KISAH PINGGIR KOLAM
KISAH
PINGGIR KOLAM
Oleh Oesep Kurniadi (OK)
Fajar baru menyingsing ketika beberapa ketukan terdengar di
kaca jendela. Pasti sahabatku!
“Hudang, Wa!”
“Geus ti jam tilu!”
“Jam genep téng, mangkat! Eupan geus siap.”
“Nya!”
Hening ….
*
Apa, sih, enaknya mancing? Bukankah jika ingin menangkap
ikan lebih praktis pakai jaring? Di kolam pula. Sekali lempar … dapat tuh ikan
yang bisa seharian kalau dipancing. Aha, ternyata mancing itu hobi dan ada
seninya. Bagaimana meracik umpan, bagaimana teknik menarik ikan, dan, konon, mancing
itu menguji keberuntungan. Logisnya, beruntung bisa lari dari kejenuhan, he, he
….
Okelah. Tetapi bukan itu yang mau
aku ceritakan. Ini cerita dari pinggir kolam pemancingan ketika aku menonton
sahabat-sahabatku memancing. Awalnya, sih, aku mau ikutan mancing tapi karena
mendapat undian tempat di area terik matahari, dengan sengaja dan tidak
terpaksa kuurungkan niat. Memilih duduk santai di saung pinggir kolam dengan
menikmati kopi saset dan beberapa potong comro. Sesekali kubaca buku “Sadar
Kaya” coretan Pak Mardigu WP dan membuka laptop untuk menengok kerajaanku di game War of Kings, he, he ….
Matahari beranjak meninggi ketika seorang anak laki-laki kumal,
umur belasan, datang ke pinggir kolam. Berbaju batik lusuh dan bersarung tangan
sebelah ala bikers. Secara fisik, gaya bicara, dan perilakunya, maaf, terlihat
ada “kelainan” secara mental. Dia mondar-mandir di sekitar pinggiran kolam. Berkali-kali
dia melirik ke arahku. Jujur aku jengah juga.
Ketika aku berjalan ke luar area kolam, dia mengikutiku
seraya berkata, “Ke mana, Om?”
“Mau membeli pulsa. Tahu toko penjual pulsa?” jawabku sambil
melihat dia yang tertunduk kemudian menggelengkan kepala. Terbersit untuk
memberi uang dan menyuruhnya pergi. Akan tetapi tak kulakukan. Aku terus
berjalan tanpa menghiraukannya. Malah sekarang aku jadi takut.
Ketika aku kembali ke area pemancingan, dia masih
duduk-duduk di saung dengan sikap gelisah. Kusodorkan beberapa lembar uang
kembalian kepadanya. Owh, dia menggelengkan kepala! Dengan keheranan, aku
kembali ke aktivitasku. Jujur, sekarang aku jadi penasaran. Apa maunya anak
ini?
Jam makan siang tiba. Semua sahabatku beristirahat sambil makan
dan menunaikan salat Zuhur. Anak ini masih curi-curi pandang ke arahku. Kutawari
makan, dia kembali menggeleng. Sekali lagi kuacungkan uang, dia tetap
mengeleng. Tuhan, ada apa ini? Aku yakin dia ada perlunya datang ke kolam ini. Tetapi
apa?
Selepas Asar, waktunya sahabat-sahabatku menimbang ikan
hasil pancingan mereka. Entahlah, tiba-tiba anak ini menjadi sangat aktif. Dia menghampiri
sahabat-sahabatku dan berusaha membantu menimbang ikan. “Timbang, timbang …,”
katanya.
Setelah semua selesai menimbang dan ketahuan siapa
pemancing yang paling banyak mendapat ikan, aku kembali menyodorkan uang kepada
anak ini. Dia menerima! Emejing! Dia
menerimanya seraya berucap terima kasih dengan tertunduk. Pun ketika beberapa
sahabatku menyodorkan uang tanda terima kasih sudah dibantu dan -mungkin- juga
karena kasihan. Glek! Serasa tercekat tenggorokanku.
OMG, aku baru sadar. Anak ini dari awal menawarkan jasa
bantuan buat para pemancing. Dengan kondisinya yang kumal, dia berusaha
memantaskan diri dengan berbatik. Sarung tangan? Ah, dia sebenarnya siap menjadi asisten pemancing untuk melepas ikan dari
kali dan biar tidak licin, dia memakai sarung tangan! Ketika tadi aku meninggalkan kolam untuk membeli pulsa
dan dia mengikutiku, aku baru sadar kalau dia hendak menawarkan jasa membelikan
kebutuhanku. Tak ada yang “ngeuh” maksud kehadiran dia di kolam ini ….
Satu
hal, kalbuku tergetar seketika. Anak ini mengajariku tentang sikap mental
pengemis, peminta-minta! Ia tak menerima apa pun tanpa dia melakukan apa-apa.
Dia tidak bermental pengemis! Dia jual jasa, jual tenaga!
Tuhan,
maafkan aku yang selalu minta-minta kepada-Mu tetapi jarang melakukan apa yang
Kau-perintahkan kepadaku …. Ternyata, aku masih punya mental pengemis!
**
Mantap, om!
ReplyDelete