MENJADI GURU PENULIS

Oleh: Enang Cuhendi
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan
hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” ― Pramoedya Ananta
Toer
Kalimat penuh
makna tersebut dikutip dari seorang penulis besar yang pernah dimiliki negeri
ini, yaitu Pramoedya Ananta Toer. Pram, biasa dia dipanggil, lahir
di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan meninggal
di Jakarta pada usia 81 tahun, tepatnya 30 April 2006. Beliau dikenal
sebagai penulis yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Lebih dari
50 karya yang dihasilkannya dan hampir sebagian besar diterjemahkan ke dalam 41
bahasa asing.
Menulis tentu
saja bukan kata yang asing. Sejak awal kita mengenal dunia sekolah ada dua
aktivitas yang akrab diajarkan guru-guru kita, yaitu membaca dan menulis.
Membaca menjadi keterampilan dasar pertama yang ditanamkan kepada kita baru
kemudian dibimbing kita untuk menulis. Membaca dan menulis menjadi dua
aktivitas yang berjalan seiring sejalan dan tidak terpisahkan selama kita
sekolah.
Semakin tinggi
jenjang pendidikan yang kita tempuh, aktivitas membaca dan menulis tetap kita
laksanakan. Semakin banyak buku yang ditugaskan kepada kita untuk dibaca. Begitu
juga semakin banyak karya tulis yang harus dibuat, tidak kurang mulai dari
makalah, skripsi, tesis bahkan sampai desertasi atau karya ilmiah lainnya.
Hal yang unik,
ketika kita sudah selesai sekolah dan masuk dunia kerja. Rutinitas kita
melaksanakan aktivitas membaca dan menulis seolah-olah ikut berhenti. Kita
seakan merasa merdeka terbebas dari tugas-tugas yang namanya membaca buku dan
membuat karya tulis. Bahkan hal ini juga menimpa kalangan pendidik seperti
penulis.
Sebagai
seorang pendidik idealnya kita harus tetap bisa memelihara semangat membaca dan
menulis. Selain banyak manfaat yang bisa kita dapat dari kegiatan tersebut,
juga sekaligus bisa menjadi contoh teladan bagi peserta didik kita. Bisa kita
bayangkan ketika kita sebagai guru menyuruh peserta didik kita untuk selalu
semangat membaca dan membiasakan menulis sementara kita sendiri sudah mulai
melupakan kedua aktivitas tersebut. Sebaliknya ketika kita terbiasa membaca dan
menulis, saat kita menyuruh dan mampu menunjukkan contoh karya tulis yang kita
buat ada rasa percaya yang besar dalam diri peserta didik kepada kita.
Pada abad
ke-21 sekarang, kemampuan berliterasi peserta didik berkaitan erat dengan
tuntutan keterampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami informasi
secara analitis, kritis dan reflektif.
Hal yang menyedihkan, menurut analisis pemerintah, pembelajaran di
sekolah saat ini belum mampu mewujudkan hal tersebut (Kemdikbud, 2016: 1).
Keterampilan memahami bacaan anak-anak kita relatif masih rendah.
Berdasarkan
laporan PISA (Programme for International
Student Assessment) tahun 2009 pemahaman membaca peserta didik kita pada
tingkat sekolah menengah hanya berada pada peringkat ke-57 dari 65 negara
dengan skor 396 jauh dibawah rata-rata skor capaian OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) yang 493.
Tahun 2012 posisinya turun ke posisi ke-64 dari 65 negara. Menurut Kemdikbud
(2016: 1) dari kedua hasil ini dapat dikatakan bahwa praktik pendidikan yang
dilaksanakan di sekolah belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi
pembelajaran yang berupaya menjadikan semua warganya menjadi terampil membaca
untuk mendukung mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Apa yang
disampaikan di atas merupakan tantangan bagi kita sebagai pendidik. Tantangan
yang wajib dijawab dengan aksi nyata bukan sekedar keprihatinan belaka. Langkah
awal bisa kita mulai dari aksi dukungan secara nyata pada Gerakan Literasi
Sekolah yang sedang dikembangkan pemerintah. Apa yang dituntut dalam
Permendikbud nomor 23 tahun 2015 kita coba realisasikan. Penumbuhan minat baca
melalui kegiatan 15 menit membaca di kelas dilaksanakan, tentu dengan
keterlibatan aktif kita di dalamnya. Pengintegrasian kemampuan literasi dalam proses pembelajaran mulai kita
terapkan. Yang utama kita mulai memberi contoh diri secara langsung menampilkan
sosok kita sebagai guru yang literat yang terbiasa membaca dan menulis. Sebagai
guru literat kita hadirkan karya-karya tulis produk kita sebagai contoh kepada
peserta didik. Dengan harapan mereka akan
termotivasi juga untuk ikut menulis.
Mengawali
menulis memang susah. Umumnya ada rasa tidak percaya diri dan merasa malu kalau
tulisan kita dibaca orang lain. Hal itu penulis yang sedang belajar ini juga
turut merasakan sendiri. Sampai suatu saat Esep Muhammad Zaini, seorang sahabat
sekaligus guru penulis dalam dunia menulis memberi masukan. Beliau mengajarkan,
kalau mau belajar menulis buang penghapus dan jauhkan tipe-x dari dekatmu dan
mulailah menulis, jangan pernah berpikir benar salah atas apa yang kamu tulis tapi
berpikirlah untuk menulis, menulis dan menuliskan apa yang ada di benakmu.
Jangan pernah takut tulisanmu dibaca orang lain, karena katanya semakin banyak
orang yang mengomentari tulisanmu maka artinya tulisanmu berhasil. Itu sedikit
ilmu yang penulis dapat.
Ayo kita mulai
menulis dan jadilah guru penulis. Bukankah kata Pram. “Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat
dan dari sejarah.”Banyak orang-orang yang hebat dan memiliki, ide-ide yang brilian,
tetapi ketika dia tidak pernah menuangkan ide-ide dan kepandaiannya tersebut ke
dalam tulisan maka ia akan hilang ditelan masa. Bukankah Bung Karno, Bung
Hatta, Hamka, R.A. Kartini dan tokoh-tokoh besar lainnya dikenang dalam sejarah
karena tulisan-tulisannya?
0 Response to "MENJADI GURU PENULIS"
Post a Comment