Guru, Profesiku yang Tak Terduga
oleh Dra. Muzlifah Muhiddin (Ipah)
Menjadi guru bukanlah cita-citaku ketika kanak-kanak.
Memang dalam bermain sekolah-sekolahan aku sering berperan sebagai guru, sedangkan
teman-teman menjadi siswa, guru bukanlah profesi yang saya idamkan. Apalagi ada
di antara guru-guru saya yang bercerita bahwa profesi guru adalah profesi yang begitu-begitu
saja. “Siswa-siswa saya ada yang sudah menjadi dokter, insinyur, dan
pejabat terkemuka, sedangkan saya masih tetap saja menjadi guru”, ujar mereka
di sela-sela pelajaran.
Namaku Muzlifah Muhiddin. Nama panggilanku Ipah yang
menurut cerita berarti sayang. Lahir di
Rumah Sakit Jakarta (kawasan Karet Semanggi, Jakarta Selatan) pada 3 Januari
1965. Aku puteri pertama dari pasangan Muhiddin Mudjeni dan Zaenab Zen.
Kedua orang tuaku hanya lulusan SMA dan keduanya pandai
menjahit. Emakku, bahkan nyaris mampu mengerjakan semua keterampilan
wanita, seperti memasak, membuat
roti, menyulam, merajut, membuat aplikasi
dengan kain perca, membuat smoke, dan makrame. Dengan keterampilan itulah
mereka menghidupi keluarga.
Bapakku,
meskipun pernah bekerja di perbankan … hingga akhir
hidupnya dikenal sebagai penjahit busana pria yang berkualitas. Emakku sering
memberikan jasa menjahit pakaian wanita dan anak. Ia juga pernah membuka kursus
menjahit di rumah. Bahkan, sepeninggal bapak, emak mengambil jahitan daster
dari sebuah konveksi dengan upah
lumayan. Pekerjaan tersebut kami lakukan secara bergotong-royong. Emak menjahit
bagian leher dan pundak, sementara aku menjahit bagian samping dan bawah, dan
adikku menjahit tali pinggangnya.
Sejak kecil aku ingin menjadi dokter. Apalagi aku
tergolong pandai sehingga yakin akan
dapat mencapai cita-cita tersebut. Namun, aku mendapat informasi bahwa jika
kuliah di kedokteran kita harus benar-benar fokus pada pelajaran. Kita akan
kesulitan jika ingin kuliah sambil bekerja. Padahal jika mau kuliah, aku harus
mencari biaya sendiri. Aku tidak mungkin membebankan biaya tersebut kepada emak
yang selama ini banting tulang menghidupi lima anaknya.
Akhirnya selepas SMA aku tidak mendaftarkan diri ke
fakultas kedokteran. Aku diterima di Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu
Komunikasi. Di sini mata kuliahnya tidak seberat fakultas kedokteran dan aku
bisa kuliah sambil bekerja.
Seingatku, emak membayarkan uang kuliahku hanya satu
semester. Memasuki semester kedua aku mulai bekerja di perusahaan pengelola
undian berhadiah setiap malam Senin. Setelah itu saya banyak terlibat pada
proyek penelitian sosial dan pasar, bahkan saya sempat bekerja di sekretariat
Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK-PWI) berkat referensi dosen
pembimbing Dja’far Husein Assegaff yang kala itu menjabat sebagai ketuanya.
Aku juga bekerja sebagai asisten perencana sosial pada proyek Second Stage Development
of Transmigration di Sulawesi Tengah. Di sini selain memperoleh gaji yang sangat
memuaskan dan pengalaman unik, aku dapat
menyelipkan daftar pertanyaan untuk penelitian skripsi yang bertema “Pola Komunikasi Pertanian
Masyarakat di Unit Pemukiman Transmigrasi Bungku Tengah Kabupaten Poso Sulawesi
Tengah”.
Selepas kuliah di tahun 1991 aku bekerja sesuai
pendidikan di Majalah Laras Tren Interior Arsitektur dengan jabatan
terakhir redaktur. Karena kesibukan keluarga, pekerjaan tersebut aku lepas. Setelah
itu aku memfokuskan diri di dunia seni lukis dengan menjadi penyelenggara
pameran lukisan.
Kebetulan selama bekerja di Majalah Laras aku sering
ditugaskan meliput kegiatan berkesenian sehingga banyak mengenal seniman dari
berbagai daerah, pemilik galeri, sosialita, dan pejabat hubungan masyarakat
hotel berbintang lima. Beberapa pameran lukisan aku gelar, termasuk lima kali
pameran bertema “Cinta Tanah Air” yang menghimpun pelukis dari Jakarta,
Yogyakarta dan Bandung. Hingga akhirnya bertemu Sugiapto Trisna, pengusaha dan
pelukis impressionis. Beliau memberi kepercayaan kepada saya untuk mengelola
rumah seni “Sugi The Impressionist Fine Art Studio” di kawasan Sunter.
Kebetulan Sugiapto, aktivis
bidang pendidikan di Gereja Kristen Pengabar Injil di Jalan Kartini Sawah Besar
Jakarta Pusat yang menaungi TK, SD, dan SMP Kristen Anugerah. Oleh karena itu,
ketika memerlukan guru menggambar untuk TK dan SD mereka menghubungiku. Maka
mulailah profesiku sebagai guru gambar yang hanya mendapat honor jika datang
mengajar. Untungnya honornya cukup besar. Bahkan setelah ada pergantian
manajemen sekolah aku ditugaskan menjadi guru Seni Budaya dan Keterampilan
(SBK) dan ekstrakulikuler Home Industri dengan memperoleh gaji tetap dan
tunjangan lainnya. Sungguh menjadi guru merupakan profesi yang tidak pernah
kuduga sebelumnya.
PERILAKU WARGA
SEKOLAH
Pada masa awal berkarier sebagai guru, aku hanya mengajar
setiap Selasa dan Sabtu hingga tengah hari. Setelah itu aku menghabiskan hari
di Sugi The Impressionist Fine Art Studio untuk menyiapkan kegiatan berkesenian
dan membantu anak-anak, remaja, dan orang dewasa yang hendak belajar melukis.
Menjalani hari-hari sebagai guru ada kalanya aku menjumpai kerikil yang menyakitkan. Sebagai
contoh suatu pagi sesampainya di sekolah ada
beberapa siswa kelas 1 menghampiriku. Mereka menanyakan, apakah benar
aku telah mencubit A, seorang teman mereka hingga dadanya menjadi
memar. Siswa kelas lain dan beberapa rekan guru juga menanyakan hal serupa.
Tentu saja hal ini sangat mengejutkan dan menyesakkan
dadaku. Rasanya aku tidak pernah melakukan hal yang mereka
sebutkan. Aku bahkan tidak pernah menyentuh kulit mereka, meskipun mereka
berisik di kelas, tidak mengerjakan pekerjaan rumah atau tidak membawa alat dan
bahan pelajaran.
Beruntung sebelum
bel masuk berbunyi ibunda A datang. Ia meminta maaf dan menjelaskan bahwa dada
puteranya biru karena terbentur sesuatu. “Maaf bu. Anak saya berbohong karena
takut saya marah”, tutur ibunda A yang tidak langsung mempercayai begitu saja apa
yang dikatakan puteranya. Sikap ibunda A sangat kuhargai. Ia berkeyakinan seorang
guru tidak akan menghukum siswa yang tidak bersalah. Ia juga paham bahwa
seorang anak kecil sesekali berbohong untuk menutupi kesalahannya.
Perilaku siswa juga pernah menjadi pemicu seorang wali
kelas menegurku, bahkan memarahiku jika diperhatikan dari nada bicaranya yang
tinggi. Ia mempercayai pengaduan
beberapa siswanya bahwa aku menyebutkan X (nama siswa) adalah anak ... (sebuah kata yang tidak patut aku ketik di
sini). Kejadian tersebut selesai dengan
permintaan maaf dari X karena mulutku tidak pernah mengeluarkan perkataan yang
dituduhkan.
Perilaku rekan kerja juga acap kali tidak sejalan
denganku. Tata cara berbicara dan menyampaikan pendapat sering membuatku
terperangah. Aku berpendapat bahwa jika
hendak mengajarkan sesuatu kepada siswa, kita harus memberi contoh
terlebih dahulu. Datang tepat waktu dan
berkata lembut kepada siswa, misalnya haruslah menjadi prioritas yang harus
dilakukan guru.
Kekompakan antar sesama guru juga kunci keberhasilan
mengajar yang harus diperlihatkan di depan siswa-siswa dan orang tua mereka. Jika
seorang guru menghukum siswa, selayaknya guru lain tidak menegur guru
tersebut. Akan lebih baik jika ia
menanyakan kepada siswa mengapa mereka di hukum agar kewibawaan guru di hadapan
siswa tidak pupus.
Hubungan baik tidak hanya dilakukan seorang guru kepada
wali siswa, kepala sekolah dan rekan guru lainnya, tetapi juga kepada warga
sekolah lainnya, seperti pesuruh, penjaga sekolah, petugas keamanan, tukang
parkir, dan para pedagang yang ada di lingkungan sekolah. Mereka juga sering
berinteraksi dengan siswa sehingga secara tidak langsung turut andil dalam
perkembangan kehidupan seorang siswa.
PERAN ORANG
TUA
Peran orang tua merupakan sebuah penentu keberhasilan
seorang guru dalam mengajar. Keberhasilan seorang guru dalam proses
belajar, mengajar, tentunya tidak lepas
dari peran orang tua atau wali siswa. Terlebih lagi untuk mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, karena siswa
acap kali diminta bahan dan alat yang memerlukan biaya tambahan.
Hal ini pernah menjadi kendala dalam karierku ketika siswa
kelas V dan VI, berminat belajar
melukis. Oleh karena itu, aku meminta mereka membawa cat akrilik. Namun,
keesokan hari beberapa wali siswa menghalangi langkah saya di gerbang sekolah
karena merasa keberatan membelikan cat
akrilik karena dianggap mahal.
Beruntung pihak sekolah berkenan menyediakan peralatan
melukis sehingga pelajaran tetap berjalan lancar. Bahkah orang tua yang awalnya
menolak, sangat bangga dengan lukisan karya putera-puteri mereka. Kini mereka dengan senang hati menyediakan perlengkapan
untuk melukis, meronce, membuat jumputan, merajut, dan kegiatan lain di
pelajaranku.
MATERI TERBARUKAN
Aku beruntung bekerja di bawah kepemimpinan L. Elfianus
P. Kaligis, kepala SDS. Kristen Anugerah yang memberi kebebasan dalam
menentukan materi pelajaran. Aku tidak harus terpaku dengan buku pegangan dan
kurikulum pemerintah, tetapi tetap disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa-siswa.
Setiap awal semester biasanya aku meminta siswa-siswa
menulis tiga hingga lima topik apa yang hendak mereka pelajari dalam mata
pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan. Setelah
itu, kami diskusikan dan putuskan bersama. Umumnya yang diinginkan siswa sangat
trendi, sesuai dengan kondisi saat ini. Semisal, ketika slime dan playdough
menjadi tren, mereka memintaku mengajarkan bagaimana cara membuatnya. Tentu
saja keinginan mereka aku kabulkan dengan sedikit modifikasi menggunakan materi
yang aman dan ramah lingkungan. Caranya? Jika aku tak mengetahui caranya, cukup
menjelajah di dunia maya.
Internet dan media sosial sangat membantu pekerjaanku,
sekaligus membantu menghilangkan jarak dengan siswa-siswa. Kami sering
mendiskusikan apa yang tengah viral di sela-sela kesibukan siswa mewarnai
gambar, tentunya topiknya berkaitan dengan seni dan budaya. Mereka juga tidak
segan menanyakan karya-karya aku unggah di media sosial.
Sebagai pekerja seni aku selalu mempromosikan setiap ada
karya baru. Lukisan di atas kanvas dan kertas, lukisan batu, kalung dan gelang,
rajutan, atau aplikasi dari kain planel hasil olah tanganku silih berganti
diunggah melalui facebook, twitter, dan instagram sekaligus. Bahkan aku
juga mengunggah materi yang hendak aku
berikan, tentunya dengan sedikit penyederhanaan.
Jika aku memperoleh ilmu, segera aku wariskan kepada siswa-siswaku.
Sebagai contoh, sehari setelah bisa membuat wayang-wayangan dari bambu, aku
langsung mengajarkan hal tersebut kepada mereka. Aku mempelajarinya dan
memperoleh materi rautan bambu dari Komunitas Hong, sebuah komunitas yang
berusaha melestarikan permainan tradisional Indonesia, pimpinan Zaini Alif,
ketika kegiatan TAFISA (The Association
for International Sport for All) berlangsung pada Oktober 2016 di Ecopark Taman
Impian Jaya Ancol.
TERUS BELAJAR
Sebagai guru aku sering merasa ilmu yang kumiliki
sangatlah kurang. Bahkan aku menganggap sudah tidak ada lagi materi yang bisa
aku berikan. Oleh karena itu, aku senantiasa berusaha meluangkan waktu untuk
belajar dan terus belajar.
Profesiku sebagai pekerja seni memberi peluang untuk
berkembang. Aku sering diundang untuk mengikuti pelatihan dari lembaga pemerintah dan lembaga berkenian milik
swasta. Pelatihan melukis di kaca, membuat komik, dan
membuat sketsa dengan bambu, misalnya aku peroleh dari Komunitas Bentara Muda
di bawah naungan Bentara Budaya Jakarta.
Aku juga senang mengunjungi pameran lukisan dan kerajinan
untuk menemukan ide untuk perkembangan karya dan materi mengajarku. Saat
berkunjung ke Pekan Raya Jakarta tahun 2016 aku berkenalan dengan Pak Gito,
pengrajin koran bekas. Darinya aku memperoleh ilmu bagaimana mengolah selembar
koran menjadi piring, mangkok, tempat buah, vas bunga, lampu, dan tempat pensil
yang dapat digunakan sehari-hari dan bernilai seni. Dengan bantuan suami, aku
pun mulai bereksplorasi menciptakan benda-benda lain, seperti perahu
tradisional, motor, burung hantu dan bentuk-bentuk lain yang diilhami dari
dunia maya. Bahkan perahu Vinisi kami
… berukuran panjang 50 cm, lebar 15 dan tinggi 60 cm … dikoleksi
sebuah perusahaan periklanan ternama dengan harga yang tinggi.
Aku belum lama menjadi guru. Aku belum melihat siswaku berhasil
mengarungi kehidupan. Aku baru melihat
bagaimana siswaku tumbuh berkembang menjadi pemuda tampan dan wanita cantik
yang memasuki jenjang kuliah. Sebentar lagi mereka akan menjadi dokter,
insinyur atau pengusaha sukses. Seperti kata guru-guruku dulu, kita … para guru … tetap akan
menjadi guru. Namun, ada rasa kebanggaan dalam diri jika mereka tetap memberi
salam dan hormat kepadaku setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Itulah anugerah
terindah dalam hidup seorang guru, sebuah profesi yang tidak pernah kuimpikan
dan kuduga sebelumnya.
Editor : Lilis Yuningsih
Biodata Penulis :
Dra. Muzlifah Muhiddin (Ipah)
Lahir di Jakarta, 3 Januari 1965.
Alamat Studio : Pasar Seni Ancol Blok C No.92 Jalan Lodan
Timur No. 7 Jakarta Utara
Telepon : 0815 979 5558; 0852 175 808 79
Pendidikan : Sarjana Ilmu Komunikasi Pembangunan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).
Pernah bekerja di perusahaan penelitian sosial dan pasar,
seperti PT. Surindo Utama, PT. Supracom, dan PT. Perentjana Djaja Consorsium
(Jakarta – Palu, Sulawesi Tengah), redaktur Majalah Laras Tren Interior dan
Arsitektur, media relation beberapa galeri, penyelenggara pameran lukisan, dan
manajer Sugi The Impressionist Fine Art Studio.
Sejak tahun 2008 hingga kini dipercaya sebagai guru
melukis KB/TK Kristen Anugerah serta guru Seni Budaya dan Keterampilan dan Home
Industri SDS. Kristen Anugerah, Jakarta.
Mulai Oktober 2010 menjadi warga seniman Pasar Seni Ancol
serta aktif memberikan edukasi seni kepada pengunjung, seperti melukis di
layang-layang, kanvas, kipas, dan batu.
Selain itu aktif memberi bimbingan melukis secara privat dan telah berhasil
menghantarkan seorang siswa berkebutuhan khusus Samuel Santoso berpameran
tunggal di Balai Budaya Jakarta.
Terhitung tahun 2015 menggeluti usaha daur ulang
menggunakan koran dan kemasan produk untuk dijadikan wadah kebutuhan
sehari-hari dan karya seni di Pasar Seni Ancol dan Ecomarket Taman Impian Jaya
Ancol.
0 Response to "Guru, Profesiku yang Tak Terduga"
Post a Comment