Belajar Kejujuran dari Bait Puisi
Oleh: Edyar RM*
Kita
patut bersyukur kepada Allah bahwa kita manusia adalah satu-satunya makhluk
yang mampu bersastra. Sudah sangat jelas dalam sejarah bahwa masyarakat leluhur
kita di bumi Nusantara ini sangat akrab dengan sastra, berinteraksi dan
berkomunikasi melalui pantun dan syair, saling menasihati melalui peribahasa
dan seloka. Jangankan manusia, Tuhan saja menyampaikan firman dalam kitab
suci-Nya penuh dengan muatan sastra. Maka, manusia akan benar-benar menjadi
manusia seutuhnya manakala ia mampu bersastra.
Melalui
sastralah, manusia dituntut untuk mampu berimajinasi, dituntut untuk mampu
bernalar, dan dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan baik, berempati, serta
saling menghargai. Sungguh tepat pernyataan Pramoedya Ananta Tour dalam
novelnya yang berjudul Bumi Manusia: “Kalian
boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa
saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”
Satu
hal yang sangat penting bahwasanya sastra selalu mengajarkan kejujuran. Puisi
adalah salah satu genre sastra. Maka tentu, puisi pun mengajarkan kejujuran
itu. Betapa tidak, puisi yang baik harus ditulis dengan kejujuran hati karena
puisi yang tidak dilandasi kejujuran akan terasa hambar, akan menjadi klise takkan
sampai menyentuh hati. Selain itu, puisi yang baik tentunya mesti diawali
dengan observasi dan perenungan mendalam mengenai kondisi realitas, baik
realitas diri maupun realitas sosial, sehingga mampu memotret, merekam, dan menyuarakan
rasa, berbagai peristiwa, berbagai keadaan dengan sangat jelas, detail, jujur,
apa adanya. Itulah kunci kenikmatan dalam berpuisi; jujur dan merdeka melihat
keadaan.
Sebagai contoh, mari kita tengok puisi
WS Rendra yang begitu paradoks dan masih relevan dengan keadaan bangsa kita
saat ini. Inilah penggalan puisi WS Rendra yang menggambarkan keadaan para
petani pada tahun 1973, “Sajak Burung-burung Kondor” :
Angin gunung
turun merembes ke hutan,
lalu
bertiup di atas permukaan kali yang luas,
dan
akhirnya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian
hatinya pilu
melihat
jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang
terpacak di atas tanah gembur
namun
tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani
– buruh bekerja,
berumah di
gubug-gubug tanpa jendela,
menanam
bibit di tanah yang subur,
memanen
hasil yang berlimpah dan makmur
namun
hidup mereka sendiri sengsara.
....
Tidak hanya WS Rendra, tengok pula “Sajak
Palsu”-nya Agus R. Sarjono yang begitu jujur menceritakan kehidupan di negeri
ini yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan. Dengan sangat gamblang Agus menggambarkan
kenyataan carut-marutnya negeri ini karena berawal dari bobroknya sistem
pendidikan kita, sehingga hanya mampu menghasilkan ekonom-ekonom palsu, ahli
hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu, guru, ilmuwan, dan seniman
palsu.
Perlu juga kita tengok puisi-puisi yang gagah
berani dari seorang penyair sejati, Wiji Thukul. Puisi bertajuk “Peringatan”
yang ditulisnya pada tahun 1986 sungguh menjadi catatan sejarah bangsa
Indonesia yang sangat berharga.
jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa
kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar
bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam
apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!
Ada pula buah perenungan Taufik Ismail
dalam puisinya yang berjudul “Membaca Tanda-tanda”. Dengan sangat apik, Taufik
Ismail mendeskripsikan tanda-tanda alam seperti banjir, longsor, gunung
meletus, gempa, dan bencana alam lainnya sebagai peringatan bahwa ada yang
salah dengan tangan kita. Kita telah
saksikan seribu tanda-tanda/ Bisakah kita membaca tanda-tanda? //
Dengan kejujuran perenungan tersebut, penyair
mampu melihat fitrahnya sebagai manusia, sebagai hamba yang beragama, yang pada
akhirnya puisi tersebut mampu mengantarkan penyairnya kepada Tuhannya. Hampir
setiap penyair, pada akhirnya ia akan menulis puisi tentang Tuhannya. Lihat
saja sang ‘binatang jalang’ Chairil Anwar yang akhirnya sampai pada Tuhannya
lewat puisi berjudul “Doa”. Tuhanku/ di
pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling// Tatkala mereda gejolak
hatinya, menjelang ajalnya Rendra pun menorehkan puisi yang diakhiri dengan
kalimat, ‘Tuhan, aku cinta pada-Mu.’ Taufik Ismail pun tak ketinggalan
bermesraan dengan Tuhannya Lewat puisi “Sajadah Panjang” yang sempat populer
disenandungkan Bimbo: Ada sajadah panjang terbentang/ Hamba tunduk dan
rukuk/ Hamba sujud dan tak lepas kening hamba/ Mengingat Dikau/ Sepenuhnya.// Dan, penyair mabuk macam Sutardji
Calzoum Bachri pun mampu menulis, tujuh
puncak membilang bilang/nyeri hari mengucap ucap/di butir pasir kutulis rindu
rindu/walau huruf habislah sudah/alifbataku belum sebatas allah//
Akhirnya, kita yakin bahwa puisi bisa
membawa kebaikan bagi perkembangan daya nalar dan kedewasaan berpikir kita,
kebaikan bagi keadaan hati yang damai, kebaikan bagi cara kita berinteraksi
dengan diri sendiri, juga dengan Tuhan, alam, dan lingkungan sosial, dan
tentunya kebaikan bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Selamat
berpuisi!
___________________________
*EDYAR RAHAYU
MALIK. Guru
Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Ciawi. Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMA Kab.
Bogor. Pegiat Musikalisasi Puisi.
0 Response to "Belajar Kejujuran dari Bait Puisi"
Post a Comment