Pengadilan Ikan-Ikan
oleh Kusyoto
Kedung
Cowet gempar, seorang lelaki bertudung bambu berlarian tanpa arah kemudian
semaput di atas dermaga yang terbuat dari rangkaian bambubegitu keluar dari
dalam telaga alam nan asri itu, satu jam sebelumnya, Mardani warga desa Cemara
Kulon dikabarkan tenggelam ketika mencari ikan dengan alat penyudut atau strum.
Mardani masih terkulai lemas ketika beberapa orang menggotong tubuhnya ke rumah,
“Nang,
Mardani sadar ini Sema nang…,” ujar
wanita paruh baya sambil mengguncang tubuh anak semata wayangnya.
“Sabar
mak, sebentar lagi InshaAllah Mardani sadar.”
“Anake kita kenang apa pak Ustad?”
Sebelum
menjawab pertanyaan orang, lelaki tua berwajah klimis itu tampak memejamkan kedua
matanya, napasnya berhebus berat seiring matahari pagi yang mulai tersenyum
diantara nyiur di tepi pantai.
“Mardani
sedang mempertanggung jawabkan perbuatanya, mak.”
“Anake
kita salah apa pak Ustad?”
“Di
tunggu saja mak, biar Mardani sendiri yang menceritakannya, saya tidak diizinkan
untuk saat ini.”
Wanita
paruh baya itu hanya mampu tertunduk lemah sembari mengusap-usap rambut Mardani
dengan penuh kasih sayang, Mardani haya tinggal berdua saja dengan ibunya
sedang ayahnya sampai sekarang belum diketahui keberadaannya, ayah Mardani
dinyatakan tenggelam dan hilang ketika mencari ikan di telaga alam Kedung
Cowet.
**
Mardani
terperangah menyaksikan suasana sekeliling dengan rasa heran sekaligus ngeri,
pemuda tanggung itu berada di sebuah ruangan yang sangat indah, ikan-ikan aneka
jenis berenang bebas mengelilinginya, yang membuat takjub dia mampu bernapas
bebas seperti layaknya di daratan, seorang wanita cantik luar biasa bermahkota
emas duduk di singgasana bertaktha gading sedang dia sendiri duduk di kursi
berbentuk kura-kura warna hijau.
“Anak
manusia terlahir bernama Mardani bin Tasan, kau tahu apa kesalahan mu?”
Pemuda
tanggung itu hanya mampu diam, ketakutan mulai menjalari raganya.
“Jawab
pertanyaan Ratu kami!” sentak seorang lelaki gagah, bagian dada ke bawah
berwujud ikan dengan tangan kanan menggengam tombak berkait.
“Kita…, apa kesalahan kita?” ujar Mardani
tergagap.
Lelaki
gagah lemparkan sesuatu pada Mardani, pemuda tanggung itu langsung kecut begitu
mengenali peralatan strum yang digunanknya untuk menangkap ikan.
“Sekarang
kau tahu kesalahanmu, anak manusia?” desis sang Ratu.
“Tapi…,
tapi bukankah bangsa kalian diciptakan untuk makanan kami.”
“Langkara…,
bawa anak manusia ini ke ruang pengadilan ikan-ikan.”
“Baik Ratu,” ujar lelaki gagah
separuh ikan kemudian menghentakkan tongkatke lantai, beberapa jenis ikan
menggiring Mardani menuju sebuah ruangan, selayaknya ruang pengadilan di sana
sudah ada panitera, jaksa penuntut umum, penasehat hukum dan pengunjung sidang
yang tentu saja mereka semua berwujud manusia setengah ikan. “Hadirin dimohon berdiri…,” kata Panitera.
Semua yang hadir dalam persidangan
termasuk jaksa penuntut umum dan penasihat hukum berdiri, hakim sudah duduk di
tempatnya para hadirin duduk kembali, hakim ketua mulai membuka siding.
“Pengadilan atas pembunuhan ikan-ikan yang dilakukan anak
manusia bernama Mardani bin Tasan dimulai,” kata hakim ketua sambil mengetok
palu sebanyak tiga kali.
“Anak manusia bernama Mardani bin Tasan,
apa alasan mu membunuh ikan-ikan dengan alat strum?”
“Saya hanya memiliki alat itu saja
untuk menangkap ikan.”
“Darimama alat itu kau dapat?”
“Warisan mendiang ayah saya.”
Selama dua jam penuh Mardani diadili
oleh para ikan-ikan yang pernah dibunuhnya dengan alat strum, hakim ketua
menunda persidangan memberi kesempatan pemuda itu istirahat, di selnya Mardani
terpekur sendirian.
“Gusti Allah, apa yang sebenarnya
terjadi dengan hamba?” keluh Mardani, pemuda tanggung itu lantas teringat
ibunya di rumah, air matanya tak terbendung ketika wajah sang ibu begitu jelas
di pelupuk matanya, Mardani ingat betul sore sebelum dirinya berangkat
menangkap ikan di telaga alam Kedung Cowet ibunya berkata agar tidak lagi
mengkap ikan menggunakan alat strum.
“Nang Mardani, baiknya sirajangan gunakan alat strum itu lagi.”
“Memangnya kenapa mak?hanya alat ini
warisan dari bapak.”
“Bukankah masih banyak alat
penangkap ikan seperti pancing, jala, seser,
anco dan yang lebih ramah lingkungan.”
“Alat-alat itu sudah kuno mak,
memakan waktu dan hasilnya juga sedikit.”
“Nang Mardani, seorang pemburu yang
bijak selalu menyisakan hewan buruannya untuk berkembang biak, pun dengan
ikan-ikan sebab alat yang sira gunakan itu menyakiti ikan tanpa pandang bulu.”
“Wis
lah mak, Mardani berangkat dulu hari mulai malam kalau terlambat nanti tidak
dapat ikan,” sela pemuda ini kemudian berlalu meninggalkan ibunya, sang ibu
hanya mampu menarik napas panjang.
“Mardani, sira tidak akan mengerti alasan sema mengatakan semua itu, kang
Tasan…, sebenarnya apa yang terjadi dengan dirimu, dimana kau sekarang” desah
perempuan paruh baya itu sendu.
Air mata Mardani menganak sungai,
penyesalan merambah relung jiwanya, pemuda ini begitu terpukul ketika kembali
mengingat wejangan yang diberikan sang ibu sebelum berangkat mencari ikan di
telaga alam Kedung Cowet.
“Maapkan kita mak…, Gusti Allah
tolonglah hamba mu ini,” doa tulus Mardani dengan linangan air mata penyesalan.
Begitulah manusia, ketika tidak mampu berbuat apa-apa lagi baru mengingat
orang-orang yang dikasihi dan Tuhannya.
“Mardani…,” sebuah suara serak
terdengar dari sudut sel, pemuda itu beringsut mendekati suara yang
memanggilnya, mata Mardani terbelalak ketika mengenali sosok yang terpekur di
sudut penjara.
“Bapak…, apakah benar ini bapak?”
kata Mardani kemudian memeluk lelaki paruh baya itu dengan berbagai perasaan.
“Kenapa sira ada di sini nang?”
“Lah, bapak sendiri kenapa ada di
sini?” balik bertanya Mardani.
“Bapak sedang menjalani hukuman
nang.”
“Apa salah bapak?”
“Dalam pengadilan ikan-ikan bapak
dinyatakan bersalah karena menangkap mereka dengan sudutan atau strum.”
“Tapi bukankah bangsa mereka itu
ditakdirkan menjadi makanan kita bangsa manusia, pak.”
“Sira benar, tapi cara bapak yang
salah, alat sudutan atau strum itu sangat menyakitkan buat mereka bangsa ikan,
arwah mereka tidak terima tewas dalam kondisi seperti itu, alat sudut sangat
brutal tidak pandang bulu membunuh ikan-ikan bahkan yang masih bentuk
telur sekali pun,” ungkap Tasan ayah
Mardani, pemuda tanggung itu hanya tertunduk diam mendengar cerita ayahnya.
“Mardani, kau ada di sini
jangan-jangan….”
“Bapak benar, kita lagi diadili
dengan tuduhan pembunuhan ikan-ikan dengan strum.”
“Bapak menyesal, andai saja Gusti
Allah memberi kesempatan kembali ke alam manusia, akan kita katakana pada semua
orang jangan menangkap ikan dengan alat berbahaya itu.”
“Bapak dijatuhi hukuman apa?”
Belum sempat lelaki paruh baya itu
menjawab pertanyaan anaknya, beberapa pengawal datang dan menggiring keduanya
menuju ruang persidangan ikan-ikan.
“Anak manusia bernama Tasan bin
Supa, apakah kau sudah memberitahu apa
kesalahan anak mu?”
“Sudah tuan hakim.”
“Anak manusia bernama Mardani bin
Tasan, apakah kau mengakui kesalahan mu?”
“Kita mengakuinya, tuan hakim.”
“Apakah kau mau mengajukan banding?”
“Tidak tuan hakim,” kata Mardani
tegas.
“Baiklah, setelah melihat, membaca,
menimbang dan akhirnya kami para hakim bangsa ikan memutuskan bahwasanya anak
manusia bernama Mardani bin Tasan dinyatakan bersalah dan sesuai undang-undang
dan pasal-pasal bangsa ikan, maka hukuman yang harus dijalani Mardani bin Tasan
adalah mengikuti kami bangsa ikan untuk selalu berzikir menyeru keagungan Gusti
Allah kang akarya jagat, seumur hidup di Kerajaan ikan Kedung Cowet ini,” kata
sang hakim yang siap mengayunkan palu memutuskan perkara.
“Tunggu tuan hakim,” sela Tasan,
ayah Mardani itu tampak beringsut mendekati hakim ketua persidangan.
“Ada apa Tasan, kau mau mengajukan
banding atas anak mu?”
“Perkenankan saya memohon
pertimbangan dan kebijakan tuan hakim.”
“Dipersilahkan.”
“Biarlah kita yang menanggung
hukuman Mardani, sebab di alam manusia Mardani masih memiliki tanggung jawab
menjaga ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, biarkan Mardani menceritakan
semua kejadian yang kami alami pada semua orang agar mereka tidak lagi
menangkap ikan dengan cara keji, sekali lagi biarlah kita yang menanggung hukuman
Mardani tuan hakim,”kata Tasan memelas.
Hakim ketua tampak berunding dengan hakim
lainnya, tak berapa lama hakim ketua turun dari podium dan mendekati Mardani
yang masih terduduk lemas di bangku berbentuk kura-kura berwarna hijau.
“Anak manusia bernama Mardani bin
Tasan, kau tahu kami bangsa ikan akan merasa terhormat dan ikhlas dijadikan
makanan manusia sebab itu sudah kodrat kami yang sudah ditentukan Gusti Allah
kang akarya jagat, perlakukan dan tangkap kami dengan kasih sayang, pulanglah urus ibumu dengan baik,” kata hakim
ketua.
Mardani tersentak dari pembaringan,
pemuda tanggung itu nanar menatap sekelilingnya.
“Nang, sira sudah sadar Mardani,”
kata ibunya sambil memeluk anak kesayangannya dengan berlinang air mata, Mardani
tertegun, tidak ada satu patah katapun
yang mampu dia ucapkan, Mardani bisu setelah tersadar dari pingsannya.[]
Indramayu,
2019
TENTANG PENULIS
ALAMAT SURAT
MENYURAT.
Jl. Let.Jen,
Soeprapto no. 292 Kelurahan Kepandean,
Kecamatan Indramayu
NO.HP:
081380790380.
Akun Facebook:
Kusyoto, kyt
Email:
kkusyoto@gmail.com
No.
Rekening: BRI. 4239.01.007726.53.9. Unit
Tugu, An. KUSYOTO.
0 Response to "Pengadilan Ikan-Ikan"
Post a Comment