Oleh-Oleh Home Visit
Oleh Lilis Yuningsih
Ini adalah pengalaman saya saat mendapat amanah
menjadi kepala SMP IT Mutiara Irsyady, di Desa Pekandangan Jaya, Kecamatan
Indramayu, Kabupaten
Indramayu. Sebagai kepala sekolah, selama dua tahun setengah saya tinggal di sebelah asrama putri, rumah dinas
yang disediakan oleh pihak yayasan. Rumah dinas kepala sekolah posisinya
menempel dengan asrama putrid hanya beda teras. Sengaja agar pada kegiatan
tertentu kepala sekolah bisa membaur. Seperti sholat berjamaah saat shubuh,
serta magribh sampai isya. Sementara para siswa sebelum shubuh mereka dibimbing
shalat tahajud oleh ustadzah penanggung jawab asrama putri.
Pagi ini selepas sholat subuh berjamaah dan berdo’a
bersama di asrama putri, seperti biasa kami tilawah, dzikir dan membaca
sholawat. Setelah itu kembali kami membahas tentang kepulangan Juliana ke
rumahnya. Sudah tiga hari dia belum kembali ke asrama putri ini lagi, tempat
kami biasanya bernaung bersama.
Keberadaan Juliana yang biasa kami panggil Anah, di asrama putri ini,
atas biaya seorang kepala desa Rawa Dalem, desa tempat keluarganya tinggal. Dia
siswa kelas VII, baru dua bulan menjadi siswa di sekolah kami dan mondok di
asrama. Orang tuanya serta neneknya, sudah tiada, selama ini Anah biasa tinggal
dengan adik dari neneknya. Walaupun punya kakak tiga orang, namun dua orang diantaranya
laki-laki sudah berkeluarga dan punya anak. Demikian pula kakak perempuannya,
sudah berkeluarga dan menjadi pekerja migran di negara tetangga. Mereka sudah
mempunya kerepotan sendiri dengan keluarga kecilnya masing-masing.
Sekolah kami, dibawah naungan Yayasan Pendidikan Islam
Mutiara Irsyady, menyelenggarakan pendidikan Islam Terpadu mulai tingkat TK
(RA), SD IT, SMP IT, dan SMK IT. Menyediakan asrama putra dan putri untuk siswa
SMP, kapasitas asrama putri dan asrama putra sama, yaitu untuk 30 orang. Berhubung kami masih memiliki keterbatasan
tempat untuk berasrama, maka siswa yang berasrama hanya kelas VII dan VIII
saja. Selebihnya, siswa kami yang lain, kami layani dengan sekolah full day,
yaitu sekolah sampai dengan ba’da ashar saja. Setelah selesai sholat ashar berjamaah, siswa yang tidak berasrama
pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan yang tinggal di asrama, istirahat
sejenak kemudian melanjutkan tadarus Al-Qur’an, puji-pujian dan membaca Asmaul
Husna dibawah bimbingan ustadz atau ustadzah.
Hari itu di sekolah, dengan walikelas Anah, kami
diskusi membicarakan rencana home visit, atau mengunjungi rumahnya Anah. Untuk
mengetahui apa gerangan yang menyebabkan Anah pulang dan tidak datang kembali
ke asrama putri. Singkat cerita, saya
dan wali kelas berangkat ke alamat yang kami peroleh dari wali kelas
maupun buku induk yang dipegang tenaga kependidikan bagian kesiswaan. Alamatnya
di Desa Rawa Dalem, Kecamatan Balongan. Jaraknya kurang lebih 3,8 Km dari
komplek sekolah. Tidak terlalu sulit mencari alamat rumah Anah. Kami berhasil
menemuinya di rumah adik dari neneknya. Tempat selama ini dia tinggal sebelum
tinggal di asrama putri. Neneknya Nampak tidak terlalu antusias menyambut
kedatangan kami, setelah tau kami adalah dari pihak sekolah cucu keponakannya.
Menurutnya sudah sering Anah, berulah seperti itu. Sebelum bersekolah di tempat
kami pun dia seringkali harus disusul oleh pihak sekolahnya, agar dia mau
sekolah. Sampai Anah memutuskan berhenti sekolah dan ingin kerja saja. Kami
pikir neneknya ini mungkin sudah mulai cape mengurus cucu keponakannya itu.
Saya mencoba membujuk Anah dengan berbagai cara, agar
bersedia untuk kembali ke asrama putri dan melanjutkan sekolah. Saya bayangkan,
mau bekerja apa anak seumuran dia yang baru tahun kedua meninggalkan sekolah
dasar. Tahun lalu dia sekolah di sekolah swasta yang ada di desanya, namun
mogok karena ketiadaan biaya. Kepala desanya yang merasa prihatin akan nasib
Anah ini, bersedia membantu pembiaayaan sekolahnya dengan syarat bersedia
tinggal di asrama, agar terpantau. Kebetulan kepala desanya ini teman dari
ketua yayasan sekolah kami.
Setelah saya tanya, apa yang menyebabkan dia tidak
kerasan tinggal di asrama putri, katanya dia tidak tahan berada di asrama yang
penuh aturan. Bangun pagi harus jam 3, kemudian tahajud dan ibadah lain-lainnya
sampai selesai Shubuh. Selain itu juga, dia suka sedih jika teman-temannya
sebulan sekali ada yang menengok, sedangkan dia? Sama sekali tidak pernah ada
yang menengok, karena kakak-kakaknya sudah cukup repot dengan keluarganya
masing-masining. Dia merasa sebatangkara dan merasa sering dilanda kesunyian di tengah keramaian. Kalau dirumah
neneknya ini, dia bebas untuk bergaul dan bermain dengan banyak teman-temannya
di desanya itu. Namun justru itulah yang kami khawatirkan. Karena bisa
dibayangkan bagaimana jadinya apabila Anah dibiarkan bebas tanpa bersekolah.
Berjam-jam saya berada di rumah neneknya Anah, saya
lihat neneknya acuh tidak acuh akan keberadaan kami. Melihat hal ini, saya
semakin tidak tega membiarkan Anah berada dalam asuhannya. Saya beri gambaran
pada Anah, akan pentingnya pendidikan untuk bekal masa depannya. Mumpung dia ada
yang membiayai dan menjamin, paling tidak sampai selesai SMP. Alhamdulillah,
saat kami masih sibuk membujuknya, datanglah istri dari kakaknya Anah. Dia juga
menyampaikan permasalahan menghadapi adik iparnya ini. Dia ikut membujuk Anah,
setelah saya bujuk dengan memberinya uang mungkin dia butuhkan untuk membeli keperluan-keperluan
kecil untuk di asrama nanti. Nampak hatinya mulai luluh dan dia menyatakan
untuk bersedia kembali ke asrama. Namun tidak bareng dengan kami melainkan
nanti menyusul minta dianter kakaknya. Saya fikir logis juga, anak seumuran dia
walaupun badannya termasuk bongsor, tetap saja sesekali mungkin dia ingin
aleman pada kakaknya. Akhirnya kami pamitan pada nenek dan kakak ipar Anah.
Kakak ipar Anah berjanji akan mengantarkan Anah untuk kembali ke asrama putri.
Di perjalanan menuju sekolah kembali, guru yang
merupakan wali kelas Anah yang menemani saya home visit menyampaikan
pendapatnya. Bahwa menurut dia saya agak berlebihan membujuk Anah untuk kembali
sekolah di sekolah kami dan tinggal di asrama putrid. Seolah-olah kita sangat butuh
siswa . Sekolah seperti membeli-beli agar siswa mau kembali sekolah.
Saya maklum akan pendapatnya itu, sebab dia masih muda dengan segala
keterbatasan pemikirannya. Saya sebagai kepala sekolah dan pimpinan lembaga,
memang punya kepentingan agar sekolah mempunyai siswa sebanyak-banyaknya. Dan
ketika ada siswa yang nampaknya akan meninggalkan sekolah begitu saja, tentu
saja harus ada upaya untuk mempertahankan. Namun kali ini akan halnya Anah,
saya lebih melihatnya sebagai sosok yang rentan dari ancaman dunia luar yang
penuh tipu daya. Entah kenapa saya sangat sedih melihatnya sebatang kara hampir
tiada yang peduli. Makanya saya berusaha keras membujuknya untuk bersedia
kembali ke asrama putrid, agar bisa menyelamatkan masa depannya. Setelah
mendengarkan penjelasan saya yang panjang lebar, bu guru muda itu
manggut-manggut tanda memahami maksud saya.
Sesampainya di sekolah, saya segera mengambil air
wudhu untuk melaksanakan sholat dzuhur di ruangan saya. Entah mengapa dada ini
terasa sesak dengan kesedihan yang mendalam memikirkan Anah. Selesai sholat tak
terbendung lagi air mata ini, tak terasa bahu saya terguncang-guncang menahan
tangis. Entahlah banyak sudah saya temui masalah siswa kami yang serupa ini,
korban perceraian, para ibu menjadi TKW dan sejenis itu. Namun kali ini
berbeda, persoalan Anah sangat mengharu biru saya. Mungkin mengingat Anah
adalah yatim piatu dan nyaris sebatang kara, entahlah.
Sore hari yang kami tunggu dengan sedikit harap-harap cemas,
akhirnya datang juga. Anah diantar dua pasang kakaknya, kakak kandung dengan
para istrinya dan anak-anaknya datang dengan wajah sumringah. Alhamdulillah
kembali juga akhirnya Juliana, remaja bongsor yang sempat ingi bekerja saja,
daripada sekolah. Kami menyambutnya dengan suka cita, karena walaupun dia baru
bergabung dua bulan sebagai siswa baru, kami sudah menganggap dia menjadi
bagian kami.
Saat saya pindah tugas dan menjadi kepala SMPN Satap 1
Lelea, saya titipkan dia pada teman-temannya dan para ustadzah. Alhamdulillah
dia sekolah SMP sampai selesai . Hanya setelah lulus SMP dia pulang ke rumahnya
dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Semoga ada jalan untuk bisa
membantu dia melanjutkan pendidikannya ke jenjang berikutnya. Aamiin Yaa Robbal
‘Aalamin.
Tentang Penulis:
Lilis Yuningsih, Kepala
SMPN Satap 1 Lelea, kecamatan Lelea, kabupaten Indramayu ini lahir di
Tasikmalaya, 26 Desember 1963. Pernah mengajar Matematika, Biologi dan bahasa
Sunda di SMPN 1 Cikedung Indramayu selama tiga tahun kemudian pindah tugas SMPN
2 Sindang Indramayu selama 24 tahun. Mendapat tugas menjadi kepala sekolah DPK
di SMP IT Mutiara Irsyady Pekandangan Jaya Indramayu selama dua setengah tahun.
Hobbynya menulis disalurkannya dengan menulis catatan di facebook dengan akun
Lidip Wachyu Dinatapura dan Deep Yudha. Juga di blognya
deepyudha.blogspot.co.id yang bertajuk Masih Ada. Selain itu, seminggu sekali
punya jadwal On Air di Radio Cinde FM Indramayu mengasuh acara Obrolan Hati
(Obati).
0 Response to "Oleh-Oleh Home Visit"
Post a Comment