FITNAH
Oleh Lisan Qurani Siti Ath-thi’ah
“Hei,
assalamualaikum,” sapaku pada semua orang yang ada. Tak ada jawaban. “Mungkin
mereka tak mendengar sapaanku,” ucapku dalam hati.
“Hei,
assalamualaikum.”
Aku
mencoba menyapa beberapa adik kelasku. Namun mereka juga diam tak menjawab
salam. Mungkin mereka sedang sibuk sehingga tak sempat membalas salamku. Sebisa
mungkin aku berpikir positif.
Aku
berjalan melewati sekumpulan anak lelaki yang sedang memakan camilan, mereka
memberi tatapan aneh padaku. Aku kira
ada yang salah dengan seragamku. Akupun memeriksa dari ujung kaki hingga
kepala. Namun tak kutemukan hal aneh, seragam yang kugunakan pun sama seperti
yang mereka kenakan.
Semua
orang menatapku seperti itu, hingga aku malas untuk menyapa lagi. Kepalaku
dipenuhi ribuan tanda tanya, sampai-sampai aku tak focus saat belajar. Hingga waktu istirahat tiba ….
Semua
orang tergesa-gesa ke luar dari kelas, kecuali aku dan Viola. Kami berdua
sama-sama membuka bekal masing-masing. Aku hampiri Viola.
“Boleh
gak, aku duduk di sebelahmu?” tanyaku mengawali pembicaraan.
“Boleh.
Sini,” jawabnya.
“Tahu
gak, kenapa teman-teman menatap aku kayak gitu?”
“Jadi,
selama ini kamu gak tahu?” Tanya Viola.
“Coba
buka HP kamu deh. Veloz bikin status tentang kamu, lho. Dia nyebarin isu kalau
kamu mencuri terus nampar pipi Veloz
sampai bengkak,” tambah Viola.
Aku
terkejut saat membuka HP-ku. Aku baca status Veloz.
“Jalibran, orang aneh yang selalu
bikin masalah. Hari ini, Ahad, 27 Februari dia mencuri sepatuku dan menampar pipiku
hingga bengkak!”
“Apa?
Kenapa …? Kenapa dia ngelakuin itu?” seruku.
“Entahlah.
Tapi dia emang suka cari sensasi. Masa kamu lupa.”
“Tapi
…, kenapa kamu masih percaya sama aku?”
“Soalnya
…, aku percaya sama kamu. Aku yakin, kamu gak bakal ngelakuin hal bodoh kayak
gitu.”
Tiba-tiba
Bu Putri, Veloz, Bela dan Gracia datang menghampiri.
“Jalibran!”
panggil Bu Putri.
“Iya.
Ada apa, Bu?” jawabku sambil menutup tempat makananku.
“Katanya
kemarin kamu mencuri sepatu milik Veloz dan menamparnya.”
“Benar,
Bu,” ucap Bela membenarkan. Gracia pun ikut mengangguk.
“Tidak,
Bu,” kataku sambil tertunduk malu.
“Bohong,
Bu. Dia bohong,” ucap Veloz tak ingin kalah.
“Tapi,
aku hanya ….” Belum sempat kuselesaikan ucapanku, Gracia telah menyela.
“Alasan
saja. Bu, aku lihat pake mata sendiri.”
“Tapi
kemarin, aku cuma ngambil buku yang ketinggalan.”
“Jalibran,
Ibu sudah punya tiga saksi. Ibu kira itu sudah cukup untuk menghukummu,” ucap
Bu Putri.
“Sekarang
juga, ikut Ibu ke kantor,” lanjutnya.
Aku
hanya bisa tertunduk lemas mengikuti Bu Putri menuju kantor. Sepanjang jalan
menuju kantor, kepalaku sibuk berpikir. “Kenapa banyak orang yang tak percaya
padaku? Kenapa? Seakan dunia berpihak kepadanya, kenapa? Mengapa dunia
membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar? Kenapa …? Kenapa dunia ini
selalu tidak adil? Aaah, lebih baik aku mati saja ….”
Seketika
aku teringat bahwa aku punya Allah Yang Maha Adil, Allah Yang Maha Tahu. Allah
yang maha segalanya. “Astagfirullah, aku lupa bahwa Allah Maha Tahu, Allah Maha
Adil. Aku tak perlu manusia yang mempercayaiku. Tak perlu ada orang yang
membenarkanku, karena Allah pasti tahu siapa yang benar atau salah. Tak perlu
manusia yang membenarkanku karena mereka pun manusia yang tak selamanya benar,”
ucapku pelan.
Kini
aku siap menerima semua hukuman apapun dari Ibu Putri, karena aku yakin, pasti
ada hikmah di balik semua ini. Dan ternyata hukumanku adalah skorsing selama
sepuluh hari. Padahal sekarang adalah
hari pertama aku masuk sekolah setelah tujuh belas hari aku berjuang melawan
penyakit. Dan sekarang aku diskor!
*****
Hari
pertama diskor ….
Pukul
sebelas malam, aku masih menunggu kedua orang tuaku. Dengan sekuat tenaga aku
menahan rasa kantuk, namun ternyata hanya bertahan beberapa menit. Akhirnya aku
menyimpan secarik kertas yang telah kutulisi kejadian hari kemarin. Lalu
kusimpan di meja kerja ibuku. Biasanya orang tuaku menjawabnya dan menyimpannya
sebelum mereka pergi, kira-kira pukul 01.00. Itulah sebabnya aku tak begitu
mengenal kedua orang tuaku, meski aku selalu berbagi cerita dengan mereka.
Teman-temanku
selalu menertawakanku, saat aku bilang bahwa cita-citaku adalah bertemu dengan
orang tuaku. Mungkin itu semua hal yang tak lazim bagi mereka. Tapi menurutku
dan adikku, itu adalah cita-cita sederhana yang sulit untuk dicapai.
Hari
kedua diskor ….
Terdengar
suara alarm dari HP-ku, membuatku terlompat dari tempat tidur. Tanpa pikir
panjang, aku langsung menyambar handuk hijau milikku. Aku memasuki kamar mandi
dan mulai membersihkan badanku. Setelah itu, aku mengambil air wudlu untuk
melaksanakan sholat tahajud. Hampir satu jam aku mengeluh pada Allah,
mengadukan apa yang terjadi kemarin.
Tepat
pukul 03.00 aku bergegas membangunkan Alex, adikku. Lalu aku menyiapkan
seragamnya, buku pelajaran dan juga
menyiapkan sarapan serta bekalnya. Semuanya harus kusiapkan sendiri karena
orang tuaku sudah kembali bekerja.
Biasanya
orang tuaku pulang ke rumah hanya tiga jam saja, dari pukul sebelas malam
hingga pukul satu dini hari. Terkadang malah tak pulang sama sekali. Ingin
rasanya aku berkumpul dengan kedua orang tuaku. Sering aku merasa iri pada
teman-temanku saat melihat mereka sedang berkumpul bersama keluarganya,
bercanda bersama. Atau melihat teman-teman bercerita tentang kejadian di
sekolah kepada keluarganya. Berkumpul bersama keluarga di hari libur, itulah
hal yang selalu aku tunggu-tunggu. Namun kenyataannya, di hari libur, orang
tuaku jauh lebih sibuk.
Dulu
kukira, kaya bisa membuatku bahagia. Aku kira, uang adalah segalanya. Kukira
tinggal di istana mewah dengan kolam renang yang cukup besar disertai pelayan
yang selalu siap melayani apapun yang kuinginkan, itu dapat membuatku tertawa
bahagia. Ternyata aku salah ….
Kini
aku sudah memiliki semuanya, namun jarang sekali aku tertawa bersama kedua
orang tuaku. Aku pernah meminta orang tuaku untuk menemani ketika aku sakit,
namun apa jawabannya?
“Maafkan,
Kak, masih banyak orang di luar sana yang membutuhkan Ummi dan Abi.”
Aku
akui bahwa karena pekerjaannya, Ummi dan Abi sangat dibutuhkan masyarakat. Tapi
mengapa orang tuaku lebih mementingkan pekerjannya dibanding aku sebagai
anaknya? Mengapa?
Aku
pernah memberikan barang yang paling disukai ibuku pada sahabatku, agar ibuku
memarahiku. Dengan begitu, aku memiliki waktu untuk bertemu orang tuaku. Namun
apa yang ibuku lakukan? Dia mengirimiku surat dengan amplop hijau yang
bertuliskan “Makasih, Kak, Kakak sudah ngingetin Ummi buat bersedekah. Ummi bangga
sama Kakak. Udah ngasih contoh yang baik bagi Alex. Maaf, Ummi dan Abi belum
bisa ngasih contoh yang baik untuk kalian berdua. Maaf, Ummi dan Abi gak bisa
ketemu Kakak sama Alex. Kalau ada apa-apa, kasih tahu lewat WA aja, tapi Ummi
cuma bisa balas jam sepuluh malam. Soalnya Ummi sibuk.” Rasa sedih bercampur dengan rasa haru.
Mungkin mereka juga sebenarnya ingin bertemu ….
Pukul
06.30 aku mengantarkan Alex ke sekolah dengan menggunakan sepeda, karena orang
tuaku melarangku menggunakan motor. Setelah itu, aku kembali ke rumah dan
menyelesaikan pekerjaan rumah, seperti mencuci piring, memasak, mencuci baju,
menyetrika, menyapu, mengepel dan semua pekerjaan di rumah.
Setelah
selesai, aku pergi menuju taman dekat rumah. Aku ingin meghibur diri dan
melupakan rasa kesalku pada Veloz dan gengnya. Tiba-tiba aku mendapat WA dari
Viola dan Kepala Sekolah, keduanya mengirimkan pesan yang sama.
“Jalibran, besok saya tunggu di
sekolah, menggunakan seragam hari Kamis dan membawa buku pelajaran. Kami, dari
pihak sekolah meminta maaf karena telah menghukummu tanpa bukti. Sekali lagi,
saya minta maaf sebesar-besarnya.”
Aku
senang sekali menerima kabar itu, karena dengan begitu aku tak tertinggal
pelajaran terlalu banyak. Tak terasa kini sudah adzan dhuhur, aku pun bergegas
menuju mesjid terdekat untuk melaksanakan shalat dhuhur berjamaah. Aku
menghapal Al Quran selama dua jam di masjid itu setelah sholat dhuhur. Setelah
itu, aku menjemput Alex, Alex pulang pukul 14.00.
Kukayuh
sepeda sekuat tenaga, lima belas menit kemudian, aku sudah sampai di sekolah
Alex. Dari kejauhan aku melihatnya tengah asyik bermain bersama teman-temannya.
Aku menyapanya dan mengajaknya pulang.
Sampai
di rumah, aku menyuruhnya mandi, sementara aku menyiapkan makan sore untuknya.
Lalu kami makan sayur sop bersama sambil menonton TV.
Sebisa
mungkin aku memperhatikan Alex, karena aku tak ingin dia merasakan apa yang aku
rasakan. Merasa tak ada yang memperhatikan, dan itu sangat menyedihkan!
***
Esok harinya ….
Seperti biasa, di pagi
hari aku selalu melakukan aktivitas yang sama, seperti mandi, sholat tahajud,
masak, makan, membereskan rumah, menyiapkan semua perlengkapan Alex dan
mengantarkannya ke sekolah. Setelah semuanya selesai, aku bergegas menuju
sekolahku.
“Jali …!” teriak Viola,
saat aku mulai memasuki gerbang sekolah, akupun berjalan menghampirinya.
“Assalamualaikum,
Viola.”
“Waalaikumsalam. Apa
kabar?”
“Assalamualaikum!”
Aku terkejut saat
menyadari kehadiran Bu Putri yang dari
tadi di belakangku.
“Wa … waalaikumslaam,”
jawabku gugup.
“Ibu minta maaf, ya,
Jalibran. Ibu minta maaf atas kejadian kemarin. Seharusnya Ibu tidak
menghukummu tanpa bukti yang nyata. Ibu dan pihak sekolah benar-benar minta
maaf. Dimaafkan, Jalibran?”
“Iya, Bu. Gak apa-apa,
Bu.”
Aku bergegas masuk
kelas. Ternyata semua teman menyambutku dengan meriah.
*****
Tak terasa tiga jam
pelajaran telah selesai, kini waktunya istirahat, yeay ….
“Viola, Veloz dan
gengnya kemana? Kenapa aku gak lihat mereka?”
“Mereka diskor.
Harusnya, sih, mereka dikeluarin. Soalnya udah memfitnah kamu dan mempengaruhi
seluruh murid untuk membenci kamu. Tapi, berhubung Veloz anak pemilik sekolah
ini, ya, dia cuma diskor beberapa hari aja.”
“Lho, kok bisa?”
“Bisa aja, Jal. Soalnya
di sini, pake aturan Sang Penguasa.”
“Seandainya saja di
sini digunakan aturan yang adil, pasti negara kita udah maju, Berjaya, adil,
tentram. Iya, kan?” kataku.
“Iyalah, Jal. Makanya
kita harus pinter agar bisa jadi penguasa yang adil.”
“Jal, aku punya tantangan buat kamu.”
“Tantangan apa, La?”
“Kita berdua harus
sukses agar bisa mengajak orang-orang menjadi orang baik. Dengan begitu, semua
orang ingin aturan baik dan adil yang
dipake, setuju enggak?”
“Boleh juga, siapa
takut?”
“OK. Jangan sampai lupa sama misi kita, ya!”
Aku dan Viola saling
lempar senyum dan berjabat tangan. Kami bertekad untuk menjadi orang sukses
yang bisa punya pengaruh baik bagi orang-orang di sekitar kami. Kami ingin
keadilan ditegakkan pada semua orang. Agar tak ada lagi korban fitnah yang
merugikan. Bukankah orang akan takut kalau ada aturan jelas buat penyebar
fitnah?
***
Disunting oleh Nurlaela Siti Mujahidah.
Lisan Qurani Siti Ath-thi’ah, siswi kelas IX SMP IT Ulul
Azmi, Cimahi, Bandung. Cerita ini dibuat waktu ia masih kelas VIII.
0 Response to "FITNAH"
Post a Comment