga karakter seseorang
terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan yaitu pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral action). Berkaitan dengan hal
tersebut maka ada lima langkah penting (lima tahapan “ngaca”) yang bisa
dilakukan oleh sekolah dalam rangka menumbuhkan budi pekerti kepada siswa
adalah sebagai berikut:
1. Memberikan
pengetahuan tentang kebaikan, pada tahapan ini peserta didik diberikan
pengetahuan tentang akhlak yang baik kepada sang pencipta, sesama manusia, dan
lingkungan. Mengetahui yang baik berarti dapat memahami dan membedakan antara
yang baik dan yang buruk. Mengetahui yang baik berarti mengembangkan kemampuan
untuk menyimpulkan atau meringkaskan suatu keadaan, sengaja, memilih sesuatu
yang baik untuk dilakukan, dan kemudian melakukannya. Pemberian pemahaman ini
dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan pembiasaan baik yang bersifat rutin
(upacara, kultum, shalat dhuha dan sebagainya), maupun spontan.
2. Menggugah
perasaan anak untuk merasakan kebaikan, hal ini lebih menekankan perasaan atau
emosi. Pada tahapan ini, sekolah dapat memberikan kesempatan dan pengalaman
yang seluas-luasnya kepada siswa melakukan kegiatan yang melatih perasaan dalam
melakukan kebaikan. Kegiatan yang bisa dilakukan antara lain shalat berjamaah,
infak mingguan/harian (gasibu), membersihkan lingkungan sekolah dan sebagainya.
3. Menggugah
peserta didik untuk senantiasa mencintai kebaikan. Tahapan mencintai kebaikan
ini akan muncul jika peserta didik jika secara terus menerus (kontinyu)
melakukan pembiasaan-pembiasaan baik. Misalnya jika tiap hari dibiasakan
membersihkan lingkungan sekolah maka jika melihat kelas kotor mereka akan
sponton untuk membersihkannya tanpa ada perintah.
4. Menumbuhkan
keinginan untuk selalu berbuat baik, cara yang dapat dilakukan untuk
menumbuhkan keinginan ini yaitu dengan terus memberikan motivasi kepada peserta
didik melakukan kebaikan. Dengan makin bertambahnya pemahaman siswa tentang
kebaikan maka akan tumbuh motivasi yang berasal dari dalam dinya sendiri (intrinsik).
5. Tahapan
mengerjakan kebaikan, pembiasaan berbuat baik ini dilakukan dengan memberikan
dorongan kepada peserta didik melalui pujian atas kebaikan yang telah
dilakukannya. Pujian adalah hal kecil tapi akan berpengaruh besar terhadap
peserta didik.
Melalui kelima
“tahapan ngaca” itulah, diharapkan
mampu mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan peserta didik secara
baik. Sehingga akan terjadi perubahan menjadi pribadi yang “ngaci”. Dalam bahasa Sunda ngaci adalah menghaluskan tembok. Dalam
konteks ini “ngaci” diartikan sebagai
menghaluskan budi pekerti, sehingga diharapkan melalui proses pendidikan di
sekolah yang di dalamnya, terdapat kegiatan ”ngaca” akan mampu membentuk pribadi yang “ngaci”.
Secara lebih
luas strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah dapat
dilakukan melalui empat cara, yaitu: (1) pembelajaran (teaching), (2)
keteladanan (modeling), (3) penguatan (reinforcing), dan (4)
pembiasaan (habituating). Efektivitas pendidikan karakter sangat
ditentukan oleh adanya pembelajaran (teaching), keteladanan (modeling),
penguatan (reinforcing), dan pembiasaan (habituating) yang dilakukan
secara serentak dan berkelanjutan. Pendekatan yang strategis terhadap
pelaksanaan ini melibatkan tiga komponen yang saling terkait satu sama lain,
yaitu: (1) sekolah (kampus), (2) keluarga,dan (3) masyarakat (tri pusat
pendidikan).
Muhammad Nursodik, M.Pd., Kepala SMP Negeri 2 Sukatani-Purwakarta dan Wakil Ketua PW FKGIPS Nasional Jabar.
0 Response to "NGACO, NGACA, NGACI DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN KARAKTER"
Post a Comment