DI KAKI RINJANI AKU KEMBALI
Oleh Kusyoto
Sayur
asem, tempe goreng, ikan asin, sambal trasi plus lalapan dalam hamparan daun
pisang habis tak tersisa, wajah-wajah pribumi berkerumun di bawah rindangnya
pohon mangga pinggir pematang sawah, harum aroma kopi hitam meruar di
udarabeberapaperkakas pertanian tradisional seperti ani-ani dan gebodan
sarana ritus panen tergeletak di atas tumpukan jerami kering. Mentari mulai bergeser ke barat, para kurung perempuan dengan ani-ani di
tangantampak semangat menuai tangkai-tangkai padi yang telah menguning sedangkan
kurung lelaki merontokkan batang-batang padi dengan alat pemisah bulir padi
tradisional yang di sebut gebodan.
“Hasil
panen sadon kali ini bagus Permana,
tidak sia-sia sira bapak sekolahkan
sampai jadi Insinyur pertanian.”
“Alhamdulilah
pak, ilmu kita bermanfaat untuk orang
banyak, khususnya bagi warga desa Sumur Gede, tapi….”
“Tapi
apa, Permana?”
“Maapkan
kita pak, belum mampu membuat bapak
bangga, tidak bisa meneruskan kepemimpinan bapak.”
“Sudahlah,
itu tidak penting Permana, kekalahan dalam pemilihan Kuwu itu bukan kesalahan sira,”
“Iya
pak,” gumam Permana, pemuda pemilik alis tebal itu sandarkan punggungnya di
bawah pohon mangga, hembusan angin
kemarau sedikit melongarkan jalan pernapasan dari kabut asap sisa
pembakaran jerami kering sebelah areal pesawahan milik ayahnya, memori pemuda
lulusan Fakultas Pertanian ternama di pulau Lombok ini melayang menembus ruang dan waktu yang
telah lampau.
Permana tatap gadis ayu di
hadapannya dengan berbagai rasa, hari terakhir di pulau Lombok, sang ayah memanggilnya pulang ke
Jawa, mempersiapkan dirinya dalam ajang
pemilihan kepala desa, ayahnya merupakan mantan kepala desa Sumur Gede, desa asri yang
terletak di bilangan selatan Kabupaten Indramayu.
“Baiq, berat rasa hati ini
meninggalkan semuanya, terutama diri mu.”
“Kajimengerti
Permana, pergilah…, kaji akan menunggu kau di pulau ini.”
“Kelak jika semua urusan selesai, aku
akan menjemput mu, Baig.”
Baiq Ayudiya hanya mampu menatap
mata Permana dengan sendu, kepalanya mengangguk ditahannya sebisa mungkin air
hangat yang hendak jatuh dari kelopak mata beningnya, gadis suku Sasak itu
tidak mau terlihat lemah dihadapan kekasih hatinya.
Pengeras
suara bandara Salaparang menggema, memberitahukan pesawat tujuan Mataram-Jakarta
siap berangkat. Permana tersentak bilamana tepukan di punggung menyadarkannya
dari lamunan, sang ayah mengajaknya pulang seiring lembayung merah menghias
cakrawala barat.
***
Mangsa
Rendeng menjelang, para petani di desa Sumur Gede mulai sibuk mempersiapkan
benih padi untuk ditanam, areal persawahan yang semula kering kerontang di mangsa Ketigamulai terisi air, hampir
tiap hari hujan lebat mengguyur kawasan desa Sumur Gede mempercepat proses
penggemburan tanah persawahan yang membentang luas sejauh mata memandang,
Malam
belumlah larut, hujan masih betah mengguyur bumi, sesekali kilat melintas
disusul suara geledek memekakan telinga,
tidak terlihat aktifitas apapun, warga Sumur Gede lebih memilih berkumpul,
bercengkrama, menonton televisi di ruang keluarga, pun dengan Permana, malam
itu setelah bada Isya Permana mengunjungi kakek dan neneknya, kedua orang tua
sepuh itu tampak senang sekali cucu tercinta berkenan menginap di rumahnya.
”Bagaimana khabar bapak dan ibu mu, nang…?”
“Alhamdulilah, semua baik-baik saja
nek.”
“Sira jangan sampai putus harapan
hanya karena kalah dalam ajang pemilihan kuwu.”
“Enggih, nek.”
“Masih banyak gadis-gadis di desa
ini yang baik, santun dan solehah untuk sira jadikan pendamping hidup,” sela
sang kakek lantas menyeruput kopi hitamnya.
“Sudahlah kek, jangan ungkit masalah
itu lagi.”
“Tapi nek, kita kesal, kecewa sama
keluarga Carik,se enake dewekmembatalkan
pertunangan anaknya dengan cucuku ini karena kalah dalam pemilihan kuwu, semprul temen iku wong.”
“Uwis
lah kek, jangan membuat cucu ganteng nenek ini sedih.”
“Tidak apa-apa nenek, kakek, kula malah seneng tidak jadi kawin sama
anaknya pak Carik itu.”
“Loh kok bisa?”
“Kula sudah punya pacar kek.”
“Sira wis due demenan?”
“Enggih
kek.”
“We ladalah, bagus iku.”
“Bagus apa kek?”
“Ya bagus nek, cucu guanteng ku ini
wis apa tuh istilahanak muda zaman sekarang, mopon ya…, mofon,”kata sang kakek
sembari menghembuskan asap rokok kawung dari mulut dan hidungnya.
“Move on, kek.”
“Yahhh, kaya kuen lah.”
“Kek setelah kula perhatikan dalam
beberapa tahun ini, desa Sumur Gede banyak sekali perobahan, semakin maju,
berkembang, baik dalam sisitem
pemerintahan desa maupun di bidang
pertanian, tapi, sepertinya ada yang kurang lengkap dan hilang, apakah
kekek merasakannya juga?”
Sebelum menjawab pertanyaan cucunya,
sang kakek kembali hisap rokok kawung yang hampir padam menghembuskan asapnya
perlahan, desahan berat terdengar, kentara sekali ada gurat kekecewaan di wajah
kakek.
“Permana…, Sumur Gede memang desa
yang subur tapi belum mencapi kemakmuran seperti beberapa tahun silam.” Kakek
hentikan sesaat kalimatnya, diseruputnya sedikit kopi yang tinggal separuh
sebagian ampas kopi dibalurkannya pada batang rokok kawung.
“Kula belum paham kek.”
“Ibarat sungai, SumurGede ini telah kehilangan lubuknya, ibarat
pasar yang telah kehilangan keramaiannya,
ibarat wanita yang telah kehilangan rasa malunya,” ujar sang kakek, matanya
menerawang menembus jendela, hujan di luar masih deras mengguyur bumi.
“Ritus makan bersama di sawah atau brayan telah ditinggalkan, sebenarnya
itu sangat penting dalam menjaga keharmonisan antara pawongan, kurung dengan majikannya, brayan juga dapat meningkatkan
pendapatan hasil panen sebab secara tidak langsung sebagai sarana memberi
sodakoh, sedekah yang inshaAlloh memberikan keberkahan pada pemilik sawah, kerbau penarik welukuuntuk membajak tanah telah diganti
traktor, gebodan untuk merontokkan padi diganti grabagan, ani-ani untuk menuai padi
telah diganti arit/sabit.”
“Sira
kudu weruh Permana, Dewi Sri Pohaci, dewi Sri dewi penjaga padi itu konon
sangat pemalu, menyukai kelembutan, ketenangan dan keluesan, beliau sangat
sedih dan takut jika batang-batang padi itu dibabad dengan arit/ sabit maka
orang tua zaman dulu menggunakan ani-ani atau ketam.”
“Maap kek, bukankah itu memakan
waktu lama dalam menuai padi?”
“Anak muda…, sira kudu weruh makna
yang terkandung dalam ani-ani dan semua alat pertanian tradisional zaman dulu
itu memiliki Pilosofi masing-masing, memang ani-ani membutuhkan waktu lama
namun dengan menggunakan ani-ani hanya tangkai-tangkai padi yang sudah tua lah
yang terpotong sedang tangkai-tangkai padi yang masih muda diberi kesempatan
untuk matang sempurna dan layak untuk dituai
kembali.”
“Zaman sekarang kan sudah maju kek?”
“Itulah perbedaan zaman kakek dengan
zaman kalian para anak muda yang katanya jaman now, semua ingin cepat, praktis
dan simpel, generasi grasa-grusu, selalu diburu waktu yang pada akhirnya
kebingungan, terbentur jalan buntu, menyesal di masa tua belum bisa berbuat
banyak di masa mudanya.”
Permana tertegun mendengar petuah
yang diberikan kakeknya itu, anak muda ini baru menyadari kekurangan dan rasa
hilang yang selama beberapa tahun itu dirasakannya,
yakni suasana, yah suasana alam desa Sumur Gede tempo dulu dimana semua
kenangan indah masa kecilnya bermula, dulu ayah dan ibunya selalu berangkat
pagi pulang sebelum petang kemudian menggelar ritus brayan bersama para
pawongan dan kurung tapi kehidupan keluarganya tetap berjalan dengan harmonis,
tidak kurang satu apa, mampu menyekolahkan dirinya dan adiknya sampai jadi
orang, kini dia berangkat pagi pulang
malam sampai di kontrakan dengan pikiran sumpek dijejali permasalahan kantor
hingga mengurus dirinya sendiri pun terlupakan. Permana rindu dengan semua
kenangan itu, rindu kesederhanaannya, rindu suasana alam pedesaan yang masih
belum terjamah modrnisasi.
“Kek apa yang harus kula lakukan
sekarang?”
“Jelajah
desa Milan kori,carilah pengalaman hidup sebanyak-banyaknya untuk bekal
kehidupan mu di masa depan, terutama bidang pertanian yang sira kuasai,
perdalam ilmu pertanian sira.”
“Kek, dimanakah desa yang masih
memegang teguh budaya pertanian tradisional?”
“Kembalilah ke Sumbawa, suku Sasak
merupakan suku yang masih memegang teguh adat istiadat pertanian tradisional,
ritus brayan dan cara-cara bertani tradisional masih dilestarikan dengan baik, belajarlah
pada suku itu.”
Permana tertegun, hatinya bergetar, kembali ke Sumbawa berarti kembali bertemu
dengan kekasih hatinya Baiq Ayudiya, gadis suku Sasak yang masih menunggunya dengan
setia di pulau Gogo Rancah itu, malam kian larut, hujan telah lama berhenti, di atas pembaringan, pikiran, angan dan sebagian sukma
Permana telah sampai ke pulau Sumbawa.
***
Kabut tipis masih menyelimuti puncak
Rinjani, di pematang sawah, di bawah lebatnya dedaunan pohon mangga, beberapa lelaki tengah asik
menyantap makanan di hamparan daun pisang yang dibawa seorang gadis ayu, gadis
ini tertegun sesaat, kedua pipinya memerah saga, matanya berbinar ketika
seorang lelaki muda telah berdiri dua langkah di hadapannya.
“Permana,kedatangan kau mau menjemput kaji?”
“Aku datang untuk mu, Baiq.”
Dan selembar daun mangga pun luruh
di pematang sawah.[]
Indramayu,
2019
TENTANG PENULIS
Karya penulisan : Laskar Kesanghyangan, novel
(Penerbit Dipta, lini Diva Press) dll.
ALAMAT
PENULIS
RUMAH
SAKIT MM. INDRAMAYU. Jl. Letjen. Soeprapto.No.
292.Kel.Kepandean.Kec.Indramayu.Ruang.CSSD. Samping PDAM Indramayu.NO.HP:
081380790380.
No. Rek.: BRI.
4239.01.007726.53.9. An. KUSYOTO
Keterangan.
Panen Sadon: Panen di musim
kemarau Kaji: Saya, bhs
Sumbawa
Mangsa Rendeng: Musim Penghujan Kurung: Pekerja
Sira : Kamu, bhs Indramayu Pawongan:
Orang Kepercayaan
Kita: Saya, bhs Indramayu
0 Response to "DI KAKI RINJANI AKU KEMBALI"
Post a Comment