NENG ELIS, BOCAH INDIGO
oleh Nita Juanita*)
Namaku, Elis. Abah dan keluarga memanggilku Neng. Panggilan anak perempuan dalam bahasa Sunda. Umurku baru 7
tahun. Sekolah di SD Cipari Kab. Kuningan, Kelas 2 SD.
Aku hanya bocah biasa pada umumnya.
Tetapi entah dari keturunan siapa, aku bisa seperti ini. Lazimnya orang
menamaiku bocah indigo. Orang yang memiliki indra keenam.
"Abah, sing ikhlasnya ka Neng. Da Neng mah moal ngaripuhkeun Mamah,
Bapa. Tapi bade ngaripuhkeun Abah." aku berujar pada Abah, ketika aku
sakit.
Abah menangis, saat membujukku untuk mau
makan.
"Da parait, Bah. Udah Abah jangan nangis. Neng teh nuju diangkeun ku
Gusti Allah."
Abah adalah bapak dari mamahku.
Keseharianku memang lebih sering di rumah Abah. Orang yang paling dekat
denganku, ya, Abah.
*****
Selain abah ada Bibi Neng, anak bungsu
Abah. Sudah duduk di bangku SMA. Suatu hari bibi neng dimintai tolong Abah
membeli rokok, jarak rumah ke warung lumayan jauh. Di kampungku, jika malam tiba
memang jalanan agak gelap, apalagi masih terdapat kebun-kebun yang luas.
"Alim Abah. Sieun, ah," jawab Bibi Neng.
"Ih, Bibi Neng mah borangan, hayu
dianteur ku Neng," pangkasku.
Dalam perjalanan, Bibi Neng bertanya, "Moal aya nanaon, Neng?"
"Moal, Bi. Mun aya mah ke Neng nyarios."
Begitulah aku, jika dirasa ada yang
tidak beres, aku bisa tahu. Sama halnya ketika di sekolah, ibu guru mau ke WC.
Aku tiba-tiba menangis, "Bu, jangan ke WC itu."
Ibu guru yang sudah tahu akan
kelebihanku, menurutinya.
Ketika aku ditanya, "Kenapa tidak
boleh?"
Aku tidak bisa menjawab, hanya air mata
yang terus berderai.
*****
Pada suatu malam, aku tidak bisa tidur.
Aku merasa akan ada satu kejadian di kampung ini. Dan ini untuk yang keempat
kalinya.
"Neng, kok, belum tidur?"
tanya Abah.
"Susah tidur, Bah. Gerah. Mau ada
yang meninggal sugan?" jawabku.
"Jangan gitu, semoga keluarga,
saudara, dan tetangga pada sehat dan panjang umur," Abah menanggapi.
Benar saja, tak lama berselang, dari speaker masjid, ada pengumuman orang
yang meninggal.
*****
Ketika abah sakit, murung di kamar
sendirian. Aku memanggil Mamah, Bibi, dan istri abah.
"Mamah, Bibi, sini,"
panggilku.
"Ada apa, Neng?" jawab Mamah.
Mereka mendekatiku.
"Itu Abah, sama siapa? Ada yang
pakai jubah hitam, mengusap punggung Abah."
"Abah
sendirian, Neng. Nggak ada siapa-siapa." Mamah dan bibi berlalu, entah
karena takut, atau alasan lain.
*****
Oh, iya, di kepalaku tumbuh satu rambut
berwarna putih, di antara rambut hitam lainnya. Jika suatu hari, kamu tidak
melihatnya di kepalaku. Barangkali, dia sedang berkunjung ke rumahmu,
jalan-jalan bersilaturahmi. (Kuningan, 03 April 2019).
*)
Penulis: Nita Juanita seorang staf di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan.
Penyunting:
Saiful Amri
0 Response to "NENG ELIS, BOCAH INDIGO"
Post a Comment