SETULUS HATI SELUAS HARAPAN
Karya: Lintang Belita Maharani*
Drap... drap... drap...
Langkahnya semakin
yakin dengan mimpinya yang terus terbayang di kepala. Satu impian yang dengan
penuh percaya ia pegang erat. Bukan suatu hal yang sepele. Namun, bukan pula
hal mustahil baginya.
Namanya Agra,
seorang remaja yang dengan yakin berusaha keras untuk mewujudkan impiannya.
Walau tanpa dukungan dari siapapun, ia ingin menunjukkan bahwa apa yang ia
perjuangkan, bukanlah hal yang tak mungkin bisa terwujud.
Siang itu, mentari
sedang berada di singgasana tertingginya, tatkala Agra tetap melangkahkan
kakinya dengan penuh percaya diri. Sudah menjadi rutinitasnya melakukan
olahraga fisik di tengah teriknya mentari seperti ini. Ia yakin bahwa untuk
meraih harapan yang tinggi, butuh perjuangan yang berat pula untuk meraihnya.
Dengan napas terengah-engah, ia mulai
menurunkan tempo larinya dan menepi, lalu ia memutuskan untuk berhenti sejenak.
Mentari semakin terik terasa, lantas Agra menyudahi latihannya hari itu. Ia kembali
dengan keringat yang membasahi tubuhnya. Ia tiba di rumahnya dengan langkah
santai, seolah tak ada siapapun di sana. Belum sempat ia mengucap salam selepas
membuka pintu, suara bariton menyambut kedatangannya.
“Masih tetap yakin
pada pendirianmu itu?” suara itu terdengar dari ruang tengah rumahnya. Ayahnya
yang sedang duduk dengan membaca sebuah novel, memalingkan pandangannya menatap
Agra yang tengah terdiam.
Ya, ayahnya memang
tak pernah setuju dengan apa yang menjadi impian Agra. Entah dengan alasan apa beliau
terang-terangan tidak menundukung Agra dalam meraih mimpinya itu. Itulah yang
membuat hubungan mereka tak begitu dekat. Sebab, Agra merasa bahwa sang ayah
tak pernah mengerti apa yang ia inginkan.
“Ayah gak pernah
ngerti apa mau Agra,” jawab Agra singkat. Ia percepat langkahnya menuju
lantai atas, lalu menutup kencang pintu kamarnya. Napasnya berpacu, seakan
menahan amarah yang teramat dalam. Dengan menarik napas dalam-dalam, ia
berusaha menenangkan dirinya. Lalu, Agra beranjak mengambil sebuah kapur dan
mulai menulis pada tembok hitam dikamarnya.
‘APAPUN YANG KAMU LAKUKAN, PASTI AKAN ADA
BALASAN’.
Hanya itu yang bisa
ia lakukan selain mengharapkan dukungan dari orang lain. Memberi motivasi
kepada dirinya sendiri. Ia yakin bahwa apa yang selama ini ia lakukan, bisa
membawanya untuk mewujudkan mimpi besarnya kelak.
----
Pagi itu cuaca tak
sebegitu cerah. Matahari seolah ragu-ragu untuk memancarkan lembut sinarnya. Agra
tiba di sekolah dengan wajah murungnya dan rambut yang tak karuan. Tak terbesit
apapun dari sorot matanya, seolah ia tak sedang memikirkan sesuatu yang berat. Namun,
pagi itu ia melangkahkan kakinya ke ruang binaan konseling.
Agra bukanlah siswa
yang berprestasi luar biasa. Tapi, ia hanyalah siswa biasa yang bahkan tak
jarang mendapat masalah dari beberapa guru karena nilai yang ia dapat.
“Agra, kamu tahu ‘kan,
semester lalu nilai rapor kamu menurun?” ucap guru pembimbing di hadapannya.
“Lantas kenapa di semester ini nilai kamu belum juga ada peningkatan? Ini bisa
mempersulit kamu masuk perguruan tinggi. Kamu sudah kelas tiga. Kamu harus
fokus pada masa depan kamu,” lanjutnya sambil terus memperhatikan angka-angka
yang ada di rapor Agra.
“S-saya... saya gak
mau kuliah, Bu,” Agra menundukkan
kepalanya. Itulah jawaban yang sering kali ia berikan saat diceramahi tentang nilai-nilai
yang ia dapat dan tentang pendidikan selanjutnya. Kuliah memang tidak termasuk dalam
daftar tujuan yang ada di hidup Agra. Akademi Militer adalah tujuan hidupnya.
“Mau masuk mana
kamu? Akmil? Akademi Militer juga butuh kemampuan dalam bidang akademik, Ra.
Dengan nilai kamu yang segini, bisa-bisa kamu malah gak lolos seleksi
masuk Akademi. Bahkan kamu gak memenuhi kriteria sama sekali,” guru pembimbingnya
terus berusaha memberikan pengertian. Lantas memberi surat panggilan orangtua.
“Orangtua saya
dipanggil, Bu?”
Agra kembali ke
ruang kelasnya dengan wajah murungnya. Menaruh tas dan bergegas mengganti
pakaiannya. Seluruh kawan sekelasnya sudah berada di lapangan untuk berolahraga. Namun, bukannya ikut bergabung
dengan kawan yang lain, Agra malah asik dengan latihan pull-up-nya.
Harus rajin-rajin latihan katanya, supaya otot sudah terbiasa sebelum mengikuti
seleksi.
Keinginannya sangat
kuat dalam hal ingin menjadi siswa di Akademi Militer. Cita-citanya sedari
kecil ialah menjadi seorang tentara. Meskipun ia menyadari bahwa dirinya bahkan
tak mendapatkan dukungan dari siapapun, ia tetap berpegang teguh pada
pendiriaannya. Negara ini butuh generasi muda yang dengan tulus ingin berbakti
pada negara.
Esoknya, ia kembali
berlatih di tempat biasa ia melakukan olahraga siang. Ketika sedang
melangkahkan kakinya menuju track jogging, seseorang
menyeimbangkan langkahnya dan berlari di samping Agra. Tak ada dialog antar
mereka pada beberapa putaran awal.
“M-mas, sering olahraga di sini?”
Setelah tiga putaran berlalu, seseorang itu akhirnya membuka percakapan.
“Lumayan sih, Mas,” jawab Agra
singkat.
Seusai melakukan lima putaran lari,
mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan melanjutkan obrolan.
“Oh iya, ngomong-ngomong Mas lagi
persiapan apa nih?” seseorang itu melanjutkan percakapan.
“Saya sih niatnya mau coba ikut
seleksi Akmil, Mas,” jawab Agra singkat.
“Wah, bagus itu, Mas. Kebetulan adik
saya tahun kemarin juga ikut seleksi masuk Akmil,” balasnya, “Saran aja nih mas,
menurut saya gak perlu persiapan yang macem-macem buat ikut seleksi Akmil,
yang penting terbiasa untuk melibatkan hati aja sih dalam berpikir. Karena,
sejauh apapun berpikir, kalau hanya pakai otak pasti akan bertemu dengan jalan
buntu. Tapi, kalau berpikir pakai hati, itu gak akan ada ujungnya,
segala hal yang dilakukan dengan hati yang tulus, pasti akan membuka jalan
menuju sukses.”
Kata-kata orang itu
melesap ke dalam hati dan dibawanya pulang. Sesampainya Agra di rumah, ia
kembali ke kamarnya dan kembali menulis di tembok hitamnya. ‘SETULUS HATI, SELUAS HARAPAN’. Sekarang
ia yakin bahwa apapun yang ia lakukan dengan hati yang tulus akan membawanya
pada luasnya jalan menuju kesuksesan meraih apa yang ia impikan. Nasihat orang
tadi, ada benarnya juga.
“Agra, turun
sebentar... ayah mau bicara!” suara bariton ayah lantang menembus kamar Agra. Tanpa
menjawab, Agra bergegas menghampiri sang Ayah yang sudah menunggu dengan
salinan rapor Agra di hadapannya.
“Sering tidur di
kelas?” tanya sang Ayah yang sebenarnya sudah bisa menebak jawaban dari Agra. Alasannya
seringkali tertidur di kelas adalah karena kelelahan semenjak terbiasa menjalani
olahraga siang. Itu pula yang menyebabkan nilai yang ia dapat tak menunjukkan
peningkatan, kecuali pada pelajaran olahraga.
“Beri Agra
kesempatan buat buktiin kalo apa yang Agra jalanin sekarang bukan hal yang
sia-sia seperti yang ayah pikir,” jawabnya. “Agra gak mungkin bohongin
diri sendiri. Agra bakal berusaha sekuat tenaga buat buktiin kalo Agra bisa
dapet apa yang Agra mau,” lanjutnya. Ayahnya hanya terdiam dan menghela napas
menanggapi jawaban Agra.
---
Hari demi hari
berlalu. Sore itu ditemani semilir angin sejuk yang seakan membawa kabar
bahagia, Agra sibuk berkutat dengan gawainya. Ia sibuk berselancar di dunia
maya. Beberapa minggu yang lalu, Agra berhasil mengikuti tes tahap akhir
seleksi Akademi Militer.
Namun, ada satu hal
yang kini terbayang olehnya. Bagaimana jika ia gagal setelah menjalani
perjalanan dan proses sejauh ini? Tidakkah ada yang akan kecewa? Baru kali ini
hatinya dilanda keraguan yang begitu menyesakkan. Layaknya takut akan terjadi
sesuatu.
Diterimanya
informasi bahwa pengumuman hasil seleksi tahap akhir akan diumumkan malam itu.
Dengan cepat, ia membuka laman web tempat informasi itu akan diumumkan. Ketika
pengumuman telah resmi dikeluarkan, dengan teliti ia mencari namanya di antara
ratusan nama yang tertera disana.
Senyumnya merekah. Tanpa sadar, air mata
mulai menetes membasahi pipinya. Tanda bahagia juga tak kuasa menahan haru
tatkala ia membuka laman pengumuman hasil seleksi Akademi Militer yang ia
ikuti. Jutaan kata syukur ia panjatkan pada Tuhan. Tak lupa, ia berterima kasih
kepada dirinya sendiri yang sudah dengan sungguh-sungguh menjalani apa yang
sudah ia cita-citakan.
Tanpa pikir panjang, ia melangkah
menemui orangtuanya dan memeluk mereka, meminta maaf, dan juga berterima kasih
atas segala hal yang sudah mereka berikan kepadanya. Kali ini, Agra bisa
benar-benar membuktikan bahwa ia mampu mewujudkan cita-cita mulianya, yaitu
mengabdi pada negara.
“Yah, Agra minta
maaf,” suaranya bergetar tak kuasa menahan tangis. Baru kali ini setelah sekian
lama ia kembali memeluk orangtuanya
seerat ini.
“Tak apa, ayah juga
minta maaf sudah meragukan kesungguhan kamu dengan impianmu itu, sekarang kamu
sudah mendapat apa yang kamu inginkan dengan kerja keras kamu sendiri. Jangan
sia-siakan kesempatan yang kamu dapat,” Ayahnya membalas peluknya.
“Terima kasih, Yah,”
ucap Agra.
“Ayah pesan buat
kamu. Lakukan apapun dengan sungguh-sungguh, dengan sebaik-baiknya yang kamu
bisa. Sandingkan logika dengan hati disegala kondisi. Ingat, hati yang tulus akan
membawa kebaikan yang begitu luas untuk dirimu dan orang di sekitarmu.”
---
Waktu berlalu
secepat angin berembus. Tak terasa, hari ini adalah hari kelulusan Agra dari
Akademi Militer. Kebahagiaan tak terbendung setelah menyadari bahwa ini adalah
hasil dari semua kerja keras dan ketulusan hatinya selama ini.
Ia melangkah dengan
berani. Badan tegap dibalut dengan seragam impiannya membuatnya terlihat sangat
gagah. Dengan rangkaian bunga untuk sang Ayah yang digenggamnya erat, ia
melangkah menghampiri sang ayah.
“Mungkin ayah gak
tahu, Agra ngelakuin ini semua supaya ayah bangga. Niat Agra tulus buat ayah
bangga sama Agra,” airmatanya jatuh. “Maaf, dari dulu Agra selalu bikin ayah
marah karena kelakuan Agra di sekolah yang buat ayah gak setuju sama mimpi
Agra. Tapi Agra sekarang udah buktiin kalo Agra bisa, Yah,”
Sejenak Agra
menarik napas panjang, “Agra sudah berhasil, Ayah... sekarang tinggal Agra
menjalaninya.” Ia tersenyum, mengusap pusara sang ayah. “Ayah tenang ya di sana,
Agra bisa kok jaga diri di sini.” Agra menaruh rangkaian bunga itu di pusara
sang ayah. Ia menunduk mendoakan sang ayah yang pergi meninggalkannya tanpa
sempat menghadiri hari kelulusannya.
____________
(Penyunting: Edyar RM)
0 Response to "SETULUS HATI SELUAS HARAPAN"
Post a Comment