BULLYING: ANTARA PELAKU DAN KORBAN
oleh: Christina Wulandari, S.S., M.Pd.
Mengenang
bebarapa purnama lalu berjalan. Institusi kami mengalami satu situasi. Berupa
viral video beredar. Mengenai bullying
atau perundungan yang dialami oleh seorang pelajar SMP yang dilakukan oleh dua
orang gadis remaja. Masalahnya sepele. Karena merasa kekasihnya direbut oleh si
korban.
Efek kemajuan
jaman dalam bentuk benda ajaib masa kini, membawa sebar info berskala luas.
Hanya dalam jangka waktu satu hari dari kejadian, video yang ter-upload,
telah menjangkau berbagai spasial. Baik melalui media whatsapp, facebook, instagram, dan sebagainya. Bermula edar di
Tangerang. Kemudian menjalar ke kota sekitar. Semakin menasional karena
terliput oleh chanel stasiun TV
swasta.
Ada yang
mengiris nurani serta
menyayat hati. Melihat gadis remaja, sampai hati melakukan tindakan meyakiti
orang lain yang nota bene adik
kelasnya. Jerit lengking kesakitan korban tak menghentikan dera pukul pelaku.
Tangisan korban tak membuat iba pelaku.
Bahkan hal yang
konyol tampak dalam video tersebut. Ada beberapa orang yang terlihat dalam
video tampak merekam kejadian kekerasan. Mereka tidak memisahkan.
Ada pula yang mengambil ukulele dari tangan
pelaku. Bukan untuk disimpan agar aman menjauh. Tapi justru untuk dimainkan.
Sehingga video tersebut seperti sedang diberi latar belakang musikalitas.
Mungkin kadar kemirisan semakin bertambah melihat usia pelaku dan korban yang
pasti di kisaran usia 14-18 tahun.
Apa yang salah
dalam fenomena kekerasan fisik tersebut? Peran apa yang bisa dilakukan oleh
bagian diri sebagai masyarakat, pendidik dan orang tua menanggulangi hal
tersebut?
Sebelum menjawab
hal tersebut, tak ada salah bila kita lebih dahulu memahami pengertian bullying. Bullying menurut Townend
(2007: 70) merupakan “… the opposite of
assertive behavior; and destructive. Underlying bullying behavior there is a
lack of self-confidence, low self-esteem, and low self-respect as well as low
respect and mistrust of others”. Ini berarti bahwa perilaku bullying adalah perilaku kebalikan dari
perilaku asertif yang cenderung negatif dan merusak; Perilaku bullying
mendasari adanya kekurangan kepercayaan diri, rendah diri, dan harga diri yang
rendah serta rendahnya hormat dan kepercayaan terhadap orang lain.
Dari pengertian
ringkas di atas, bisa diuraikan bahwa perilaku bullying yang tampak dalam bentuk penyiksaan akan bersifat negatif
dan merusak. Tidak hanya menimbulkan luka fisik kepada korban. Muka lebam. Mata
bengkak sebelah. Demam panas berkepanjangan. Mungkin hasil visum bisa
mendeteksi kemungkina gegar otak atau tulang geser pada bagian ragawinya. Namun
jg menimbulkan rasa trauma yang butuh treatment
khusus dan waktu yang tidak sebentar untuk penyembuhan. Memulihkan luka batin
jauh lebih sulit daripada luka badan.
Sedangkan bagi
pelaku, juga akan menimbulkan efek yang merusak. Terali besi menanti. Sanksi
sosial mendampinginya.
Perilaku bullying identik juga dengan kurangnya kepercayaan diri, serta harga diri. Hal tersebut juga
terefleksi dari pelaku, atau pun korban, dari peristiwa yang terjadi di
Tangerang setahun lalu. Cara dandan dan busana, gayabahasa, serta penyelesaian
masalah yang diambil, jelas, jauh dari takaran terdidik dan terarah secara
sehat.
Lingkungan hidup
dan pola pergaula jaman modern, telah mengambil hak-hak anak untuk berkembang
secara sehat. Harus diakui domisili lingkungan hidup pelaku dan korban memang
tak kondusif bagi mereka. Kepapaan, kesulitan hidup orang tua, kekumuhan rumah,
tidak adanya perhatian orang tua karena sibuk mencari nafkah akibat kesulitan
hidup, membuat anak-anak remaja tersebut bagai hidup bebas di belantara kota
urban.
Mereka mencari
kebahagian semu dari teman-teman geng yang
nota bene senasib dengan kondisi
mereka. Mulailah mereka terbiasa tak kenal waktu. Pulang malam dan bahkan pagi.
Orang tua tak mencari. Kalau pun mencari, anak yang sudah terlanjur salah
jalan, berani melawan, dan orang tua menjadi kalah. Pembiaran pun berlangsung
terus.
Sebagai anak
remaja, mereka mencari jati diri. Stempel jatidiri didapat dari teman pergaulan
mereka. Disebut dewasa, usia mereka belum mencukupi untuk mampu menyadari
setiap kosekuensi pilihan. Dibilang anak kecil, usia dan badan mereka telah
tumbuh perlahan. Posisi di antara ini, yang menyebabkan mengapa mereka kadang
disebut sebagai manusia dengan fase labil.
Kehidupan mereka
yang tak kenal waktu, mulai terisi dengan konsumsi-konsumsi yang lumrah dan
tersedia pesat di jaman mereka. Hape yang dipakai untuk melihat hal-hal yang
menarik minat ingin tahu darah muda mereka. Linting tembakau yang membuat
mereka merasa jago. Gas alkohol yang menambah rasa perkasa, Serta mulai masuknya
mereka ke dalam zat adiktif, untuk mendapatkan efek ringan bahagia, meski semu.
Menjadi teman sehari-hari para remaja tersebut.
Dan tidak aneh,
ketika telah masuk se dalam ini, kehilangan kehormatan dan free sex pun menjadi niscaya. Ketika mereka memiliki kekasih, para
remaja akan merasa memiliki. Mereka merasa berhak dan memiliki kuasa atas
pujaan hati. Sebagaimana menurut Faucault (dalam Ritzer, 2006:109) bahwa “seksualitas
merupakan pemindahan pemahaman yang padat terhadap hubungan kekuasaan, di mana
justru seseorang tersebut akan meyerap diskursus-nya”.
Karena itu,
bagaimana seorang bisa kalap bila merasa kekasih sebagai bentuk kekuasannya
‘diganggu”? Bukankah itu yang ditunjukkan oleh pelaku dalam durasi awal videonya?
Meski pun dalam bahasa yang sangat vulgar.
Lalu bagaimana
yang bisa dilakukan oleh berbagai pihak untuk menaggulangi hal ini? Minimal
mencegah. Meskipun secara kelumrahan, manusia bergerak dan bereaktif hanya saat
terjadi suatu peristiwa. Setidaknya peristiwa tersebut mampu mebangun kesadaran
bersama untuk berusaha memperbaikinya. Dan menjadi alternatif kebijakan ke masa
depannya.
Pertama,
meyakini kembali pentingnya penguatan sikap pro sosial dan penguatan karakter
yang berkesinambungan. Karena pada peristiwa di atas menyangkut pelajar sebagai
korban, dan mantan pelajar sebagai pelaku, maka otomatis, kita masuk ranah
pemangku bidang pendidikan.
Meskipun sekolah
menjadi penanggung jawab atas tugas utama sisi ini, namun jangan dilupakan,
bahwa sekolah tidak bisa bergerak sendiri. Ada institusi lain yang menjadi
pilar bagi penguatan penanaman nilai-nilai sosial dan karakter. Sebagimana
menurut Goldstein (1992: ix), bahwa terdapat tiga pilar institusi penting bagi
penguatan nilai-nilai sosial dan karakter, yakni rumah, sekolah, dan rumah
ibadah (masjid/musholla, gereja, pura, dan sebagainya).
Rumah tinggal yang
digawangi oleh Ayah sebagai kepala keluarga dan Ibu sebagai navigator,
merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak-anak. Perkembangan jaman
menyebabkan posisi dan peran ibu juga tidak hanya domestik, namun juga mencari
nafkah. Namun tetap pastikan seorang Ibu dan Ayah bersama-sama membuat kontrol
dan aturan main terhadap anak-anaknya.
Biasakan jam
keluar anak hanya ditolerensi tidak terlalu malam. Kalau perlu bagi anak-anak
balita dan jelang remaja, didampingi dan ditumpuki bahan bacaan yang berguna,
Hal ini memang lebih mudah dimulaisejak usia dini. Tapi tidak ada salahnya
mencoba meski terhadap anak yang telah besar.
Periksa secara
berkala setiap barang-barang milik anak. Hapenya, tasnya, isi lemari, saku baju
atau celana, sepatu, kamar, atau bawah kasurnya. Tidak bermaksud curiga. Namun
Anda perlu melakukan peran sebagai orang tua dengan tupoksi pengawasannya.
Di tingkatan
sekolah juga harus melakukan pembenahan. Ketika telah terjadi suatu peristiwa
meyesakkan, buka hati untuk mengakui “ada sesuatu yang salah pada operasional
prosedur kependidikan di sini”. Guru merupakan figur sentral pembenahan
internal.
Lakukan
kontemplasi dan refleksi. Kekurangan apakah yang harus dibenahi? Kemudian bersama
mengadakan kolaborasi dan sinergitas terhadap arah kebijakan ke depan.
Terjadinya
peristiwa tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu sisi yang harus dikuatkan adalah pengenalan
siswa didik. Bahwa userssekolah di
tingkat dikdas (baca SMP) adalah golongan pubertas. Tanpa pengenalan dan
pemanfaatan terhadap psikologi tumbuh kembang siswa puber, guru pasti akan
senantiasa terkejut-kejut dengan the next
kejadian serupa.
Tidak ada
salahnya, sekolah merekrut seorang pendidik dengan latar belakang BK murni atau
jurusan Psikologi. Karena lebih mumpuni untuk melalukan terapi atau treatment
terhadap siswa-siswinya. Sebab selama ini di sekolah SMP rata-rata guru BK
adalah guru mata pelajaran non BK yang merangkap jabatan sebagai guru mapel dus
guru BK.
Pembinaan secara
berkala perlu dilakukan terhadap para pendidik dan tenaga kependidikan untk
lebih menyadari dan menanamkan mengenai tupoksinya. Terkadang, ketika seseoramg
sudah berada dalam zona nyama, seseorang tersebut cenderung flat dan sulit
menggeliat untuk suatu terobosan dan inovasi. Jangankan berinovasi atau
berkreasi. Untuk datang ke kelas pun terkadang disiplin jamnya masih bisa
diberi tinta merah.Karena itulah di sini perlu kepemimpnan ynag kuat dan
mangerail yang baik dari seorang pimpinan. Tahu saat harus memuji. Mengerti
saat harus menyentil. Reward and punishment diterapkan secara berimbang.
Pengadaan diklat
disasar untuk menambahkan kompetensi guru dalam hal pedagogic, dan bukan hanya
terkait kompetensi profesionalnya saja. Agar guru lebih mahir mengaplikasi
setiap teori dan model pembelajaran yang scinetifik dan kolaboratif-inqury. Ini
secara tidak langsung memberi kesematan kepada peserta didik menemukan ruang
untuk bekerja sama dan berbagi denga peserta didik lain
Berikutnya
adalah keberadaan rumah ibadah. Rumah ibadah yang menjadi salah satu titik
sentral penanamannilai-nilai sosial dan karakter, juga harus berbenah.
Menghadapi perkembangan jaman, rumah ibadah juga harus memilik kegiatan yang
sebaiknya mulai menggunakan peran serta anak-anak hingga remaja. Jemput bola
juga dilakukan oleh pengurus rumah ibadah untuk membuat rumah ibadah menajdi
sasaran anak remaja terutama untukdatang mencari ilmu keagamaannya.
Tidak ada salahnya
pula bagi orang tua untuk melakuka program beribadah kepada anak-anaknya setelah
malam. Bagi umat muslim mungkin bisa mengirimkan anaknya mengaji di masjid/mushola
setelah sholat magrib. Demikian juga dengan geraja, atau puar, dan sebagainya.
Ada pun untuk
pemerintah kota. Diharapkan untuk menguatkan kebijakan yang menyasar terhadap
penduduk tidak mampu. Cari data akurat mengenai daerah dengan daya beli
penduduk yang rendah dan tidak mampu. Berikan dan cairkan bantuan tunai dan non
tunai kepada kepala keluarga yang tidak mampu. Pastikan bahwa bantuan tersebut
tepat sasaran. Atau gunakan data dari sekolah mengenai siswa yang tidak mampu.
Agar bisa memberikan bantuannya. Sebab terkadang, sekolah melalui wali kelasnya
justru lebih tahu kondisi kemampuan dan ketidakmampuaan ekonomi orang tua
peserta didik.
Gerakkan program
“Seribu Buku” pada setiap rumah ibadah, Tujuannya, agar selain anak-anak dirayu
untuk belajar membaca kitab suci, juga bisa diorientasikan terbiasa membaca apa
saja. Bukan negara Eropa menguatkan pendidikan karakternya di tingkat Sekolah
Dasar dengan hanya minimalis mata pelajaran dan memberikan tagihan berupa banyaknya
buku yang dibaca?
Diakui atau
tidak, itu merupakan salah satu kunci kemajuan mereka di depan kita.
Christina
Wulandari, S.S., M.Pd., Guru IPS SMPN
14 Kota Tangerang dan Alumnus Penerima Beasiswa S-2 P2TK Prodi PIPS UPI Bandung.
0 Response to "BULLYING: ANTARA PELAKU DAN KORBAN"
Post a Comment