Rumah Adat Bekasi Itu Masih Ada
Oleh : Prawiro Sudirjo
Lio
merupakan bangunan berbentuk limas tempat pembuatan batu-bata merah. Sebelum
tahun 1980, wilayah Bekasi Pakidulan tepatnya di Lemahabang merupakan sentra
pusat pembuatan batu-bata. Seiring dengan pembangunan industri di wilayah
Lemahabang, Lio kemudian mulai bergeser ke wilayah lainnya seperti Cilangkara,
Cicau, Tegal Panjang, Cibenda, Tegal Kadu, dan sekitarnya.
Dalam
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Daerah (Riparda) Kabupaten Bekasi di tahun 2017 ini, Dinas Pariwisata Kabupaten
Bekasi berencana mengembangkan dan menggarap Lio batu-bata sebagai salah satu
destinasi wisata.
Membaca
berita di atas yang bersumber dari fan
page Facebook Bekasi Pakidulan, membuat saya cukup terheran-heran dan
berpikir ternyata rumah adat Bekasi bukan cuma Saung Ranggon atau Rumah Tinggi
yang terletak di Desa Cikedokan Kecamatan
Cikarang Barat dekat dengan kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Rumah panggung yang merupakan bangunan
peninggalan pengikut Pangeran Jayakarta.
Sebelumnya, Saung Ranggon ini dikenal sebagai
“rumah” pelarian Pangeran Rangga, putra
dari Pangeran Jayakarta, pasca dikalahkan VOC pada 1619. Tak ada catatan pasti
soal kapan saung ini tepatnya didirikan, hanya disebutkan berasal dari abad
ke-17 setelah Pengeran Jayakarta kalah dari VOC.
Disebutkan pula, Pangeran Rangga mencari tempat yang jauh
dari jangkauan VOC agar tak ditemukan. Maka didirikanlah rumah bergaya rumah
panggung seluas 7,6 meter x 7,2 meter dengan tinggi bangunan sekitar 2,5 meter
terbuat dari kayu ulin dan tidak dipaku tetapi menggunakan pasak.
Membahas
rumah adat, saya teringat dengan istilah Rutilahu (Rumah Tidak Layak Huni). Ada
kesalahpahaman dalam memahami rumah panggung yang tidak menggunakan tembok dan
lantai keramik. Rumah panggung ini dulunya saya sering temui di sekitar
belakang pasar Serang atau daerah Kampung Kandang, juga daerah Bojongmangu.
Namun karena tidak permanen dan menggunakan tembok, disangka sebagian aparat
desa sebagai rumah kumuh atau tidak layak huni. Hal ini yang salah kaprah.
Padahal pemilik rumah biasanya mempunyai halaman yang luas dan kebun untuk
mencari nafkah. Kalau di daerah Serang, saya lihat banyak kebun rambutan.
Modern
menurut saya bukan berarti rumah tembok dan berlantai keramik. Hotel Aa Gym di
Bandung laku keras karena nyaman, berkesan natural dengan dinding dari bilah
bambu dan beratap rumbia. Jadi bukan berarti rumah tembok itu nyaman atau
menunjukkan kelas orang kaya. Karena tren yang berkembang di Jepang justru
makin kaya malah makin minimalis alias sederhana.
Kejadian baru-baru ini
tentang rubuhnya selasar di Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) makin memberikan
gambaran bahwa meski bangunan tersebut modern namun jika tidak diurus dengan
cermat maka dapat terjadi hal–hal yang menyedihkan. Selasar tersebut seharusnya
tidak rubuh berapapun manusia yang berdiri di atasnya, karena sudah dirancang
dengan seksama. Dan jika seandainya tidak paling handal pun, sudah seharusnya
diberi peringatan maksimum berapa orang yang boleh berdiri di atasnya. Seperti
halnya pada elevator yang akan
berbunyi dan tak mau naik jika beban berlebih. Artinya adanya kelalaian, bisa
saja sejak perencanaan hingga pemeliharaan.
Di
samping sederhana, rumah panggung juga menjaga tradisi turun-temurun dari nenek
moyang kita. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Betapa asyiknya menikmati
suasana sore, sepulang kerja dengan menghirup kopi, ditemani kue rangi. Di
beranda rumah panggung. Semilir angin dan gemerisik dedaunan menambah syahdunya
suasana saat kita melepas lelah, sambil membaca buku karya teman-teman guru.
Prawiro Sudirjo Nomor hp. 0813-9898-9282
Unit Kerja : SMK CITRA MUTIARA SERANG BARU
KAB.Bekasi
Ketua Komunitas Guru Penulis Bekasi Raya
0 Response to "Rumah Adat Bekasi Itu Masih Ada"
Post a Comment