GAGASAN UTAMA
Oleh: Edyar RM*
Sore itu, menjelang bimbel, hujan turun dengan derasnya. Di kelas, baru ada
satu orang peserta bimbel yang sudah terlihat siap belajar. Solihat namanya. Rambutnya
hitam lebat. Kulitnya kuning langsat. Hanya saja jidatnya berjerawat. Sudah
mulai kenal lelaki tampan sepertinya. Dulunya ia pendiam dan pemuram. Namun
setelah berbagai jurus komunikasi kugunakan, kelas XII ini mulai riang. Kini, kami
pun bercakap-cakap.
“Pak, saya suka bingung membedakan kalimat utama dan kalimat penjelas,”
ucap Solihat si kuning langsat dengan wajah serius.
“Ya bagus itu.”
“Kok bagus, Pak?”
“Kamu suka, ‘kan?”
“Hah?”
“Iya, kamu suka ‘kan bingung membedakan kalimat utama dan kalimat penjelas?
Ya kalau suka mah gak apa-apa atuh. Bagus itu.”
“Ih, serius atuh, Pak!”
“Ih, anak SMA udah ngajak serius. Ya udah nanti malam
Bapak main ke rumah. Hahaha...”
Wajah gadis SMA itu merengut manja sejenak, tetapi tak lama bibirnya senyum
malu-malu. Hujan masih deras. Kami masih berdua.
“Pak, apa sih manfaatnya belajar gagasan utama dan gagasan penjelas?”
“Neng, belajar bahasa tidak hanya kata dan kalimat saja. Begini, Kata-kata
yang keluar dari mulut itu bergantung dari isi hati dan pikiran. Ada kata yang
keluar begitu berbelit-belit dan membingungkan. Ada pula kata-kata yang keluar
langsung mudah dipahami maksudnya. Ada kata yang keluar begitu menyejukkan. Ada
juga kata yang keluar terasa sangat menyakitkan. Kalau isi hati dan pikirannya
bagus, tentu kata-kata yang keluar akan bagus pula. Jadi, pada hakikatnya
belajar bahasa adalah belajar menata hati dan pola pikir.”
“Wow, dalem banget, Pak.”
“Apanya?”
“Sumur, Pak. Dalem. Hahaha...”
Berani juga dia becanda. Memang aku selalu menghindari kesan formal dalam
membangun komunikasi dengan siswa. Bagiku, dunia formal cenderung penuh dengan
kepura-puraan. Semuanya berlomba-lomba cari muka. Biasanya siswa akan manis di
depan, tetapi mengumpat di belakang. Jujur apa adanya tanpa gengsi adalah lebih
baik. Pastinya aku akan lebih mudah memahami dan mengarahkan mereka ke arah
yang lebih logis dan realistis. Bagaimanapun, ini hanya sebuah persepsi, bukan
berarti antiformal sama sekali.
“Kembali pada pertanyaanmu tadi. Begini, orang itu besar karena gagasannya.
Tanpa gagasan, kita hanya akan menjadi follower dari gagasan orang lain.
Tengoklah Bung Karno, bapak proklamator kita, presiden pertama Republik
Indonesia. Sang orator ulung. Kata-katanya jelas, tegas, lantang, bertenaga,
berkobar-kobar. Setiap pidatonya selalu membakar semangat perjuangan para
pemuda untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Itu semua karena Bung
Karno memiliki gagasan-gagasan hebat. Salah satu gagasannya luar biasa berani
dan sangat tegas pada waktu itu adalah gagasan politiknya. Apakah itu?
INDONESIA MERDEKA.
Gagasan utama tersebut ia perjuangkan melalui gagasan-gagasan penjelas, mulai
dari orasi-orasi politik yang berapi-api, pembentukan PNI, perumusan pancasila
sebagai dasar negara, sampai dengan persiapan proklamasi kemerdekaan. Tak hanya Bung Karno, Bung Tomo, Bung Yamin,
Bung Hatta dan para tokoh pergerakan lainnya pun turut serta mewujudkan gagasan
tersebut. Kalau saja Bung Karno dan
pendiri bangsa yang lain tidak memiliki gagasan mengenai Indonesia merdeka,
mungkin saja proklamasi itu tidak akan ada. Mungkin Indonesia akan manut
saja apa kata Jepang, Belanda, atau negara-negara lainnya yang berniat menjajah
negara kita tercinta.”
Kulihat jerawatnya terusik karena jidatnya berkerut. Pertanda ia serius
mendengarkan. Dan ia pun bertanya, “Oh, jadi kalau mau jadi orang besar harus
punya gagasan ya, Pak?”
“Ya harus!”
“Terus, gagasan Bapak apa?”
Hmm.. “Mencerdaskan kehidupan bangsa.”
”Ah, Bapak kopas pembukaan UUD’45.”
”Dasar anak zaman sekarang, beda benar sama anak zaman dulu.”
“Apa Pak, bedanya?”
“Kalau anak zaman dulu itu sekarang sudah tua, hahaha.... 2-1!”
“Bisa ae, si Bapak!”
“Yang jelas, gagasan utama itu harus didukung oleh gagasan-gagasan
penjelas. Sekarang giliran kamu yang jawab. Kaupunya gagasan? Apa gagasan
utamamu saat ini? Harus jelas!”
Lantang ia jawab, “Lulus SBMPTN ke FISIP UI, Pak.”
Kuserbu lagi dengan pertanyaan susulan, “Gagasan penjelasnya?”
“Rajin bimbel, berlatih soal-soal SBMPTN.”
“Hanya itu?”
“Rajin berdoa.”
“Itu saja?
“Oh, mohon restu orangtua,” ia mulai kewalahan.
“Gak ada yang kelewat?”
“Rajin sedekah?”
“Bukan itu.”
“Apa, Pak?”
“Daftar SBMPTN.”
(gubrag)
Akhirnya, tumbang juga dia. “Jadi intinya, belajar gagasan utama dan
gagasan penjelas akan membuat kita lebih jelas dan lebih sistematis dalam
berpikir, berucap, dan bertindak.”
“Pak... Pak..., menurut Bapak saat ini pemerintah Indonesia sudah punya
gagasan yang jelas belum?”
“Tanyakan ke guru PKn.”
“Ih, si Bapak.”
“Hahaha....”
______________________
*EDYAR RM, Guru Bahasa Indonesia di SMA
Negeri 1 Ciawi. Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMA Kab. Bogor. Pegiat Musikalisasi
Puisi.
0 Response to "GAGASAN UTAMA"
Post a Comment