Umpu Sekeh Ummong
Menara
Siger yang berhadapan langsung dengan pelabuhan Bakauheni seakan tersenyum
manis menyambut kedatangan Ratu yang hampir lima tahun merantau ke pulau Jawa,
gadis manis pemilik lesung pipit itu akhirnya bisa pulang kampung, waktu menunjukan
jam sepuluh malam, dengan berat hati gadis manis itu harus menginap di salah
satu penginapan yang ada di sekitar pelabuhan sebelum besok pagi-pagi sekali
meneruskan perjalan pulang ke desanya, Bandar Agung Ranau sebuah desa nan asri
lagi indah yang terletak di pinggir danau Ranau.
Ratu
baru saja terlelap ketika sebuah ketukan pelan di pintu membangunkannya, waktu
menunjukan tengah malam.
“Apa
permintaanku belum jelas,” gumamnya. Sebagai seorang Pilolog Ratu sudah
terbiasa dengan deringan telepon tengah malam bahkan dini hari dari para kolega
atau orang-orang yang memberikan informasi benda-benda bersejarah semisal
artepak kuno, manuskrip kuno, prasasti atau hanya orang iseng yang ingin
mengenalnya, namun kali ini Ratu sudah wanti-wanti pada pengelola penginapan
untuk menutup semua akses tentang dirinya.
Ketukan
di pintu terdengar lagi, pelan berulang-ulang bahkan tambah keras.
“Astagfirullah….”
Ratu
terpaksa bangkit dari pembaringan dan membuka pintu penginapan.
“Ada
yang belum dipahami dari permintaan saya?”
“Maapkan
kami nona Ratu, pihak penginapan sudah berusaha namun nenek itu bersikeras
ingin bicara dengan nona.”
“Suruh
tunggu di lobby, besok saya akan menemuinya.”
“Maap
nona Ratu, nenek itu ingin bicara sekarang, katanya sangat penting.”
“Baiklah….”
“Terimakasih
nona Ratu.”
Ratu
hanya menganguk kemudian mengikuti manajer
penginapan menemui seorang nenek tua yang duduk tenang di sebuah bangku.
“Nenek
mau bicara dengan saya?” kata Ratu yang kini duduk di sebelah sang nenek.
“Umpu
Sekeh Ummong,” gumam sang nenek.
“Nama
saya Ratu nek.”
“Tidak
salah lagi, anda Umpu Sekeh Ummong.”
“Baiklah
nek, terserah mau panggil saya apa, ada yang bisa saya bantu nek?”
“Umpu harus menyelamatkan lereng Pesagi,
selamatkan lereng gunung Pesagi dari orang-orang yang akan merusak tatanan adat
suku Tumi.”
“Apa
yang akan mereka lakukan nek?”
“Jangan
banyak tanya dan berpikir Umpu, atau suku Tumi benar-benar hilang dari
peradaban.”
“Tapi
nek….”
“Untuk sebuah alasan Umpu harus
menyelamatkan lereng Pesagi,” kata nenek tua itu sebelum tubuhnya benar-benar
hilang dari pandangan Ratu.
**
Lelaki paruh baya itu tampak menarik
napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan setelah mendengarkan cerita
Ratu mengenai pertemuannya dengan nenek aneh di sebuah lobby hotel kawasan
pelabuhan Bakauheni sehari sebelum sampai di rumah kedua orang tuanya yang
berada di tepi danau Ranau nan indah tersebut.
“Apak,
saya pulang untuk berlibur bukankah masih ada tetua adat yang mengurus masalah
itu?”
“Ratu apa kau belum yakin dengan
manuskrip kuno warisan leluhur kita?”
“Tapi apak….”
“Ratu apa yang dikatakan apak benar,
apapun alasannya keluarga kita adalah suku Tumi yang tersisa di Sai Bumi Ruwa Jurai ini, jadi kau punya
kewajiban melestarikan adat dan menjaga bukit Pesagi.”
“Baik landui kebetulan saya punya teman seorang pengacara, mudah-mudahan
dia bisa membantu kita.”
“Temanmu itu laki-laki?”
“Maksud landui?”
“Ah tidak, cepat telepon temanmu
itu.”
**
Bandar udara Radin Intan II tampak
mengecil kemudian hilang sama sekali ketika travel yang ditumpangi Ratu dan
Husni memasuki kawasan bukit Pesagi, tampak pancang-pancang beton pembangunan
proyek bungalow berdiri angkuh meretas langit, entahlah apa alasan orang-orang
berduit tebal itu menjadikan kawasan cagar alam yang dahulu merupakan
peninggalan Kerajaan kuno Skala Brak yang ada di kota Tapis Berseri tersebut
akan dijadikan objek pariwisata sekala Internasional.
“Sayang sekali jika bukit yang
menyimpan peradaban sejarah masa silam itu harus dirusak,” gumam Husni.
“Itulah alasan saya meminta uda
datang ke sini,” sela Ratu.
“Ambo akan barusaha sekuat tenaga
demi Ratu,” kata Husni sambil menatap gadis ayu yang duduk di sampingnya, yang
ditatap tampak sipu-sipu malu rona merah membias di pipi. Dua jam kemudian travel yang mereka sewa perlahan
memasuki kawasan danau Ranau.
“Rancak bana…, elok nian,” gumam
Husni.
“Elok mana dengan adek?”
Husni merengkuh kedua tangan gadis
ayu tersebut, diciumnya dengan lembut.
“Tentu sajo, adek….”
“Gombal, ah.”
Travel
yang ditumpangi Ratu dan Husni akhirnya berhenti di depan halaman luas sebuah
rumah panggung, rumah adat Lampung yang disebut Nawo Sesat, di depan tangga
sang landui memakai baju lawai dan sang apak memakai baju kawai menyambut
kedatangan kedua sejoli tersebut dengan tarian selamat datang, tari Sembah atau
tari Sigel Pengunten dilanjut dengan tari Melinting.
“Ambo tersenjung dengan sambutan ini
mamak, tarimokasih,” kata Husni.
“Gala
mudo indak usah sungkan ini
sudah tradisi kami,” ujar lelaki paruh baya itu sambil mempersilahkan Husni
duduk di kursi yang telah disediakan.
“Maap, apo rencana gala mudo dengan
masalah bukit Pesagi?”
“Dinas purbakala dan cagar budaya
akan membantu kita mamak.”
“Syukurlah, semoga perjuangan gala
mudo diridoi Gusti Allah.”
“Amin.”
“Oh ya silahkan dicicipi hidangan
alakadarnya, panganan ini disebut seruit Lampung.”
“Enak sekali panganan ini mamak.”
“Gala mudo suka?”
“Suka sekali mamak,” kata Husni
sembari melirik Ratu yang langsung menundukan wajah dengan rona merah membias
di kedua pipinya sedang pertunjukan tari-tarian adat Lampung terus digelar
sampai matahari tepat di ubun-ubun.
**
Pengadilan
tinggi Negeri Bandar Lampung, tengah digelar sidang perkara sengketa tanah adat
bukit Pesagi antara para tetua adat dan pihak pengembang yang sudah mengantongi
izin dari pihak terkait, meski demikian berkat kegigihan Husni akhirnya hakim
ketua memutuskan kemenangan perkara bagi para tetua adat, dengan begitu
kelestarian bukit Pesagi tetap terjaga.
Malam
itu di tepi danau Ranau, Ratu dan Husni
tengah berbincang, bulan separuh berenang diantara mega-mega hitam, rinai dari
langin menitik perlahan.
“Terimakasih, berkat perjuangan uda
bukit Pesagi dapat diselamatkan dari tangan-tangan jahat yang akan merusak
kelestariannya,” kata Ratu.
“Itu semua berkat doa kita semua dek,”
ujar Husni disambut senyum manis sang pujaan hati.
Ratu mengangguk haru, teringat
kembali kalimat terakhir dari sang nenek misterius yang menemuinya di
penginapan.
“Untuk
sebuah alasan Umpu harus menyelamatkan lereng Pesagi.” desah Ratu pelan.
“Adek bilang apa barusan?” kata
Husni.
“Ah tidak uda, baiknya kita cepat
pulang.”
“Kenapa buru-buru dek?”
“Sudah hampir jam sepuluh malam, uda
tahu kan apa artinya?”
“Jam malam,” gumam Husni.
Kedua sejoli itu tampak bergandeng
tangan menuju mobil yang diparkir di pinggir danau Ranau, hembusan angin terasa
menucuk persendian, keduanya tersentak bilamana dua orang pengendara motor
menghadangnya, sebuah benda dingin dirasa menempel di dada sebelah kiri,
setelahnya gelap dan mereka tidak ingat apa-apa lagi semantara suasana tetap
hening dan sepi seakan tidak pernah terjadi apapun sebelumnya di tempat itu.
Indramayu,
2019
TENTANG PENULIS
KUSYOTO,
lahir di Indramayu 02 Juli 1977, anak sulung dari dua bersaudara ini mulai
menulis sejak SMA, sangat menulis
terinspirsi dari ayahnya yang notaben sebagai sutradara sebuah sandiwara
tradisional atau Masres yang menjamur pada masa itu, dari sanalah jiwa jurnal
dalam menulis bergenre kisah fiksi legenda berlatar sejarah kerajaan masa silam
muncul, bergelora dalam dadanya. Bergiat di DKI (Dewan Kesenian Indramayu,
komite Sastra)
ALAMAT
SURAT MENYURAT.
Rumah
Sakit. MM. Indramayu.
Jl.
Let.Jen, Soeprapto no. 292 Kelurahan
Kepandean, Kecamatan Indramayu
NO.HP:
081380790380.
Akun
Facebook: Kusyoto, kyt
Email:
kkusyoto@gmail.com
No.
Rekening: BRI. 4239.01.007726.53.9. Unit
Tugu, An. KUSYOTO.
Menara
Siger yang berhadapan langsung dengan pelabuhan Bakauheni seakan tersenyum
manis menyambut kedatangan Ratu yang hampir lima tahun merantau ke pulau Jawa,
gadis manis pemilik lesung pipit itu akhirnya bisa pulang kampung, waktu menunjukan
jam sepuluh malam, dengan berat hati gadis manis itu harus menginap di salah
satu penginapan yang ada di sekitar pelabuhan sebelum besok pagi-pagi sekali
meneruskan perjalan pulang ke desanya, Bandar Agung Ranau sebuah desa nan asri
lagi indah yang terletak di pinggir danau Ranau.
Ratu
baru saja terlelap ketika sebuah ketukan pelan di pintu membangunkannya, waktu
menunjukan tengah malam.
“Apa
permintaanku belum jelas,” gumamnya. Sebagai seorang Pilolog Ratu sudah
terbiasa dengan deringan telepon tengah malam bahkan dini hari dari para kolega
atau orang-orang yang memberikan informasi benda-benda bersejarah semisal
artepak kuno, manuskrip kuno, prasasti atau hanya orang iseng yang ingin
mengenalnya, namun kali ini Ratu sudah wanti-wanti pada pengelola penginapan
untuk menutup semua akses tentang dirinya.
Ketukan
di pintu terdengar lagi, pelan berulang-ulang bahkan tambah keras.
“Astagfirullah….”
Ratu
terpaksa bangkit dari pembaringan dan membuka pintu penginapan.
“Ada
yang belum dipahami dari permintaan saya?”
“Maapkan
kami nona Ratu, pihak penginapan sudah berusaha namun nenek itu bersikeras
ingin bicara dengan nona.”
“Suruh
tunggu di lobby, besok saya akan menemuinya.”
“Maap
nona Ratu, nenek itu ingin bicara sekarang, katanya sangat penting.”
“Baiklah….”
“Terimakasih
nona Ratu.”
Ratu
hanya menganguk kemudian mengikuti manajer
penginapan menemui seorang nenek tua yang duduk tenang di sebuah bangku.
“Nenek
mau bicara dengan saya?” kata Ratu yang kini duduk di sebelah sang nenek.
“Umpu
Sekeh Ummong,” gumam sang nenek.
“Nama
saya Ratu nek.”
“Tidak
salah lagi, anda Umpu Sekeh Ummong.”
“Baiklah
nek, terserah mau panggil saya apa, ada yang bisa saya bantu nek?”
“Umpu harus menyelamatkan lereng Pesagi,
selamatkan lereng gunung Pesagi dari orang-orang yang akan merusak tatanan adat
suku Tumi.”
“Apa
yang akan mereka lakukan nek?”
“Jangan
banyak tanya dan berpikir Umpu, atau suku Tumi benar-benar hilang dari
peradaban.”
“Tapi
nek….”
“Untuk sebuah alasan Umpu harus
menyelamatkan lereng Pesagi,” kata nenek tua itu sebelum tubuhnya benar-benar
hilang dari pandangan Ratu.
**
Lelaki paruh baya itu tampak menarik
napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan setelah mendengarkan cerita
Ratu mengenai pertemuannya dengan nenek aneh di sebuah lobby hotel kawasan
pelabuhan Bakauheni sehari sebelum sampai di rumah kedua orang tuanya yang
berada di tepi danau Ranau nan indah tersebut.
“Apak,
saya pulang untuk berlibur bukankah masih ada tetua adat yang mengurus masalah
itu?”
“Ratu apa kau belum yakin dengan
manuskrip kuno warisan leluhur kita?”
“Tapi apak….”
“Ratu apa yang dikatakan apak benar,
apapun alasannya keluarga kita adalah suku Tumi yang tersisa di Sai Bumi Ruwa Jurai ini, jadi kau punya
kewajiban melestarikan adat dan menjaga bukit Pesagi.”
“Baik landui kebetulan saya punya teman seorang pengacara, mudah-mudahan
dia bisa membantu kita.”
“Temanmu itu laki-laki?”
“Maksud landui?”
“Ah tidak, cepat telepon temanmu
itu.”
**
Bandar udara Radin Intan II tampak
mengecil kemudian hilang sama sekali ketika travel yang ditumpangi Ratu dan
Husni memasuki kawasan bukit Pesagi, tampak pancang-pancang beton pembangunan
proyek bungalow berdiri angkuh meretas langit, entahlah apa alasan orang-orang
berduit tebal itu menjadikan kawasan cagar alam yang dahulu merupakan
peninggalan Kerajaan kuno Skala Brak yang ada di kota Tapis Berseri tersebut
akan dijadikan objek pariwisata sekala Internasional.
“Sayang sekali jika bukit yang
menyimpan peradaban sejarah masa silam itu harus dirusak,” gumam Husni.
“Itulah alasan saya meminta uda
datang ke sini,” sela Ratu.
“Ambo akan barusaha sekuat tenaga
demi Ratu,” kata Husni sambil menatap gadis ayu yang duduk di sampingnya, yang
ditatap tampak sipu-sipu malu rona merah membias di pipi. Dua jam kemudian travel yang mereka sewa perlahan
memasuki kawasan danau Ranau.
“Rancak bana…, elok nian,” gumam
Husni.
“Elok mana dengan adek?”
Husni merengkuh kedua tangan gadis
ayu tersebut, diciumnya dengan lembut.
“Tentu sajo, adek….”
“Gombal, ah.”
Travel
yang ditumpangi Ratu dan Husni akhirnya berhenti di depan halaman luas sebuah
rumah panggung, rumah adat Lampung yang disebut Nawo Sesat, di depan tangga
sang landui memakai baju lawai dan sang apak memakai baju kawai menyambut
kedatangan kedua sejoli tersebut dengan tarian selamat datang, tari Sembah atau
tari Sigel Pengunten dilanjut dengan tari Melinting.
“Ambo tersenjung dengan sambutan ini
mamak, tarimokasih,” kata Husni.
“Gala
mudo indak usah sungkan ini
sudah tradisi kami,” ujar lelaki paruh baya itu sambil mempersilahkan Husni
duduk di kursi yang telah disediakan.
“Maap, apo rencana gala mudo dengan
masalah bukit Pesagi?”
“Dinas purbakala dan cagar budaya
akan membantu kita mamak.”
“Syukurlah, semoga perjuangan gala
mudo diridoi Gusti Allah.”
“Amin.”
“Oh ya silahkan dicicipi hidangan
alakadarnya, panganan ini disebut seruit Lampung.”
“Enak sekali panganan ini mamak.”
“Gala mudo suka?”
“Suka sekali mamak,” kata Husni
sembari melirik Ratu yang langsung menundukan wajah dengan rona merah membias
di kedua pipinya sedang pertunjukan tari-tarian adat Lampung terus digelar
sampai matahari tepat di ubun-ubun.
**
Pengadilan
tinggi Negeri Bandar Lampung, tengah digelar sidang perkara sengketa tanah adat
bukit Pesagi antara para tetua adat dan pihak pengembang yang sudah mengantongi
izin dari pihak terkait, meski demikian berkat kegigihan Husni akhirnya hakim
ketua memutuskan kemenangan perkara bagi para tetua adat, dengan begitu
kelestarian bukit Pesagi tetap terjaga.
Malam
itu di tepi danau Ranau, Ratu dan Husni
tengah berbincang, bulan separuh berenang diantara mega-mega hitam, rinai dari
langin menitik perlahan.
“Terimakasih, berkat perjuangan uda
bukit Pesagi dapat diselamatkan dari tangan-tangan jahat yang akan merusak
kelestariannya,” kata Ratu.
“Itu semua berkat doa kita semua dek,”
ujar Husni disambut senyum manis sang pujaan hati.
Ratu mengangguk haru, teringat
kembali kalimat terakhir dari sang nenek misterius yang menemuinya di
penginapan.
“Untuk
sebuah alasan Umpu harus menyelamatkan lereng Pesagi.” desah Ratu pelan.
“Adek bilang apa barusan?” kata
Husni.
“Ah tidak uda, baiknya kita cepat
pulang.”
“Kenapa buru-buru dek?”
“Sudah hampir jam sepuluh malam, uda
tahu kan apa artinya?”
“Jam malam,” gumam Husni.
Kedua sejoli itu tampak bergandeng
tangan menuju mobil yang diparkir di pinggir danau Ranau, hembusan angin terasa
menucuk persendian, keduanya tersentak bilamana dua orang pengendara motor
menghadangnya, sebuah benda dingin dirasa menempel di dada sebelah kiri,
setelahnya gelap dan mereka tidak ingat apa-apa lagi semantara suasana tetap
hening dan sepi seakan tidak pernah terjadi apapun sebelumnya di tempat itu.
Indramayu,
2019
TENTANG PENULIS
KUSYOTO,
lahir di Indramayu 02 Juli 1977, anak sulung dari dua bersaudara ini mulai
menulis sejak SMA, sangat menulis
terinspirsi dari ayahnya yang notaben sebagai sutradara sebuah sandiwara
tradisional atau Masres yang menjamur pada masa itu, dari sanalah jiwa jurnal
dalam menulis bergenre kisah fiksi legenda berlatar sejarah kerajaan masa silam
muncul, bergelora dalam dadanya. Bergiat di DKI (Dewan Kesenian Indramayu,
komite Sastra)
ALAMAT
SURAT MENYURAT.
Rumah
Sakit. MM. Indramayu.
Jl.
Let.Jen, Soeprapto no. 292 Kelurahan
Kepandean, Kecamatan Indramayu
NO.HP:
081380790380.
Akun
Facebook: Kusyoto, kyt
Email:
kkusyoto@gmail.com
No.
Rekening: BRI. 4239.01.007726.53.9. Unit
Tugu, An. KUSYOTO.
0 Response to "Umpu Sekeh Ummong"
Post a Comment