I’M TEACHER, I’M WRITER
oleh Utiyah
Menjadi seorang guru
sudah menjadi cita-cita saya semenjak
masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Simple
saja, kenapa dari kecil saya bercita-cita menjadi guru, karena pada waktu itu
sering kali saya ditugaskan guru saya untuk sekedar menggantikan beliau menulis
di papan tulis bahkan sampai membantu beliau mengoreksi hasil ulangan
teman-teman. Hal ini terus berjalan sampai saya duduk di bangku Sekolah
Menengah Pertama (SMP).
Memikirkan cita-cita
merupakan salah satu cara untuk menjalani hidup ini agar lebih terarah --- . Ya mungkin ini alasan kenapa
seorang guru sering menanyakan cita-cita siswa-siswinya---. Mungkin beberapa
teman atau siapa pun akan merasa biasa saja ketika mendengar ada orang yang
bercita-cita menjadi seorang guru, mungkin dalam benak mereka menjadi seorang
dokter, polisi, pilot atau profesi lainnya lebih kedengaran “wah”. Apa pun itu pendapat orang lain,
keinginan saya menjadi seorang guru masih tetap kuat. Di samping karena saya
tinggal di kampung kalau mendengar cita-cita yang profesinya jarang dilihat
merupakan hal yang tabu, misal cita-cita menjadi Chef, Pengacara, Desainer, Arsitek dan lainnya. Karena bagi kami,
orang dengan profesi Chef, Pengacara
maupun Desainer itu hanya milik orang-orang perkotaan.
Menggapai sebuah angan
dan cita-cita memang tidaklah mudah, semua butuh proses. Menyadari kenyataan
bahwa saya terlahir dalam lingkungan keluarga petani sesekali membuat saya
tidak percaya diri untuk menggapai cita-cita tersebut. Tapi hayalan menjadi
seorang guru terus saja melintas dalam benak dan anganku. Tidak disangka dan
tidak diduga dari berhayal inilah muncul hobi yang entah sejak kapan saya rutin
melakukannya, saya mulai hobi atau
senang banget dengan kegiatan membaca dan menulis. Dengan membaca,
hayalan kita akan terarah lho. Karena
dengan membaca kita bisa berhayal memasuki dunia yang sedang kita baca, menjadi
tokoh dari yang kita baca. Begitu pun dengan hobi menulis, dengan menulis kita
bisa menuangkan segala hayalan kita ke dalam tulisan yang kita tulis.
Berkembangnya zaman,
meluasnya berbagai informasi pengetahuan dan pengalaman bergaul membuat saya
sedikit banyaknya,
mengetahui banyak hal yang sebelumnya
tidak saya ketahui. Sebagai anak yang tinggal
di perkampungan dan di lingkungan petani, kami …. saya khususnya … hanya mengetahui kalau cita-cita
itu seputar menjadi
guru, dokter, polisi, dan profesi lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan
yang sering kami lihat. Tapi ternyata cita-cita tak sebatas itu, yang membuat
saya terkagum-kagum dan penasaran ada sebuah profesi yang baru saya dengar
yaitu menjadi seorang penulis, jurnalis atau apa pun itu sebutannya yang
berhubungan dengan kegiatan tulis menulis.
Rasa keingintahuan saya
tentang profesi sebagai penulis/jurnalis … akhirnya terbayarkan saat saya
memasuki dunia perkuliahan. Entah ini namanya kebetulan atau apa pun itu di
awal perkuliahan/masa-masa OSPEK saya diperkenalkan dengan sebuah Unit Kegitan
Mahasiswa (UKM) yang bernama Fatsoen,
yaitu UKM yang membahas segala tentang jurnalis dan dunia tulis menulis.
Tiba-tiba saja, saya
merasa bahwa ada harapan dan bahkan mungkin ada cita-cita baru yang muncul dalam
benak saya. Pada saat itu juga
saya
bercita-cita ingin menjadi seorang jurnalis dan penulis.
Eits, ... tunggu dulu, seiring berjalannya waktu, saya
memang semakin suka dengan dunia tulis menulis. Hobi saya membaca dan menulis
semakin menjadi. Dengan ikut UKM tersebut saya getol untuk menulis berita, opini,
resensi, cerpen atau tulisan lainnya yang
bisa dimuat di media UKM tersebut.
Ssaat
itu ada koran kampus bernama “Methoda”. Sejalan dengan itu entah kenapa
cita-cita saya untuk menjadi seorang guru tidak pernah terlupakan. Selain memang
pada saat itu saya sedang menempuh perkuliahan Tarbiyah dan Ilmu pendidikan, tepatnya jurusan
Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan Agama Islam (T-PAI) di Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Syekh Nurjati Cirebon.
Dalam benak saya saat itu, saya ini kuliah di
bidang pendidikan guru tetapi kegiatan saya di luar kuliah saya, tulis menulis dan berkutat dalam
dunia jurnalisme (yang identik dengan pers). Apakah tidak akan bertolak
belakang? Jadi guru itu mulia, saya juga suka. Tetapi jadi penulis juga keren,
terkenal, saya pun suka. Lantas apa yang saya pilih?
Suatu ketika saya
pernah mendengar ucapan seorang penulis dalam sebuah acara infotainment di
salah satu stasiun televisi katanya begini: “Menjadi seorang penulis itu, bukan saja sebagai profesi. Karena
profesi apa pun seseorang tidak menjadi hambatan untuk bisa jadi penulis.
Dokter misalnya, ketika dia sedang tidak praktik maka dapat menyempatkan
waktunya itu untuk menulis, menulis pengalamannya menjalani praktik dokter dan
lain sebagainya. Begitu pun dengan profesi lainnya. Makanya siapa pun orangnya,
apa pun profesi atau pekerjaannya, dia dapat pula menjadi seorang penulis.”
Lalu bagaimana dengan
profesi guru? Dokter saja yang berkutatnya dengan alat-alat medis bisa punya
kesempatan menjadi penulis. Apalagi dengan guru yang setiap harinya berkutat
dengan buku dan pena, dua alat manual yang digunakan untuk menulis. Lalu apa
yang bisa ditulis
guru? Banyak sekali.
Secara awam mungkin pekerjaan menulis bagi guru, hanya seputar mengabsen dan
menilai ulangan siswa. Setelah
memasuki
dunia perkuliahan ternyata
saya ketahui bahwa banyak juga kegiatan tulis menulis yang
dilakukan seorang guru.
Diantaranya menyusun
administrasi pendidikan,
mulai
dari merinci pekan efektif, menyusun Program Tahunan (Prota), Program Semester
(Prosem), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan masih banyak lainnya.
Kesemua admnitrasi itu kalau kita telaah
dan kita pahami sebenarnya membuat administrasi pendidikan sama saja seperti
membuat skenario pendidikan, dengan membuat administrasi pendidikan kita
(sebagai seorang guru) bisa mengatur jalannya pendidikan supaya lebih terarah.
Kegiatan pembelajaran pun bisa lebih kreatif dan inovatif.
Salah satu tokoh
pendidikan yang menyebut administrasi pendidikan sebagai skenario pendidikan
adalah Bapak Munif Chatib. Dan tidak dipungkiri bahwa bekal saya untuk
menjadi guru salah satunya adalah dari karya buku beliau yang judulnya pun beda
dari buku-buku lainnya seperti,
buku Sekolahnya Manusia, Gurunya Manusia, Sekolah Anak-anak Juara, serta buku-buku beliau dengan
berbagai judul “Quantum”nya.
Pendidikan itu
memanusiakan manusia, begitu Pak Munif menuliskan dalam salah satu bukunya.
Bahwa mendidik itu harus dengan hati, objek yang kita hadapi adalah makhluk
bernyawa maka sudah sewajarnya memperlakukan peserta didik layaknya makhluk
hidup yang dinamis dan beragam. Pendidikan pun tidak kaku, tapi luwes namun
tetap terarah. Hal inilah yang membuat saya mencoba menjadi Gurunya Manusia.
Tahun 2012, saat saya
masih duduk di bangku perkuliahan semester 4 saya mendapatkan kesempatan
mengajar di salah satu DTA di daerah Cirebon yaitu di DTA Al-Aziz Cipeujeuh
Kulon Kabupatrn Cirebon. Tempatnya lumayan jauh dari kampus dan kos tempat saya
tinggal, jadi saat itu ketika ada jadwal mengajar saya selalu menginap di
tempat saudara saya yang memang dekat dengan sekolah tempat saya ngajar. Mulai dari situ saya mencoba
mempraktikkan apa yang saya tahu tentang pendidikan dari materi perkuliahan
sampai buku-buku yang pernah saya baca, terutama bukunya Pak Munif Chatib.
Dalam mengajar saya
ingin menciptakan suasana yang menyenangkan dan berkualitas. Tidak ada lagi
siswa yang “takut atau sungkan” kepada gurunya. Karena jika guru sebagai
panutan “ditakuti” maka saya pastikan tidak akan ada komunikasi yang baik antar
guru dan siswa, pembelajaran pun tidak akan efektif. Dan salah satu hal yang
penting dalam diri seorang guru yaitu tidak pernah memandang siswa-siswinya itu
bodoh. Karena setiap siswa itu berbeda, setiap mereka adalah istimewa. Seorang
guru harus paham dengan sebutan Multiple
Intellegent (kecerdasan yang beragam). Dan terlebih bahwa tujuan pendidikan
bukan hanya tentang tingkat nilai pengetahuan, tetapi lebih dari itu kita harus
mampu mendidik peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional dan
spiritualnya.
Entah kebetulan atau
tidak, selama pengalaman mengajar dalam satu kelas ada saja satu atau beberapa
siswa yang memang harus ditangani khusus, baik dalam segi pengetahuan ataupun
emosionalnya. Dan jika kita telaah dengan baik-baik, anak-anak yang kurang dalam
pendidikan atau bisa dikatakan tertinggal dari teman-teman lainnya itu banyak
dipengaruhi beberapa faktor, terutama faktor lingkungan, baik di keluarga atau masyarakat atau lingkungan terdekatnya.
Sebagai seorang
pengajar dan mahasiswa,
saya sadar dalam persiapan mengajar guru harus menyiapkan administrasi
pembelajaran.
Salah
satunya yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Saat itu saya belum
mendapatkan contoh RPP untuk DTA atau sederajat, tetapi berbekal mata kuliah
yang memang pada semester itu sedang
adanya mata kuliah “Pengembangan Kurikulum”, sedikitnya saya mengetahui
contoh RPP secara umum. RPP yang saya buat pada saat itu saya sesuaikan saja
dengan keadaan sekolah. Dan yang menjadi acuan buat saya adalah bahwa dalam RPP
itu harus ada skenario pembelajaran. Dimana dalam RPP, , umum ditulis sebagai langkah-langkah
pembelajaran … yang
jelas.
Selain administrasi
formal yang harus saya buat sebagai laporan program kerja saya ke pihak sekolah, saya pun membuat skenario
pembelajaran untuk pegangan pribadi saya. Dalam skenario tersebut saya membuat
format seperti daftar nama siswa, identifikasi kecerdasan siswa, moment spesial yang terjadi saat
pembelajaran dan pengalaman-pengalaman mengajar saya yang perlu saya catat
sebagai bahan pembelajaran sendiri guna mengenal karakteristik masing-masing
peserta didik.
Kesemua administrasi
tersebut tetap saya buat sampai saya mengajar di SMP IT Mutiara Irsyady
Pekandangan Jaya Indramayu. Saya masuk pada tahun ajaran 2015/2016. Selain
sebagai guru Mata Pelajaran PAI (mata pelajaran pokok) saya juga mendapat tugas
mengajar pelajaran mulok yaitu pelajaran Qur’an. Tidak hanya itu, saya juga
mendapat kepercayaan untuk menjadi wali kelas di kelas siswa baru yaitu di
kelas 7B. Dengan berbagai tugas yang saya emban ini membuat saya lebih
bersiap-siap untuk menyiapkan segala sesuatunya. Sebagai guru mulok saya
berusaha menyesuaikan administrasi pembelajaran dengan materi yang akan disampaikan pada siswa jenjang SMP yang
kiranya materi itu tidak akan membosankan untuk disampaikan tanpa mengurangi
esensi dari mata pelajaran tersebut.
Sebagai wali kelas, ini kesempatan saya untuk belajar
mengembangkan kembali administrasi pembelajaran pribadi saya seperti yang telah
disebut di atas. Saya mulai mengaplikasikan
format-format tersebut di kelas 7B sehingga sebagai wali kelas saya
ingin benar-benar memahami karakteristik mereka. Dan untuk format identifikasi
kecerdasan siswa saya pergunakan untuk masing-masing peserta didik yang
saja ajar. Hal ini bertujuan agar saya
mampu memahami gaya belajar siswa yang berbeda-beda. Diharapkan jika peserta
didik diajarkan dengan gaya belajar sesuai karakter mereka akan menghasilkan
peserta didik yang berkualitas, yang tidak hanya cerdas secara intelektual
tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual terlebih saya sendiri sebagai guru agama yang sedikit banyaknya
harusmampu menjaga akhlak para peserta didiknya.
Dengan mengenal dan
memahami karakter siswa maka dengan sendirinya kita sebagai guru akan merasa
dekat dengan siswa kita tetapi tetap pada batasannya. Dengan seperti ini maka
siswa akan betah di sekolah dan label “orang
tua ke-dua”yang disematkan kepada guru untuk siswanya benar-benar akan
terwujud. Siswa akan dengan mudah mencurahkan isi hatinya kepada gurunya
terutama jika ada permasalahan di sekolah sehingga guru akan dengan mudah
mengetahui masalah siswa dan bisa bersama-sama menyelesaikan masalah tersebut.
Hal tersebut yang saya rasakan dari beberapa murid saya, mereka dengan terbuka
dan tidak senggan menceritakan apa yang mereka rasakan di sekolah. Dan tidak
hanya itu, dari mereka bahkan selalu cerita tentang masalah pribadinya, dan
bahkan keluarganya. Sebenarnya ini sangat membantu kita sebagai guru untuk
mengetahui latar belakang keluarga dari siswa-siswi kita (tanpa harus
mencampuri urusan keluarga lebih jauh, hanya sebatas membantu sesuai dengan
porsinya). Sedikit banyaknya hasil belajar siswa juga dipengaruhi karena latar
belakang keluarga dan lingkungannya.
Dari pengalaman sering
mendengarkan cerita siswa, maka jika ada masalah pada siswa saya tidak sungkan
untuk menghubungi orang tua mereka untuk sekedar konsultasi atau berkunjung ke rumah ataupun homevisit. Dan Alhamdulillah
selama 3 tahun menjadi wali kelas pada anak yang sama, saya bisa mengenal
keluarga dan orang tua mereka. Bahkan karena mungkin usia saya yang terbilang
masih muda ada juga orang tua siswa yang
menganggap saya seperti anaknya. Namun tetap kita sebagai guru harus
profesional dalam menjalankan tugas sebagai guru.
Pelajaran yang bisa
saya ambil dengan banyak berkomunikasi dengan siswa-siwi, orang tua siswa,
rekan kerja dan bahkan elemen sekolah lainnya seperti para pedagang di sekolah
membuat saya banyak tahu informasi. Menjadi pendengar untuk celotehan mereka membuat saya mencoba
memahami berbagai karakter orang. Membuat saya belajar banyak hal dan
bahwasanya saya harus tetap rendah diri supaya bisa membumi dengan yang lainnya. Dengan banyak mendengar dan melihat, kita akan banyak belajar Dengan banyak menulis, kita berharap tulisan kita bisa
bermanfaat untuk khalayak banyak (semoga-Insya Allah).
Penyunting
: Lilis Yuningsih
Biodata Penulis
Utiyah, lahir di
Indramayu pada tanggal 16 bulan Agustus tahun 1991 saat ini aktif mengajar di salah satu Sekolah
Mengengah Pertama (SMP) swasta di Indramayu, tepatnya di SMP IT Mutiara Irsyady
Pekandangan Jaya Indramayu.
Yaitu
sebagai guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Pendidikan terakhir, penulis tempuh di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon dan lulus pada Oktober 2014.
Selama kuliah, penulis berkesempatan untuk
mengajar di beberapa TK/TKQ/MDTA di Cirebon. Dan setelah lulus kuliah tidak
langsung bekerja sebagai guru. Satu bulan setelah kelulusannya sebagai sarjana pendidikan penulis mendapat tawaran
bekerja menjadi wartawan/reporter di salah satu redaksi majalah lokal di
Cirebon yaitu di kantor redaksi Majalah Qalby
(sekarang bernama Majalah Kirana),
majalah yang bertemakan tentang perempuan dan keluarga. Tawaran ini penulis terima karena memang
secara pribadi, penulis
menyukai dunia jurnalis dan tulis menulis.
Saat sekolahnya mengikuti program WJLRC, Literasi Jabar, penulis yang
diberi tanggung jawab sebagai penanggung Jawab program GLS di sekolah tempatnya
mengajar, berhasil membawa dua orang siswa SMP IT Mutiara Irsyady menembus
Jambore Literasi pada tahun 2017. Penulis juga termasuk guru pendamping yang
berhasil lulus menjawab tantangan menyelesaikan membaca sepuluh buku dalam
sepuluh bulan, sebagai salahsatu program WJLRC.
0 Response to "I’M TEACHER, I’M WRITER"
Post a Comment