AMPLOP MASA DEPAN
Karya : Lili Priyani
(Guru SMAN 2
Cikarang Utara)
Saya memang terlahir dari keluarga yang kurang
beruntung. Bagaimana mau dikatakan beruntung? Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari saja, Bapak harus banting tulang menjadi kuli pasir dari pagi
hingga sore hari. Dengan upah perhari 30 ribu rupiah, tentunya tidak bisa
diandalkan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup kami sekeluarga. Ibuku juga
bekerja sebagai buruh setrika bagi tetangga yang membutuhkan jasanya untuk
merapikan baju. Biasanya Ibu dibayar 15
ribu rupiah untuk sekali menyetrika dengan jumlah baju dan celana yang sudah
menggunung, barangkali setelah semua baju dan celana sudah tidak ada lagi di
dalam lemari keluarga Sang Majikan. Kami, empat bersaudara, saya duduk di kelas
3 SMA, adikku laki-laki di kelas 2 SMP
dan 3 SD, serta Si Bungsu yang
baru berusia 5 tahun. Seharusnya Si Bungsu bisa masuk TK seperti anak-anak lain
yang tinggal di kampungku, tetapi adikku tidak. Untuk masuk TK dibutuhkan biaya
yang tidak sedikit, bahkan lebih mahal dibandingkan untuk mendaftar ke SMP atau
SMA. Maka, Adikku di rumah saja, belajar cukup denganku: membaca, menulis, dan
berhitung. Kujamin, bila diadu dengan anak seusianya, adikku tak akan kalah
bersaing bahkan mungkin akan mengungguli mereka. Menurutku, adik bungsuku ini
terlahir sebagai anak yang cerdas.
Demi melihat kondisi keluarga yang
seperti itu, maka kuputuskan untuk membantu meringankan beban orang tua, paling
tidak untuk keperluan sekolahku, bisa kutanggulangi sendiri. Bahkan untuk
jajanku atau membeli beberapa barang-barang yang kupakai untuk sekolah, seperti tas, jilbab, sepatu,
kotak pensil, alat tulis, bisa kupenuhi sendiri dari uang yang kumiliki. Setiap
sore setelah pulang sekolah, saya langsung bersiap-siap untuk berangkat ke
rumah ‘siswa’. Ya, saya menyebutnya demikian karena saya datang ke rumahnya
untuk mengajar. Anak-anak SD yang oleh orang tuanya dipercayakan kepadaku untuk belajar Matematika, IPA, Bahasa
Inggris, atau mengerjakan PR yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Setiap
hari dari Senin hingga Sabtu, saya mengunjungi mereka bergantian , seminggu dua
kali pertemuan. Untuk satu kali
pertemuan, saya dibayar 20 puluh ribu rupiah, upah yang lebih mahal
dibandingkan dengan upah yang diperoleh ibuku menyetrika. Bila
seminggu ada enam kali pertemuan, berarti bisa dihitungkan jumlah yang
bisa kuperoleh dalam seminggu, apalagi dalam sebulan. Bagiku, jumlah itu sangat
banyak. Biasanya setelah kuterima
bayaran dari orang tua ‘siswa’, kuserahkan semuanya kepada Ibu. Tetapi Ibu
selalu menolaknya, Ibu katakan bahwa semua uang itu adalah hakku. Semuanya
buatku. Menurut Ibu, biar saya saja
memegang semua uang itu untuk keperluan saya sendiri. Bahkan Ibu pernah berujar, “Seharusnya Bapak
dan Ibu yang mencukupi semua keperluanmu, Nak. Tapi Bapak dan Ibu tak mampu’.
Kulihat derai air mata Ibu tumpah sambil mengucapkannya.
“Tak apa, Bu. Saya juga senang
melakukannya. Nanti setiap bulan biar saya bantu membelikan
beras, minyak goreng, dan mie instan, ya Bu”, begitu jawabku. Tak tega
untuk banyak berkata-kata karena kulihat air mata Ibu lebih deras mengucur
ketika mendengar penjelasanku itu.
Hari ini adalah minggu pertama di bulan
September. Saya menghitung jumlah uang
yang tadi sore kuterima dari para orang
tua siswa. Kubagi menjadi beberapa amplop, masing-masing amplop kutulisi: Untuk
Rumah (maksudnya untuk keperluan keluargaku seperti membeli beras, minyak
goreng, dan mie instan); Untuk Adik (biasanya kuberikan kepada adikku yang mana
saja sesuai dengan keperluan sekolah mereka yang sifatnya mendadak. Ini untuk
jaga-jaga bila sewaktu-waktu ternyata adikku membutuhkan uang untuk keperluan
sekolah sementara Bapak dan Ibu sedang tidak mempunyai uang); Untukku (untuk
semua keperluanku seperti membeli buku, alat tulis, sepatu, jilbab, dan
lain-lain, termasuk untuk jajanku); dan Untuk Masa Depanku (nah, yang terakhir
ini adalah tabunganku untuk nanti kupergunakan bila seandainya saya berkesempatan
kuliah).
Sama seperti anak-anak SMA lain, tentunya
ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Meskipun banyak juga
di antara temanku yang tidak berkesempatan untuk melanjutkan kuliah, tapi saya
yakin bila mereka diberi pertanyaan apakah ingin kuliah atau tidak maka jawaban
mereka sebenarnya adalah: ingin kuliah. Tapi mungkin, ada alasan lain yang
menyebabkan mereka tidak bisa melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA. Dan
alasan utamanya adalah finansial. Bukankah untuk kuliah itu membutuhkan biaya
yang tidak sedikit, bahkan bisa disebut mahal. Belum biaya kuliah, uang makan,
uang kos, dan lain-lain, yang tentunya tidak murah. Untuk itu, saya sudah
memikirkannya sejak sekarang. Dan demi mewujudkan keinginan berkuliah, saya
sudah menyimpannya dalam amplop: Untuk Masa Depan. Amplop ini kususun rapi di balik
baju terbawah di lemari yang sudah tidak terlalu kokoh lagi, barangkali sudah
terlalu lama, kayunya mungkin semakin rapuh. Menurut Ibu, lemari ini adalah
lemari sewaktu Ibu muda dulu. Ketika Ibu pindah dari rumah Nenek ke rumahnya
sendiri bersama Bapak, lemari ini disuruh Nenek untuk dibawa bersama dengan
peralatan dapur seperti piring, sendok, panci, wajan, dan beberapa yang
lainnya. Kebiasaan yang juga dilakukan oleh orang tua lain di kampungku tatkala
melepas anak gadisnya dipinang kemudian dibawa oleh suaminya berumah
tangga.
Sering saya mendengar kisah tentang kebiasaan ini. Tadinya saya
berpikir, mengapa orang tua memberikan bekal peralatan dapur kepada anak
gadisnya yang akan pindah ke rumahnya sendiri bersama suaminya. Bukankah
sebagai suami istri, mereka bisa melengkapi peralatan rumah tangganya sendiri.
Atau mengapa harus perlengkapan dapur? Bukankah perlengkapan di dalam rumah
tangga itu tidak hanya peralatan dapur, masih banyak perlenggakpan lain yang
juga harus dibutuhkan. Kasur, tempat tidur, peralatan mandi, kursi, meja, dan
masih banyak yang lainnya. Kini,
pelan-pelan terjawab sudah. Ternyata, stabilitas rumah tangga itu berawal dari
dapur. Aktivitas rumah tangga pun sebenarnya bagi seorang perempuan, lebih
banyak dilakukan di dapur. Sejak bangun tidur, kuamati Ibu langsung menuju
dapur. Menyiapkan makanan untuk sarapan kami. Siang sepulang kerja menyetrika,
Ibu langsung ke dapur. Menyiapkan makan siang dan sekaligus malam, juga untuk
kami. Malam pun kadang-kadang Ibu masih ada di dapur, entah mencuci piring,
membereskan dapur, atau menyiapkan sayur-mayur atau lauk untuk dimasak besok
pagi setelah sholat Subuh. Begitu setiap hari. Memang, tak salah bila Nenek dan
juga ibu-ibu yang lain membekali anak gadis mereka dengan perlengkapan dapur
ini. Seperti itulah faktanya.
Setiap pos keuangan yang sudah tersimpan
di amplopnya masing-masing, siap kukeluarkan sesuai dengan kebutuhannya. Kuajak
adik terkecil ke warung yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Warung ini
relatif lengkap menyediakan segala kebutuhan sembako. Kubeli beberapa kilogram
beras, 10 bungkus mie instan, dan dua liter minyak goreng kemasan. Kubelikan
juga beberapa makanan ringan buat ketiga adikku. Masing-masing mendapat jatah
dua macam kudapan kering (snack), sesuai dengan kesukaan ketiga adikku itu.
Masih tersisa beberapa lembar pulahan ribu. Sisa uang inilah kumasukkan ke
dalam amplop untuk masa depan.
Sementara
amplop Untuk Adik, belum kukeluarkan isinya karena memang di bulan ini
belum ada pembiayaan lain yang mesti dikeluarkan oleh kedua adikku yang sedang
duduk di bangku SMP dan SD itu. Bila sampai akhir bulan September ini ternyata
tidak ada keperluan yang kukeluarkan
maka biasa isi amplop itu akan berpindah ke dalam amplop Masa Depan. Sedangkan amplop yang bertuliskan Untukku,
hanya kukeluarkan sedikit saja, tidak lebih dari seperempatnya. Itupun hanya
berpindah tempat saja. Beberapa lembar kususun di dalam dompet yang sehari-hari
kubawa ketika bepergian. Ini untuk jaga-jaga bila suatu saat ada keperluan,
baik itu keperluan sekolah seperti untuk
memfotokopi, untuk mengerjakan tugas, untuk sumbangan, dan lain-lain. Untuk
amplop ini, memang saya sedikit selektif mengeluarkannya. Bila memungkinkan tidak
akan saya keluarkan. Nah, jika ternyata sampai akhir bulan pun
amplop ini masih bersisa maka semuanya akan berpindah ke dalam amplop Untuk
Masa Depan yang jumlahnya tidak lagi
satu melainkan selalu bertambah karena amplop yang lama sudah tak mampu lagi
untuk menyusun lembaran rupiah yang tersisa dari amplop yang lainnya. Bukankah akan semakin tebal saja isi amplop
ini bila setiap akhir bulan mendapatkan tambahan isi dari ketiga amplop
lainnya, begitu saya selalu berharap.
Selayaknya siswa kelas XII SMA,
diberikan kesempatan untuk mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN), saya pun melakukan berbagai tahap mulai dari pendaftaran,
mengisi biodata, hingga mencetak kartu bukti pendaftaran. Sesuai dengan peraturan dalam pemilihan
jurusan melalui jalur SNMPTN yaitu setiap siswa pendaftar dapat memilih
sebanyak-banyaknya dua Perguruan Tinggi Negeri (PTN),salah satu PTN harus
berada di provinsi yang sama dengan SMA asalnya, sementara apabila memilih satu
PTN maka PTN yang dipilih dapat berada di provinsi manapun. Setelah melalui
pemikiran yang tidak sebentar, disertai sholat yang kuusahakan setiap sepertiga
malam sebelum waktu Subuh menjelang, akhirnya kuputuskan memilih ITB.
Cita-citaku sedari kecil, dan inilah kesempatanku untuk merealisasikannya. Saya
hanya memilih ITB saja untuk kedua jurusan yaitu Teknik Perminyakan sebagai
pilihan pertama dan Teknik Pertambangan
sebagai pilihan kedua, kedua-duanya berada di Fakultas yang sama yaitu
Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM). Bila ada yang bertanya, “Mengapa
saya memilih kedua jurusan itu?” maka akan saya jawab seperti ini.
“Kualitas perminyakan di Indonesia
sangat baik dan setara dengan kemampuan negara lain. Hal ini mencakup kemampuan
negara kita dalam mengeksplorasi minyak bumi secara efektif dan efisien dengan
teknologi terbaik, memanfaatkan sumber daya manusia Indonesia sebagai yang terdepan
dalam memproduksi minyak bumi, serta dapat mendistribusikan minyak bumi yang
berkualitas kepada pasar dunia tanpa mengesampingkan kesejahteraan masyarakat
di dalam negeri sendiri. Mengingat saat ini sedang terjadi penurunan produksi
minyak bumi di Indonesia, berarti dibutuhkan kemampuan untuk menahan laju penurunan produksi dari
sumur-sumur tua. Dengan persediaan yang
semakin menipis tentu dibutuhkan lebih banyak sarjana teknik perminyakan untuk
mencari sumber daya minyak. Hingga saat ini di Indonesia sendiri saja masih
mampu memproduksi 800.000 barrel per hari. Banyak sarjana perminyakan yang
berkeliling dunia bahkan tinggal di luar
negeri, tempat mereka mengeksplorasi dan menemukan minyak bumi dan
gas. Mereka bisa saja menjelajahi gurun pasir,lautan, pegunungan, dan daerah
terpencil yang menyediakan sumber minyak dan gas. Sebenarnya, ini sesuai dengan jiwaku. Saya menyukai tempat-tempat
seperti itu, berpetualang, singgah di tempat-tempat baru. Tapi sampai sekarang
saya belum mampu mewujudkannya. Kupikir dengan mengambil kuliah di jurusan ini,
semua kesenangan yang kuimpikan bisa
terwujud. Meskipun saya seorang perempuan, tapi mengapa harus mempertimbangkan
gender untuk melakukan suatu pekerjaan atau untuk memilih sebuah profesi. Tak
adil bila harus seperti itu, bukankah perempuan memiliki hak yang sama dengan
laki-laki dalam dunia pendidikan?. Apalagi penghasilan yang akan didapat oleh
seorang ahli perminyakan. Jurusan ini adalah salah satu jurusan dengan
penghasilan tertinggi. Di Amerika saja, untuk lulusan dengan gelar S-1 Teknik
Perminyakan bisa berpenghasilan sekitar $120.000 per tahun. Apalagi yang
memegang gelar lebih tinggi atau memiliki spesifikasi keilmuan (spesialis).
Wah, sangat menggiurkan.”
Sementara untuk pilihan kedua yaitu
Teknik Pertambangan, seperti ini penjelasannya.
“Teknik pertambangan adalah jurusan
yang mendalami teknologi dan juga kegiatan usaha yang berkaitan dengan bahan
galian, mulai dari penyelidikan umum (prospeksi), eksplorasi, penambanagan
(eksploitasi), pengolahan, pemurnian, pengangkutan, sampai kepada pemasaran.
Dengan sumber daya alam Indonesia yang begitu berlimpah maka pertambangan
memiliki prospek yang sangat cerah. Terlebih lagi, komoditi hasil tambang
Indonesia yang telah diakui dunia, seperti timah, batubara, tembaga, nikel,
emas, hingga minyak yang sangat diperhitungan dunia dalam perdagangan
internasional. Permintaan dunia terhadap
hasil tambang ini, tidak pernah surut. Ini akan berbanding lurus dengan
ketersediaan lapangan pekerjaan untuk tenaga ahli di bidang ini. Keahlian ini
tentunya akan dihargai dengan upah yang biasanya tidak murah, bahkan lebih bila
dibadingkan dengan pekerjaan lainnya.”
Begitu kurang lebih analisisku
untuk kedua jurusan kupilih itu.
Bismillah, kuketiklah pilihanku itu
pada layar monitor komputer di sekolah saat melakukan pendaftaran SNMPTN secara
daring (online)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
April merupakan bulan yang mendebarkan,
penuh kegalauan, jantung selalu berdenyut kencang, harap-harap cemas, dan
sekaligus bulan sungguh dinantikan untuk siswa kelas XII sepertiku ini.
Serangkaian ujian sudah kulewati. Tapi masih saja kumanfaatkan waktu dengan
belajar dan membahas soal-soal sekalipun
ujian panjang sudah kuikuti mulai Ujian Praktik sejak bulan Februari, Ujian
Sekolah di bulan Maret, hingga Ujian Nasional yang baru saja berlalu. Rasanya
semangatku berada di titik kulminasi tertinggi, tak terbendung ingin belajar
dan belajar. Hanya satu lagi tujuanku kini yaitu menanti pengumuman SNMPTN dan
bersiap kuliah. Ah, kuliah. Sungguh berbinar hatiku ketika membayangkan kata
itu. Seketika meluncur semua khayalan dan imajinasi tentang kampus, mahasiswa,
tugas kuliah, kegiatan mahasiswa, dosen, buku-buku, semuanya menari-nari di
benakku. Tak sabar aku menantikannya.
Tanggal 26 April merupakan hari yang
begitu bersejarah dalam hidupku. Tepat pukul
24.00 WIB, terpampanglah namaku di layar komputer sebagai peserta yang
lulus SNMPTN pada jurusan Teknik Perminyakan ITB. Alhamdulillah, Ya Allah
terima kasih atas semua yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Air mataku
berlinang tatkala membaca namaku tertera di laman itu, mengucur dan semakin
deras sambil kubaca berulang-ulang pengumuman itu. Tak lagi kutahu berapa lama aku tercenung di
depan monitor komputer, hingga seseorang lelaki
menghampiriku.
“Neng, warnetnya mau
ditutup karena sudah pukul satu dini hari.”, begitu ungkap penjaga warnet.
Seketika aku terperanjat, tersadar
dan segera menutup layar, membayar, dan bergegas pulang. Ya, kuharus
mengabarkan berita baik ini segera mungkin kepada Bapak dan Ibu. Mereka harus merasakan kegembiraan yang sama
sepertiku. Kuingin mereka bangga. Kuingin mereka bahagia mendengarnya.
Ternyata setibaku di rumah, Bapak sudah
menunggu di pintu masuk rumah sambil berjonggok. Kuambil tangan Bapak, kucium
agak lama. Tak terasa air mataku mengalir dan Bapak hanya terdiam memandangku.
“Bapak, Neng diterima di ITB. ITB,
Pak. ITB. Bapak tahu kan ITB? Neng diterima, Pak!”, emosiku memuncak.
Dari arah kamar, Ibu pun keluar,
mungkin suaraku membangunkan Ibu. Kusambar tangan Ibu, kucium, kuciumi. Air
mataku semakin tumpah ruah, tak tertahankan.
“Ibu ... Ibu ... Neng
akan kuliah. Kuliah, Bu. Di ITB, Bu.
ITB.”, kuberikan penekanan pada kata ITB. Aku ingin Bapak dan Ibu tahu bahwa
aku benar-benar bangga sekaligus bahagia
bisa mewujudkan mimpiku untuk berkuliah di sana.
Tetapi Bapak dan Ibu tak bersuara,
mereka terdiam. Seribu pertanyaan berkecamuk di benakku. Apakah mereka tak
bahagia sepertiku? Apakah aku tak membanggakan mereka? Atau? Tak mampu kujawab.
Dari sudut mataku, kulihat Ibu menangis
sambil tertunduk. Tampak benar Ibu berusaha menutupi tangisnya agar tak
terdengar olehku atau mungkin tak terdengar juga oleh Bapak. Tapi semakin lama,
tangis Ibu semakin pecah. Kebingungan menyergapku. Apa yang salah? Atau ada
apakah? Hingga beberapa saat kemudian,
terdengar suara Ibu sambil tetap terisak dalam tangis yang tertahan.
“Neng, Ibu dan Bapak bangga padamu.
Bangga sekali. Terima kasih sudah membuat Ibu bahagia mendengar kabar baik
ini.”
Sampai sini, hatiku sungguh senang
mendengar kalimat yang keluar dari mulut
Ibu. Sebagai anak, rasanya tak ternilai ketika kita bisa membanggakan dan
membahagiakan orang tua kita. Dan aku sudah melakukannya.
Tapi, setelah menyimak kelanjutan
kalimat Ibu berikutnya, perasaanku hancur, sangat hancur.
“Sepertinya, Neng tidak akan bisa
kuliah untuk sekarang”, tangis Ibu belum berhenti. Di antara isak tangisnya Ibu
melanjutkan.
“Minggu depan Bapak harus menjalani
operasi di rumah sakit di Jakarta.
Bapakmu terkena kanker otak stadium 4.”
“Ibu mohon, Neng bisa menjaga
adik-adik selama Ibu menemani dan merawat Bapak di rumah sakit.”
“Kita tidak bisa mengandalkan
Saudara kita karena merekapun mempunyai urusan masing-masing. Jadi Ibu harap
Neng bisa melaksanakan tanggung jawab ini.”
“Selanjutnya Ibu mohon bantuan Neng
agar mau meminjamkan uang kepada Ibu untuk keperluan Ibu dan Bapak selama Bapak
berobat. Sekali ini Ibu mohon dengan sangat. Ibu sudah mencoba untuk meminjam
kepada Saudara kita tapi rupanya mereka juga sedang tidak mempunyai uang
berlebih untuk dipinjamkan kepada kita. Ibu sudah berusaha datangke rumah Om
Edward tapi ternyata beliau keberatan. Alasannya adalah beliau tidak yakin kita
mampu mengembalikan pinjaman uang tersebut. Jaminan pinjaman pun kita tak punya
karena rumah yang kita tempati ini adalah kepunyaan Nenekmu. Dulu memang, Nenek
memperbolehkan Ibu dan Bapak untuk menempatinya setelah pernikahan karena Nenek
tahu bahwa Bapakmu belum mampu membeli rumah sendiri. Jadi, rumah ini bukan
rumah kita. Tak mungkin akan Ibu jaminkan kepada Om Edward. Harta lain kita tak
punya. Sepeda yang biasa Ibu pakai akan
Ibu jual untuk tambahan biaya. Ibu betul-betul mengharapkan bantuan Neng,”
mengalir kalimat dari mulut Ibu dengan sedikit terengah-engah menahan gemuruh
perasaan yang bercampur aduk. Tangis Ibu semakin dalam.
Lama kami terdiam. Bapak terduduk lemas
di lantai rumah, Aku pun tak berdaya, duduk di sebelah Bapak . Ibu tertunduk
tak bertenaga di depan kami. Kami terbenam dalam pikiran kami masing-masing.
Hingga, akhirnya aku pun bersuara.
“Ibu, Bapak. Bagiku, Bapak dan Ibu
adalah segalanya. Bapak harus sembuh,
harus. Kami masih menginginkan Bapak tetap sehat bersama Kami. Adik-adik masih
membutuhkan Bapak. Bapak harus berobat.”
Entah kekuatan apa yang
menghampiriku saat itu. Aku bisa sebegitu tegarnya, tangisku tak ada, lenyap
tak bersisa. Kata-kataku tegas,
berwibawa, mengalir begitu saja. Barangkali inilah kekuatan cinta. Cinta mampu
mengalahkan segalanya, mampu meredam perasaan yang teramat gundah, mampu
memadamkan rasa kecewa yang begitu dirasa, mampu memberikan kekuatan untuk lunglai raga, mampu memompa
logika ketika kenyataan yang ada tak sesuai dengan harapan yang begitu didamba.
Ya, inilah cinta. Cinta yang teramat dalam, sangat dalam.
Setelah itu, aku bergegas masuk ke kamar
dan kembali lagi berkumpul bersama Ibu dan Bapak.
“Ini Bu.
Ambillah.”
Kuserahkan semua amplop yang bertuliskan: Untuk Masa
Depan itu ke genggaman tangan Ibu sambil kupeluk Ibu teramat erat.
“Jangan
pernah Ibu katakan untuk meminjamnya. Ini uang Ibu. Ini juga uang Bapak.
Peganglah, Bu. Pakailah untuk keperluan Ibu dan pengobatan Bapak.”
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di kamar aku bersujud. Ini sujudku yang
teramat panjang di sepertiga malam hingga pagi tiba. Hanya pada-Nya segala rasa
yang berkecamuk di dada kutumpahkan. Hanya pada-nya segala rasa yang bergelegak
dalam jiwa kuadukan. Hanya pada-Nya segala rasa yang bergemuruh dalam hati
kuserahkan. Hanya pada-Nya. Bila ini adalah ketentuan yang terbaik dari-Mu, Ya
Allah, maka aku rela menjalaninya. Aku pasrah, Ya Rabb,. Mohon bimbing aku. Mohon beri aku kekuatan.
Mohon beri aku keikhlasan. Mohon tuntun aku . Genggam aku, Ya Allah dengan
sepenuh kasih sayang-Mu. Dekap aku, Ya Robb dengan cinta-Mu agar aku mampu
mempersembahkan cinta yang terbaik bagi orang-orang yang kucintai, terutama Ibu
dan Bapak.
(Cikarang,
24 Oktober 2017)
Menyentuh hati
ReplyDeleteAir mata tak henti mengalir. Sungguh kasihan..
ReplyDeleteWaow.......
ReplyDeleteMemantik rasa dan air mata yang telah lama tenggelam. Terima kasih, Ceu Lili
ReplyDelete