Riuh dalam Kesunyian
Ketika sakit, betapa mahal harga lelap dan lahap. Tapi,
konon katanya justru di situ salah satu nilai juang orang sakit. Mesti berani
tetap menelan makanan, meski pahit saja yang terasa.
"Ok, akan kumainkan peranku."
Bagaimanapun tak ada orang yang tahan sakit berkepanjangan.
Dan aku berharap, perjuanganku menelan segala makanan pahit plus obat apapun,
adalah bagian dari proses kesembuhanku. Meski tentu saja, jauh sebelum apapun,
aku tanamkan dalam hati bahwa penyembuh dan pemilik obat terbaik adalah pemilik
raga ini.
Sakitku ini, kawan, bukanlah sakit hebat luar biasa. Yang
bisa bikin orang tertunduk haru, menengadahkan tangan mengirim doa khusus.
Taklah, tak seperti itu. Bahkan yang menengokpun tak ada, saking 'biasanya'
sakitku. Tapi bagiku yang merasakan, amboi ... tetap saja, tak bisa merasakan
lahap dan lelap.
Pagi-pagi bersin tak henti-henti. Demam tinggi, keringat
dingin mengucur, hingga harus ganti baju. Tengah hari begini, mata berair
terus, sejauh mata memandang (walau cuma dalam kamar), silau terasa. Belum lagi
cairan dari hidung, sampai tak lepas tissue dari tangan. Minum obat pun tak
begitu membantu.
Dua hari kemarin, pasca minum obat malah payah tak bisa
tidur. Gedebag-gedebug, bolak- balik di kasur. Bantal dibongkar pasang, semua
posisi terasa gak enak. Selimut ditarik lepas. Hingga jam demi jam berlalu,
kuikuti dengan lelah yang sangat.
Ya Allah, aku pasti banyak salah, ya. Masa cuma flu, sampai
makan waktu seminggu. Ya Allah, Aku kurang sabar, ya. Masa cuma flu, keluhannya
banyak banget. Ya Allah, apa aku kurang ikhtiar? Hingga fluku berlarut-larut
begini. Atau aku tak paham juga, bahwa Engkau tengah mengujiku, menilik
seberapa benar aku menerima takdirku?
Aku coba tafakur, apa yang belum kulakukan? Kata sahabatku,
cobalah jurus jitunya. "Menyepi dalam keramaian, dan riuh dalam
kesunyian." Waduh, jadi kayak cerita silat, nih. Apa makna kalimat ini?
Saat suami dan anak-anak pergi, dalam sakit aku sendiri di
rumah. Ini saatnya "membuat riuh dalam kesunyian". Maka ketika
kepalaku mulai pening, sementara tenggorokan haus, dan air minum di kamar
habis. Aku bangun, dan berbisik. " Ya Allah, aku menerima sakitku ini
sebagai takdirku saat ini. Dengan takdir ini, aku harus berusaha sembuh, karena
Engkau menginginkanku berikhtiar."
"Baik, ya Allah, aku akan banyak minum, dan makan obat.
Meski aku tak merasakan apapun yang kumakan dan kuminum."
"Allah, aku ingin istirahat, maka ijinkan aku terlelap
barang sejenak, tolong tahanlah batukku, ringankan sakitku. Batuk dan segala
rasa tak enak ini adalah makhluk-Mu, yang akan tunduk pada ketentuan-Mu. Maka
jika Kau ijinkan, Ia akan menjauh dariku."
"Maafkan aku, ya Allah, bila aku sempat menggantungkan
diri pada obat. Dan Kau uji aku, dengan obat, aku malah makin payah, tak bisa
tidur."
"Ya Allah, sekarang aku hanya mohon dan bergantung
pada-Mu saja. Jika pun, ada makanan atau obat yang kutelan, itu adalah karena
Engkau memerintahkan ikhtiar."
"Saat ini, obatku habis, ya Allah. Sedang aku tak punya
dana dan daya untuk membelinya. Semua orang sedang pergi, dan aku tak pegang
uang sepeser pun. Ya Allah, aku tahu ini takdir-Mu jua. Dan Kau sebaik-baik
pembuat skenario. Kau pasti tahu yang terbaik untukku, maka kuserahkan semua
pada-Mu saja."
Entah berapa kalimat lagi, keriuhan dialogku dengan Sang
Pemilik Raga ini. Sampai aku terlelap. Aku sadar, ketika terbangun karena ada
tangan suamiku meraba keningku.
"Maaf, jadi terbangun. Alhamdulillah sudah reda
demamnya."
Suamiku duduk disampingku, sambil memijit badanku dengan
lembut.
"Sudah lama datang?" tanyaku.
Dia mengangguk sambil tersenyum.
"Maaf, ya. Baru bisa pulang sekarang. Lagi banyak
kerjaan. Mau ke dokter?" tanyanya sambil menatapku.
Aku mencoba duduk. Alhamdulillah, tak terasa pusing lagi.
Tiba-tiba aku merasa haus. Mungkin karena keringat keluar terus. Kurasa bajuku
agak basah karena keringat. Aku mencoba berdiri. "Hai, ringan sekali
rasanya," gumamku dalam hati. Aku benar-benar sudah sehat sekarang.
"Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah. Engkau memang
sebaik-baik penyembuh. Tak ada kesembuhan, selain kesembuhan-Mu. Tak ada obat,
selain obat-Mu."
"Tak Kau izinkan aku
bergantung pada obat, pada orang, atau pada apapun. Ketika kupasrahkan
semuanya pada-Mu, maka dengan izin-Mu,
Kau sembuhkan aku. Subhanalloh, alhamdulillah, allohu akbar."
Aku terus membuat keriuhan dalam hati. Sementara tubuhku
bergerak untuk mengambil minum dan kemudian berwudlu. Tidurku cukup lelap dan
lumayan lama. Waktu sholat Ashar hampir habis, aku harus bergegas. Membuat
keriuhan baru, berterima kasih yang tak terhingga, pada Yang Maha Menyembuhkan.
#Cinunuk, 14 Maret 2019, 20.27. Buat yang lagi sakit, semoga
bisa menghibur.
Buatlah keriuhan dalam sakitmu, insya Allah, Allah akan
mendekat. Titip doa untuk sukses anakku, mulai Senin dia US. Doa orang sakit
lebih makbul.
*) Ummi Mujahidah adalah nama pena dari Nurlaela Siti Mujahidah, S.Pd. guru IPA di SMPN 3 Limbangan, Garut, anggota Komunitas Penulis L3-SMPN 3 Limbangan, redaktur majalah pendidikan Guneman dan penulis buku Diary Ummi Mujahidah.
UNTUK BERLANGGANAN HUBUNGI NO. WA:
0821-2722-5655 (OESEP) atau 0812-2017-090 (MARDIAH)
PENGIRIMAN NASKAH:
Guneman Online: gunemanonline@gmail.com
Geneman Cetak: guneman_magazine@yahoo.com
0 Response to "Riuh dalam Kesunyian"
Post a Comment