SEHARI DI PULAU GARAM
Oleh:Enang Cuhendi
Senin, 4 Februari 2019 empat mobil melaju
melewati ramainya jalanan kota Surabaya. Tujuannya adalah dermaga penyeberangan
Ferry Surabaya - Madura. Setelah kurang dari setengah jam perjalanan dari LPMP
Jawa Timur tempat kami menginap dan melaksanakan kegiatan selama di Surabaya di
Katingan Wiyata, Wonokromo, sampailah
kami di depan pintu masuk pelabuhan penyeberangan Lintasan Ujung Surabaya. Di
pintu masuk kami harus membayar tiket sebesar 5000 rupiah per orang dan mobil
golongan IV sebesar 46.500 rupiah.
Mobil pun masuk ke kapal Ferry “Jokotole”.
Ukuran kapalnya kecil dibandingkan yang ada di tempat lain, seperti Merak –
Bakauheni, atau Gilimanuk, hanya memuat beberapa mobil dan tidak kurang dari
dua puluh motor. Kodisi kapalnya juga sedikit kumuh. Akan tetapi hal itu tidak
mengurangi keasyikan kami menikmati perjalanan melintasi
Selat Madura dengan kapal Ferry ini. Kami melintas sekira 30 menit. Pak
Helmy, salah seorang guru IPS di SMP Khadijah yang asli Surabaya, sambil
mendampingi kami banyak bercerita dan memberi penjelasan tentang pelabuhan dan
gambaran sekitar penyeberangan. Dari cara penyampaiannya yang tenang banyak
pengalaman dan ilmu yang penulis dapat.
Tanpa terasa kapal sudah mulai merapat ke dermaga
Pelabuhan Kamal, Madura. Pelabuhan Kamal adalah pelabuhan penyeberangan di
Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Madura. Pelabuhan ini menghubungkan Pulau
Madura dan Pulau Jawa, dan dikelola oleh PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Sebelum ada Jembatan Suramadu
yang menghubungkan Surabaya dengan Madura pada tahun 2009, Pelabuhan Kamal
merupakan pintu gerbang utama keluar masuk ke Pulau Madura. Katanya sejak
diaktifkannya Jembatan Suramadu apalagi sekarang gratis, pengguna pelabuhan ini
mengalami penurunan, hingga menyebabkan PT ASDP Ujung-Kamal di ambang
kehancuran.
Setelah pintu geladag kapal terbuka satu
persatu orang, motor dan mobil keluar dari kapal. Mobil yang ditumpangi penulis
dengan beberapa teman keluar paling akhir karena berada di posisi paling
belakang. Seiring ban mobil menginjak dermaga Ujung Kamal rasa syukur terucap
dari lisan. Hari ini Senin, 4 Februari 2019 pukul 10.30 untuk pertama kalinya
kaki menjejak di Pulau Madura. Keinginan untuk bisa mengunjungi tanah Madura
yang terkenal sebagai penghasil garam ini sudah lama muncul. Hasrat penulis
untuk menjejakan kaki dari ujung barat sampai timur Pulau Jawa Alhamdulillah
tercapai di 2019 ini, termasuk mengunjungi Pulau Garam sebagai target tambahannya.
Keterlibatan penulis di kepengurusan Jawa Barat dan nasional di Forum
Komunikasi Guru IPS (FKGIPS) Nasional memang telah membuka jalan untuk
mengunjungi banyak tempat. Setelah
seluruh wilayah Jawa Barat dikunjungi, kini pulau Jawa bahkan sebagian
Sumatera.
Ketika keluar dari mobil, hawa panas Pulau
Madura mulai menyergap. Sambil menunggu tiga mobil lain yang masih di belakang,
kami berhenti tidak jauh dari gerbang pelabuhan dan memesan beberapa butir
kelapa muda. Air kelapa dirasa pas untuk membantu mengurangi rasa haus saat
ini. Menurut ahli gizi secara umum, air
kelapa mengandung 2,6 persen gula, 0,55 persen protein, 0,74 persen lemak,
serta 0,46 persen mineral. Jenis gula yang terkandung adalah glukosa, fruktosa,
dan sukrosa. Beberapa jenis kelapa ada yang memiliki kadar gula sebesar 3
persen pada air kelapa tua, dan 5,1 persen pada air kelapa muda. Dalam air kelapa juga terdapat asam amino dan vitamin.
Atas dasar kandungannya sangat pas rasanya kalau kami meminum air kelapa siang
itu
Sambil minum pandangan pun menelisik
keberbagai titik. Terlihat beberapa anak
kecil berseragam putih merah dengan tas digendong baru pulang sekolah. Yang
lucu mereka memilih menenteng sepatu sekolahnya dan berjalan tanpa alas kaki.
Hal yang sulit dibayangkan untuk sebagian orang karena hawa panas yang juga terasa
menyentuh tanah. Setiap tapakan kaki akan menimbulkan hawa perih dan panas di
telapak kaki. Setiap mobil yang lewat tidak luput dari perhatian, terlihat
angkutan kota umum dan omprengan berseliweran dengan kondisi kendaraan yang
sudah tua atau bobrok, tetapi penumpangnya cukup lumayan. Teriakan-teriakan
dari para sopir cukup meramaikan suasana siang itu, tentunya dengan bahasa yang
asing bagi pribadi penulis.
Madura adalah
nama pulau yang terletak di sebelah timur laut Jawa Timur. Pulau
Madura besarnya kurang lebih 5.168 km2, dengan penduduk hampir
4 juta jiwa. Pulau berjuluk pulau garam ini memiliki empat kabupaten, yaitu: Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Madura,
pulau dengan sejarahnya yang panjang, tercermin dari budaya dan keseniannya
dengan pengaruh islamnya yang kuat.
Ada yang menarik dari Suku
Madura. Mereka terkenal dengan gaya bicaranya yang blak-blakan. Harga diri,
juga paling penting dalam kehidupan masyarakat Madura, mereka memiliki sebuah
falsafah, katembheng pote mata, angok
pote tolang yang menurut penjelasan teman berarti daripada putih mata lebih
baik putih tulang atau daripada malu lebih baik mati. Sifat yang seperti inilah
yang melahirkan tradisi carok pada sebagian masyarakat Madura.
Ada yang beranggapan bahwa
sejarah Madura di mulai pada abad ke-13 ketika Arya Wiraja diangkat sebagai
adipati di Madura oleh Raja Kertanegara dari Singosari, tepatnya
pada 31 Oktober 1269. Pemerintahannya berpusat di Batuputih yang kini menjadi
sebuah Kecamatan kurang lebih 18 Km dari Kota Sumenep.
Dalam kitab Negarakertagama Pupuh 15 sebagimana
disadur Prof. Dr. Slamet Mulyana dalam buku
Tafsir Sejarah Negara Kertagama halaman 346 disebutkan bahwa tentang Pulau
Madura tidak dipadang sebagai negara asing karena sejak dulu sudah dianggap
bersatu dengan Jawa. Hal ini tentunya bukan semata secara geografis, tetapi
lebih pada politis. Berdasarkan catatan sejarah antara tahun 900-1500, pulau
ini berada di bawah pengaruh kekuasaan kerajaan Hindu Jawa Timur, seperti: Kediri, Singhasari,
dan Majapahit. Sedangkan sekira tahun 1500 dan 1624, para penguasa Madura
pada batas tertentu bergantung pada kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara
Jawa, seperti: Demak, Gresik, dan Surabaya.
Selanjutnya Mataram
menaklukan Madura pada tahun 1624. Sesudah itu, giliran Belanda menguasai
negeri yang terkenal dengan tradisi caroknya ini. Dimulai 1882 oleh VOC,
kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada saat pembagian
provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi Jawa Timur
bahkan sampai saat ini.
Di Pulau Garam ini untuk
kali pertama penulis mendengar percakapan langsung antar sesama orang Madura
dengan bahasa Madura. Menurut penulis bahasa Madura mempunyai sistem pelafalan
yang unik. Begitu uniknya sehingga mungkin orang luar Madura yang berusaha
mempelajarinya pun akan mengalami kesulitan, khususnya dari segi pelafalan
tadi. Dari keterangan yang penulis dapat bahasa Madura merupakan anak cabang
dari bahasa Austronesia ranting Melayu-Polinesia, sehingga mempunyai kesamaan
dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia. Bahasa Madura juga mempunyai
dialek-dialek yang tersebar di seluruh wilayah tuturnya, seperti: dialek Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, Sumenep dan dialek Kangean. Adapun menurut keterangan yang
menjadi acuan standar Bahasa Madura adalah dialek Sumenep, karena Sumenep pada
masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura. Adapun dialek-dialek
lainnya merupakan dialek rural yang lambat laun bercampur seiring dengan mobilisasi
yang terjadi di kalangan masyarakat Madura, termasuk bercampur dengan bahasa
Jawa.
Karena hanya sehari tentunya
tidak banyak tempat yang bisa penulis kunjungi. Padahal katanya dalam beberapa
situs daring Madura memiliki beberapa objek yang bagus untuk dikunjungi. Mulai
dari pantai, air terjun, bukit, hutan hingga taman bisa dengan mudah di temukan
di pulau berpenduduk hampir 4 juta jiwa ini. Seperti pantai Slopeng di Sumenep,
Pantai Siring Kemuning di Bangkalan, Air Terjun Toroan di Sampang, Museum
Kraton Sumenep, Kota tua Kalianget dan banyak lagi yang lainnya. Karena
keterbatasan waktu yang dimiliki, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke
tempat yang tidak terlalu jauh dari pelabuhan dan Suramadu, yaitu ke Bukit Jaddih.
Dari Kamal mobil melaju dan
berbelok ke kanan. Setelah melewati area perkampungan dan pedesaan akhirnya
kami sampai ke lokasi. Sekira 8 Km dari pelabuhan Kamal. Kalau lewat Suramadu
bisa lebih jauh. Bukit jaddih terletak di Desa Jaddih, Kecamatan Socah,
Kabupaten Bangkalan.
Bukit Jaddih sejatinya
adalah bukit kapur. Hawa sekeliling jelas
bisa dipastikan panasnya. Banyak truk dan angkutan berat yang berlalu-lalang
mengangkut kapur-kapur tersebut. Namun pemandangan di bukit Jaddih sungguh luar
biasa. Bukit kapur ditambang, digali dan
dibuka, menciptakan lansekap buatan yang cukup indah. Bukit dibentuk seperti bangunan bertingkat,
besar dan bagus. Ada pintu atau jendela, kemudian dilengkapi dengan lorong dan ruang
terbuka yang memiliki kolam dan bisa jadi tempat teater terbuka. Lokasi wisata
tersebut diberinama Goa Pote atau Goa Putih.
Walau tidak lama, tetapi
kesan yang didapat cukup baik. Sangat jarang penulis menemukan tempat seperti
itu. Lokasi wisata yang sedikit mirip adalah Tebing Breksi di Kecamatan Sleman,
DIY. Hanya bedanya Tebing Breksi adalah gunung batu yang dipahat dan diukir,
bukan gunung kapur.
Setelah puas menikmati
panorama Bukit Jaddih kami melanjutkan perjalanan untuk makan siang di RM Bebek
Sinjai Bangkalan. Sebuah rumah makan dengan menu bebek yang sangat terkenal. Di
sini kita perlu sabar antri hanya untuk mendapatkan seporsi makanan yang kita
pesan. Hal ini karena membludaknya
pengunjung.
Karena salah seorang rekan
harus segera meluncur ke Bandung dengan kereta pukul 16.30 maka kami memutuskan
seteah makan siang langsung kembali ke Surabaya. Jalur yang diambil tidak
menggunakan ferry, tetapi melintasi Jembatan Suramadu. Jembatan Nasional Suramadu merupakan jembatan
terpanjang di Indonesia saat ini yang melintasi Selat Madura, menghubungkan
Pulau Jawa (di Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan, tepatnya timur Kamal),
Indonesia. Dengan panjang 5.438 meter, lebar 30 meter, dan tinggi 146 meter.
Jembatan Suramadu terdiri dari tiga bagian yaitu, jalan layang (causeway), jembatan penghubung (approach bridge), dan jembatan utama (main bridge).
Pembukaan Jembatan Suramadu dilakukan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 10 Juni 2009. Tujuan pembangunan jembatan
ini ditujukan untuk mempercepat pembangunan di Pulau Madura, meliputi bidang
infrastruktur dan ekonomi di Madura yang relatif tertinggal dibandingkan
kawasan lain di Provinsi Jawa Timur. Perkiraan biaya pembangunan jembatan ini
adalah 4,5 triliun rupiah. Sayangnya kami tidak bisa menikmati indahnya
Suramadu dengan leluasa, karena hujan turun sangat deras.
Mobil melaju melintasi
Suramadu. Sejurus kemudian kami sudah kembali berada di seberang jembatan dan
kembali ke Surabaya. Perjalanan di Pulau Garam memang hanya selintas saja,
tetapi punya kesan yang sangat mendalam. Semoga suatu saat bisa kembali ke
sana!
Sayang pak Cuhendi, cuma 1 hari, kalau 3-7 hari, bisa-bisa bpk tidak mau pulang ke Jawa Barat, krn banyak keunikan2 yg ada di suku2 lain tdk di temui, seperti saya, saya asli orang Nganjuk Jawa Timur, istri asli Banyumas Jawa Tengah, sejak mahasiswa akhir di UNESA Surabaya, saya sudah kontrak sebagai tenaga pendamping, ketemu jodoh di Fak. IPS Jur. Geografi UNESA.
ReplyDeleteSampai jumpa lagi di programnya FKG IPS, mudah2han qta bisa bertemu lagi, bila Alloh SWT masih memberi umur panjang,qta belum jodoh p. Cuhendi krn sewaktu ke Bangkalan itu tdk bertemu krn lagi tugas negsra alias mengajar, sebenarnya ibu Dyah sdh memberi bocoran klau kawan2 mau ke Bangkalan, krn hari2 sebelumnya saya sakit 12 hari tdk mengajar, untuk ijin ke Kasek tdk enak, shg saya mohon maaf ke ibu Dyah tdk bisa menemani teman2 dari FKG IPS dan sayang waktu di LPMP JATIM itu, qta tdk punya kenang2an foto bersama, suatu saat insya Alloh akan bertemu.