HIKAYAT PAHERAN TAKMAD DININGRAT
oleh Kusyoto
Dua
tahun setelah Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekannya dari cengkraman
penjajah Belanda selama tiga setengah abad melalui perjanjian Lingarjati, satu
ketika di bulan Oktober bangsa kulit putih itu berusaha menancapkan kuku
kolonialisnya kembali di bumi pertiwi dengan melancarkan agresi militer
pertamanya. Beberapa daerah di kawasan timur sudah ditundukkannya, namun,
bangsa Indonesia yang mulai mengecap manisnya kemerdekaan tidak tinggal diam
dan sudah tidak sudi lagi di bawah bayang-bayang penjajahan, maka di beberapa daerah timbulah gerakan-gerakan
melawan penjajah belanda.
Panglima besar Jendral Sudirman tidak tinggal diam, dalam
menghadapi situasai seperti itu untuk menunjukan pada seluruh rakyat bahwa tentara Indonesia masih ada di kerahkannya
seluruh pasukan yang tergabung dalam barisan tentara keamanan rakyat untuk
mengadakan pengamanan dan penyerangan dengan cara taktik perang gereliya, salah
satunya adalah pasukan yang di pimpin oleh M.A Sentot di Jogjakarta meminta
kepada komandan kesatuannya untuk di tempatkan di wilayah Indramayu.
Pasaukan yang di komandoi oleh M.A Sentot bukan saja dari
kalangan militer bekas PETA yang di bentuk Jepang tapi dari berbagai kalangan
dan golongan bahkan para Bromocorah atau residivis pun direkrutnya dan
bergabung dalam pasukannya, hal itu sangat rawan akan penghianatan bagi
kelangsungan pasukan setan dan untuk mencegah hal tersebut pemakaian pangkat
dan jabatan di kalangan pasukan di tiadakan semuanya sama tapi tetap di bawah
komando langsung M.A Sentot. Pemimpin pasukan setan ini membeberkan bagaimana
kejamnya penjajah, dan menegaskan perjuangan yang di lakukannya bukan semata
perjuangan melawan penjajah di daerah Indramayu saja melainkan perjuangan bagi
seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.
Dibawah komando M.A Sentot pasukan ini sangat di segani
dan di takuti oleh Belanda. Muncul secara mendadak, memporak porandakan
kantong-kantong yang di bentuk belanda setelah itu menghilang tanpa jejak
seakan lenyap di telan bumi. Pasukan ini terkenal dengan nama pasukan setan,
Takmad yang pada waktu itu masih sangat muda merupakan anggota dari pasukan
dengan lambang bendera merah bergambar kepala tengkorak dengan tulisan PS di
bawahnya yang merupakan singkatan dari Pasukan Setan.
Satu kali M.A Sentot mengutus Takmad muda untuk mencari
tempat perlindungan sekaligus sebagai markas komando yang akan di jadikan basis
pertahanan dengan tugas merongrong Belanda. Maka, di pilihnya satu daerah
perkampungan terpencil yang bernama kampung Kujang. Bersama ke dua orang
temannya Takmad muda berngkat ke kampung tersebut untuk meminta kepada kepala
kampung Kujang menjadikan wilayahnya sebagai basis pertahanan dan markas dari
pasukan setan.
“Baiklah.
Kami bersedia dan mendukung penuh jika kampung Kujang ini di jadikan markas,” kata
kepala kampung Kujang tanpa ragu.
Mendengar kesediaan kepala kampung Kujang. Takmad muda
begitu senang, di suruhnya kedua temannya untuk menyampaikan kabar tersebut
pada M.A Sentot. Beberapa jam kemudian secara berkala pasukan setan yang di
pimpin M.A Sentot mulai memasuki kampung Kujang dan dari kampung inilah gerakan
pasukan setan mulai beraksi.
Dikala siang hari,
seluruh pasukan setan bersembunyi di hutan sedangkan jika sang surya
mulai tenggelam di saat seluruh pasukan Belanda terlena di alam mimpi tanpa
ampun dan kompromi pasukan setan muncul menyerang secara bersamaan setelah itu
menghilang tanpa meningalkan jejak sedikitpun, hal mana membuat pasukan Belanda
yang berada di kota Indramayu dan Kawedanan Jatibarang menderita kerugian besar
dengan banyaknnya anggota pasukan yang tewas tanpa di duga, begitu pasukan Belanda
bersiap melakukan serangan balasan. pasukan setan sudah tak tampak batang
hidungnya.
Belanda yang licik lantas mengubah strategi perangnya, disebarnya
isu dan kabar angin bahwasanya Belanda akan menarik seluruh pasukannya dari
kawasan Indramayu juga Jatibarang dan mengakui kemerdekan bangsa Indonesia pada
bulan berikutnya. Kabar tersebut di sambut dengan rasa syukur dan bahagia, seluruh
pasukan setan bersuka ria, perjuangannya selama ini tidaklah sia-sia, mereka
berpesta pora mabuk akan kemenangan, mereka lupa kelicikan Belanda di kala melanggar
perjanjian Linggarjati, untunglah Takmad muda yang waktu itu merasakan sesuatu
tidak terlena dengan isu dan kabar burung yang di dengarnya. Takmad muda tetap
waspada. Dan benar saja, di saat malam beranjak ke dini hari, dimana seluruh
pasukan setan kelelahan akibat berpesta semalam suntuk, salah seorang mata-mata
yang di tugaskan Takmad muda melihat gerakan tentara Belanda dalam jumlah besar
sedang bergerak menuju kampung Kujang.
“Mereka
sudah sampai di jembatan Bangkir,” kata salah satu anggota pasukan setan yang
bernama Murahnara.
“Celaka,
segera laporkan hal ini pada komandan Sentot,” ujar Takmad muda.
Tanpa membuang waktu keduanya lantas menemui M.A Sentot
yang masih tertidur pulas, pemimpin pasukan ini tampak terlonjak dari tidurnya.
“Segera
ungsikan seluruh pasukan,” perintah M.A Sentot lantang.
Dalam kelelahan yang luar biasa, seluruh pasukan setan
meninggalkan kampung Kujang menuju selatan, dalam usaha melarikan diri dari
kepungan tentara Belanda, Murahnara
pemuda asal Subang itu gugur, Murahnara kepergok tentara Belanda pada waktu
berusaha melarikan diri, pemuda kusuma bangsa ini tersesat tidak tahu arah
tempat pengungsian yang akan di tujunya,
akhirnya timah panas menembus dadanya.
Pasukan setan yang di pimpin M.A Sentot terus bergerak ke
selatan, di desa Tugu. pasukan setan bertemu dengan pasukan gereliya yang di
komandoi Subur karena basis pertahanan di desa Tugu sudah ada maka, pasukan
setan memilih desa Jatimunggul yang masih kosong sebagai basis pertahanannya. Dua
bulan lamanya pasukan setan bertahan di desa Jatimunggul, hingga pada satu hari
M.A Sentot mendapat perintah pasukan setan yang di pimpinnya akan ditarik ke
pusat pertahanan yang ada di Jogjakarta, namun Takmad muda memilih keluar dari
kesatuannya, pemuda ini lantas pergi megembara mengikuti bisikan goib yang diterimanya.
Puluhan tahun ketika bangsa Indonesia benar-benar lepas
dari cengkraman penjajah. Takmad yang waktu itu menginjak usia separuh baya
telah menyelesaikan pengembaraannya, berbekal ilmu kanuragan, Takmad membuka
perguruan silat yang di berinama Silat Serbaguna. Perguruan silat serbaguna
yang di kelolanya tidak berjalan lama, para anak murid perguruan itu lebih
memilih merantau ke kota, hanya beberapa murid yang masih setia menemaninya.
Tunjangan hari tua sebagai Veteran tidak pernah diterimanya,
di masa orde baru kehidupan Veteran perang ini begitu memprihatinkan dan ternyata
bukan hanya dirinya saja yang mengalami nasib seperti itu, beberapa kawan
seperjuangannya juga mengalami nasib serupa.
“Inilah
monumen Kujang yang dibangun pemerintah orde baru untuk mengingat perjuangan
pasukan setan yang di pimpin M.A Sentot,” kata Paheran pada satu hari ketika
kepala suku dayak Losarang itu mengajak Mutahalimah napak tilas perjuangannya
dulu, Monumen kujang itu berada di sebuah desa bernama kampung Kujang masuk
wilayah kecamatan Cantigi.
“Satu
masa di saat partai masih ada tiga di Nusantara ini, kita sebagai salah satu
kader partai mengalami peristiwa yang menyakitkan, rumah kita di bakar oleh
orang-orang tak di kenal, kehidupan kita di desa Semirang diintimidasi tapi
tidak ada tindakan apa-apa dari pemerintah pusat maupun setempat, hingga kita
memutuskan pindah ke kampung Segandu dan membentuk komunitas Dayak
Losarang.”
Paheran
Takmad Diningrat hentikan sejenak kisah masa lalunya, mataya tampak menerawang
jauh entah kemana.
“Jadi
Paheran memutuskan membentuk komunitas
Dayak Losarang di latar belakangi oleh sakit hati dan rasa tidak puas pada
kebijakan pemerintah,” kata Mutahalimah pelan.
“Bisa
iya bisa juga tidak, terserah orang mau berpendapat bagaimana, bagi kita
pemerintah sekarang ini hanya menyengsarakan rakyatnya saja, dan itulah alasan
dari suku dayak Losarang memilih golput pada pemilu di tahun dua ribu empat
yang silam.”
Tandas
Paheran sembari menghisap rokok kawungnya yang hampir padam.
“Alasan
Paheran mencetuskan golput bagi suku dayak Losarang?”
“Rasa
cinta damai dan tenggang rasa, kami merasa kasihan jika satu golongan saja yang
lolos dalam pemilu sedang beberapa yang lain tenggelam dalam kesedihan, jadi
kami putuskan untuk tidak memihak diantara salah satunya,” kata Paheran tegas.
“Apakah
anggota suku dayak Losarang semuanya bermata pencaharian petani?” kata Mutahalimah.
“Tidak
semuanya, ada juga yang berprofesi sebagai pedagang dan yang lainnya.”
“Oh
ya, beberapa waktu lalu saya pernah melihat anggota Paheran berjualan
buah-buahan dengan menggunakan sepeda motor, tetap mempertahankan kebiasaannya
yang hanya memakai celana sebatas lutut dengan motif hitam putih dan topi
kukusan,” kata Mutahalimah.
“Itulah
adat kami nok, dimanapun kami berada, tradisi adat tetap dijungjung tinggi, waktu
kami di undang dalam satu acara di Jakarta, ritual kungkum dan pepe tetap kami
lakukan,” kata Paheran.
“Paheran
bisa menjabarkan lebih dalam mengenai pilosofi suku dayak Losarang?” kata
Mutahalimah.
“Dengan
senang hati nok, kami selalu merasa tersanjung jika ada orang yang menanyakan
masalah tersebut,” ujar Paheran sambil tersenyum.
“Kita
mulai dari kata suku dayak Losarang, bumi segandu, suku mengandung arti kaki, maknanya kita harus hidup mandiri di
atas kaki sendiri. Dayak, asal kata dari ayak
atau menyaring, dalam kehidupan kita harus mampu mengayak atau menyaring
hal-hal yang baik dan buruk. Kepercayaan kami Hindu-Buda, Hindu di artikan
wanita, sebagai mahluk yang harus kita hormati karena dari sanalah asal muasal
kehidupan berlangsung. Buda, mengandung arti wuda atau telanjang, manusia di lahirkan di dunia ini dalam keadaan
wuda, bersih dan suci. Itulah makna dari pilosofi yang kami jalankan nok,” kata
Paheran mengakhiri penjabaran dari kepercayaan yang di anutnya.
Mentari perlahan surut ke arah barat. Pertanda semua anak
murid padepokan bumi segandu bersiap menjalankan ritual tapa kungkum, begitupun
dengan Mutahalimah, setelah mengucapkan banyak terimaksih atas penjabaran yang
diberikan oleh kepala suku dayak Losarang, gadis manis ini bergegas ke pancuran
yang terdapat di salah satu sudut bangunan beratapkan sirap, mengambil air
wudhu dan melaksanakan solat magrib.
Malam menjelang. Hembusan hawa dingin terasa mencucuk
persendian, suara serangga dan jangkrik berkumandang sesekali kepakan sayap dan
cicit kelalawar terdengar di angkasa nan kelam, dalam kesendiriannya di atas
bale beralaskan tikar pandan Mutahalimah tampak kusyuk melantunkan ayat-ayat
suci Al-Qur’an.
Malam itu malam terakhir Mutahalimah berada di lingkungan
suku dayak Losarang padepokan bumi segandu, besok pagi gadis manis berhijab
hijau lumut itu bersama teman teman kampusnya yang tergabung dalam wadah MAPALA
akan melanjutkan perjalannya ke sebuah pulau berjarak setengah jam perjalanan dari
pesisir pantai karang song, pulau yang di tuju itu bernama pulau Biawak, sebuah
pulau yang dimiliki dinas pariwisata PEMDA Indramayu.
Disaat sang surya mulai menampakkan sinarnya dari balik
pepohonan widara laut yang tumbuh di sisi pintu gapura padepokan, beberapa
teman kampus Mutahalimah telah datang dan berkumpul di depan pondok beratapkan
sirap, beberapa anak murid padepokan bumi segandu dengan bertelanjang dada
terlihat berbaris rapih di tengah lapangan, sang kepala suku Paheran Tamad
Diningrat tampak menjabat erat tangan Mutahalimah.
“Pintu
padepokan bumi segandu selalu terbuka untuk senok, datanglah kapanpun senok
mau,” kata kepala suku dayak bumi segandu itu pelan.
“Terimakasih
Paheran,” kata Mutahalimah di jawab anggukan mantap Paheran Takmad Diningrat.
“Nok
Mutahalimah sudah kita anggap anak sendiri,” menambahkan bu Takmad istri dari
Sang kepala suku.
“Terimakasih
bu,“ ujar mutahalimah terbata-bata, gadis manis ini lantas memeluk bu Takmad
dengan erat tangis kedua perempuan ini pecah sudah.
“Saya
pamit….” Mutahalimah tampak melambaikan tangan di sambut lambaian yang sama
oleh seluruh anak murid padepokan bumi Segandu, bersama beberapa teman
kampusnya Mutahalimah melangkah meninggalkan pintu gerbang padepokan bumi
Segandu.
“Wis lah bu. Senok Mutahalimah wis ora katon
maning,” kata kepala suku dayak ini sembari menepuk pundak bu Takmad
istrinya. Bu Takmad masih mematung di tempatnya, lelehan butiran bening tampak
meluncur diantara pipinya yang mulai keriput.
“Paheran,
kita sangat sayang pada senok Mutahalimah, kita yakin, satu ketika dia kembali
lagi ke mari,” kata bu Takmad diantara isak tangisnya yang mulai terdengar.
“Sudahlah
bu, nok Mutahalimah mempunyai kehidupannya sendiri,” pungkas Paheran sambil
berlalu meninggalkan istrinya yang tampak masih memandang kosong ke depan.
Mentari mulai terik membakar bumi. Beberapa anak murid
padepokan bumi Segandu di pimpin Sang kepala suku Paheran Takmad Diningrat
segera berbaris di lapangan untuk melaksanakan ritual tapa pepe atau berjemur.
Indramayu, 2019
TENTANG PENULIS
KUSYOTO,
lahir di Indramayu 02 Juli 1977, anak sulung dari dua bersaudara ini mulai
menulis sejak SMA, sangat menulis
terinspirsi dari ayahnya yang notaben sebagai sutradara sebuah sandiwara
tradisional atau Masres yang menjamur pada masa itu, dari sanalah jiwa jurnal
dalam menulis bergenre kisah fiksi legenda berlatar sejarah kerajaan masa silam
muncul, bergelora dalam dadanya.
Bergiat di DKI (Dewan
Kesenian Indramayu, komite Sastra)
ALAMAT SURAT MENYURAT.
Rumah Sakit. MM.
Indramayu.
Jl. Let.Jen, Soeprapto
no. 292 Kelurahan Kepandean, Kecamatan
Indramayu
NO.HP: 081380790380.
Akun Facebook: Kusyoto,
kyt
Email:
kkusyoto@gmail.com
No. Rekening: BRI. 4239.01.007726.53.9. Unit Tugu, An. KUSYOTO.
0 Response to "HIKAYAT PAHERAN TAKMAD DININGRAT"
Post a Comment