Matur Kesuwun, Pak Edy
Oleh Komariah
Hati ini berbunga-bunga begitu mendengar kabar ada guru baru untuk
kelas kami. Maklum, sampai dengan memasuki catur wulan kedua, kami belum
mempunyai guru kelas tetap. Selama waktu itu pula kami merasa nelangsa
karena diduakan. Sering pula harus memandangi guru pengajar kami dengan penuh
belas lantaran tampak kelelahan harus mengajar juga di kelas sebelah. Atau,
sempat pula merasa di-PHP karena pernah berganti-ganti guru setiap harinya.
Kondisi ini cukup membuat pusing tujuh keliling karena pelajaran yang kami
terima terkadang tidak nyambung dengan materi sebelumnya.
Tanpa komando, setengah berlari kami menuju ruang guru dan tentu
saja dengan tujuan yang sama. Ngintip bareng!
“Keren ga orangnya?
tanyaku penasaran.
“Sebentar! belum begitu jelas, nih!” suara Uun nyaris tak
terdengar, tenggelam di tengah kerumunan, “kumisnya tipis, hitam manis,
rambutnya agak gondrong,” lanjutnya.
“Gantengan mana sama Oma
Irama?”
“Gantengan Oma Irama, lah!”
jawab Uun mantap.
Aku hanya bisa membayangkan. Uun yang bertubuh besar itu sama
sekali tak memberiku kesempatan melihat langsung. Lebar jendela ruang guru
sepertinya tak mampu menampung teman-teman sekelas untuk keperluan yang sama.
Kekecewaanku tak berlangsung lama. Tepat setelah lonceng berbunyi,
laki-laki yang lagi jadi tranding topic itu memasuki kelas. Seketika
ruang kelas menjadi hening. Semua murid duduk di posisinya masing-masing. Tak
terkecuali Jahroni, yang biasanya hilir mudik mirip setrikaan itu kini duduk
siap lengkap dengan posisi lengan terlipat di atas meja. Ah, aku
bersyukur sekali. Semoga hari ini dan seterusnya monster itu tak lagi mendekat,
menatap dengan mata orang dewasa, lalu mencubit pipiku lagi.
“Nama Bapak, Edi Kusnaedi.”
Itu adalah kata-kata pertama yang dia ucapkan setelah salam.
Tangannya menuliskan dua deret huruf di papan tulis. Dugaanku, yang ia tulis
itu adalah namanya, seperti yang baru saja diucapkannya. Dugaan? Ya, itu hanya
dugaan. Sebab, aku dan sebagian besar murid lainnya baru mampu mengenal dan
hafal huruf-huruf tanpa mampu membunyikannya sebagai kata, kalimat, dan
seterusnya.
Tak lama kemudian dengan cekatan Pak Edi menulis partitur not
angka sebuah lagu. Di bawah setiap baris not dituliskan deretan huruf yang
masing-masing terdiri dari dua sampai tiga huruf. Kembali aku menduga,
huruf-huruf itu adalah lirik lagunya.
Selesai menulis, Pak Edi bertanya apakah ada yang sudah bisa
menyanyikan lagu itu. Tak ada jawaban, kami hanya membisu. Kelas pun kembali
hening.
“Baiklah, kalau begitu Bapak akan menyanyikannya terlebih
dahulu.”
Pak Edi pun mulai bernyanyi. Hanya dalam hitungan detik mulut kami
yang semula mengatup perlahan mulai membuka, lalu menganga. Kali ini kami bukan
lagi membisu, tapi sudah benar-benar mematung. Oh, suara itu begitu
memukau!
“Sekarang ikuti, Bapak, ya!” ajak Pak Edi penuh semangat.
Kami pun menirukan Pak Edi melagukan notasi lagu. Sol sol mi fa
mi re do …. Ternyata, lagu itu tak terlalu sulit dinyanyikan.
Kebekuan lambat laun mulai mencair. Pak Edi mampu mengubah kelas mati itu
menjadi kelas pelangi.
Namun, hal itu tak berlangsung lama. Suasana ceria itu kembali
kelabu. Saat Pak Edi mengajak mengeja lirik lagu itu, kami semua terdiam.
Jangankan menggerakkan bibir, menatapnya pun aku tak berani. Dari sudut mataku
kulihat wajah Pak Edi berubah muram. Kini posisi kami terbalik, Pak Edilah yang
membatu.
“Kalian belum bisa baca?” tanya Pak Edi setelah helaan nafas
panjangnya. Dengan perlahan berjalan ke arahku kemudian menatapku dan mengulang
pertanyaan tadi, “kamu belum bisa baca?”
Sesaat aku terdiam, lalu kujawab, “Ya.”
Kelas hening kembali.
“Baiklah, kalau begitu kita belajar membaca sambil menyanyi.
Kalian setuju?”
“Setuju!” jawab kami
serentak.
Pak Edi mengenalkan bunyi huruf-huruf dalam lirik lagu itu.
Setelah itu menggabungkan bunyi huruf yang satu dengan bunyi huruf berikutnya.
Kami sama sekali tidak merasa kesulitan karena sebenarnya sebagian besar sudah
mengenal dan hafal alfabet.
“Besok kita lanjutkan belajar bacanya, ya!”
“Hore!”
***
“Simak baik-baik lagu ini! Resapi! Setelah itu, ceritakan kembali
isi lirik lagu dengan kalimatmu sendiri! Tulis jawabanmu pada LKS!”
Hening. Hanya alunan Bunda lewat vokal Melly Goeslaw yang
terdengar.
Kesungguhan mereka membuatku terharu. Satu per satu setiap
kelompok memaparkan hasil diskusinya. Kegiatan dilanjutkan dengan pemodelan
membuat naskah drama. Setiap kelompok merumuskan ide cerita berdasarkan isi
lirik lagu yang mereka simak. Berdasarkan ide cerita, mereka pun menyusun
kerangka cerita yang sudah mereka rumuskan. Sebelum mengakhiri kegiatan,
kuberikan tugas untuk berlatih mengembangkan kerangka cerita yang sudah disusun
menjadi sebuah naskah drama. Tak lupa pula aku meminta mereka mempelajari
struktur teks drama yang pernah mereka pelajari pada pertemuan sebelumnya.
Kegiatan pembelajaran terus bergulir tak terasa. Mereka ikuti
setiap instruksi dengan suka cita. Kembali aku terharu dibuatnya. Rasa sesalku
tiba-tiba menyeruak. Sehari sebelumnya mereka harus menyaksikan
ketidakberdayaanku di depan kelas. Jadilah mereka kena semprot kesalku.
Penyebabnya, selama pembelajaran mereka tidak mengikuti intruksiku. Suasana
gaduh tak terkendali. Akibatnya, jawaban pada LKS mereka pun ngaco.
Materi yang seharusnya menarik dan keren itu, mereka tanggapi dengan cuek.
Aku benar-benar mati gaya.
Satu pekan berlalu. Setumpuk kertas ku keluarkan dari dalam tas.
Tak sabar rasanya ingin segera membaca karya mereka. Satu per satu kubaca.
Semalam penuh mereka telah mengaduk-aduk perasaanku, mulai dari kesedihan yang
mengharu-biru, keindahan yang membuat kuterlena, jenaka yang menerbitkan gelak
tawa, bahkan tak sedikit yang miskin rasa. Kuhargai karya mereka dengan bubuhan
nilai dan tanda tangan dilengkapi ucapan semangat. Karya mereka benar-benar
telah mengobati rasa kecewa dan melenyapkan payahku.
***
Satu momen penting pun terjadi. Di studio TVRI namaku disebut
sebagai Pemenang 1 Lomba Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional
Tahun 2007 Kategori Guru SMP dengan karya berjudul Penerapan Pembelajaran
Menyusun Naskah Drama Berdasarkan Lirik Lagu Populer. Pak Menteri
menyerahkan piagam penghargaan dan ucapan selamat. Entahlah, tak banyak yang
aku rasakan selain rasa syukur dan dinginnya AC.
Sesi foto pun tiba. Pemenang lain dalam berbagai kategori berjejer
rapi mengapit Pak Menteri. Blitz kamera bergantian menerpa wajah kami.
Cukup menyilaukan, aku tak bisa lagi melihat dengan jelas deretan penonton di
depan. Namun, di balik samar itu aku bisa melihat dengan jelas wajah seorang
laki-laki. Dia berkumis tipis, hitam manis, agak gondrong dan tak sekeren Rhoma
Irama. Ya, Pak Edi! Guruku terkasih, sumber mata air inspirasiku.
Perasaanku yang semula biasa itu seketika meledak-ledak tak terkendali.
Pandanganku bias, dipenuhi air mata.
Aku hanya bisa ucapkan terima kasih terdalamku dari kejauhan.
“Matur kesuwun, Pak Edi.”
Komariah lahir di Indramayu dan menghabiskan
hampir seluruh masa studinya di Indramayu pula. Tak sempat menjadi anak
kuliahan luar kota karena saat itu ingin sekali menunggui sang Mimi di
hari-hari terakhirnya.
Melalui sang Mimi, sejak SD sudah merasakan asyiknya
membaca. Selain bacaan anak-anak, majalah ibu-ibu, seperti Kartini dan
Femina menjadi menu bacaannya. Bahkan, sempat sembunyi-sembunyi membaca
novelnya ibu-ibu pula, seperti karya Marga T., La Rose, Ike Soepomo, dan
lain-lain.
Belum banyak kiprahnya di bidang menulis. Namun, sempat mengadu
keberuntungan di beberapa ajang lomba menulis bidang pendidkan. Prestasi kecil
buah adu keberuntungan itu adalah Pemenang I Lomba Keberhasilan Guru dalam
Pembelajaran Tingkat Nasional Tahun 2007 lewat karya Penerapan Pembelajaran
Menyusun Naskah Drama Berdasarkan Lirik Lagu Populer; Finalis Lomba
Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran Tingkat Nasional Tahun 2008 lewat karya Peningkatan
Kemampuan Menyampaikan Laporan Perjalanan Secara Lisan dengan ‘Presvi Lo’;
Pemenang II Perlombaan Inovasi Pembelajaran Tingkat Nasional Tahun 2015 lewat
karya Penggunaan Media ‘Suguhkan Semangkuk Keihlasan di Bulan Ramadan’ dalam
Pembelajaran Menulis Cerpen Bertolak dari Peristiwa yang Pernah Dialami;
dan menjadi salah satu Sepuluh Pemenang Sayembara Penulisan Karya Ilmiah
Kebahasaan dan Kesastraan Tingkat Nasional Tahun 2016 lewat karya berjudul Nilai
Karakter dalam Cerita Rakyat Indramayu ‘Makam Selawe’ serta Pengembangannya
Sebagai Bahan Ajar Apresiasi Sastra yang Berbasis Pendidikan Karakter.
0 Response to "Matur Kesuwun, Pak Edy"
Post a Comment