PULANG KAMPUNG
Oleh Enang Cuhendi
Lelaki itu nampak seperti sangat kepayahan. Jalannya sedikit
lunglai dan terhuyung-huyung. Baju yang dipakai terlihat kumal. Pun demikian dengan
sepatu tua yang dikenakannya. Ia hempaskan badannya yang kurus di bangku yang tidak
terlalu jauh dariku. Sekarang nampak jelas wajahnya yang kelelahan. Senja itu mentari mulai tergelincir ke peraduannya. hawa panas memang mendera luar biasa, adapun malam biasanya angin bertiup
sedikit kencang dan menghembuskan udara dingin. Inilah kondisi alam yang kata
ahli sedang mengalami anomali cuaca.
Dalam amatanku usia lelaki itu tidak lebih dari 40
tahun. Ya, tidak terlalu jauh dariku. Wajahnya saja yang sedikit lebih tua dari
usianya. Mungkin beban hidup yang berat menjadi penyebabnya. Aku mulai
menerka-nerka.
Terlihat ia membuka tas lusuh yang digendongnya.
Dikeluarkannya botor air minum. Terlihat semburat ekspresi kecewa terpancar dari wajahnya ketika tahu
botol itu sudah tak berisi. Kembali tangannya merogoh ke dalam tas. Kali ini ia
mengeluarkan sebuah wadah berbentuk kotak yang kuduga itu kotak tempat
menyimpan makanan. Untuk kedua kalinya wajah lusuh itu nampak kecewa.
Tak tega aku melihatnya. Lalu aku pun mencoba mendekat
dengan berpindah tempat mendekati lelaki itu. Tak lupa kantong kresek yang
sedari tadi kupegang ikut kupindahkan.
“Assalamualaikum, Pak!” sapaku.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.” Lelaki itu menjawab salamku dengan jawaban
salam yang lengkap. Jawaban ini memberiku keyakinan bahwa lelaki itu tentunya
orang baik dan ngerti agama. Rasullullah memang mengajarkan seperti itu, ketika
ada yang memberi salam maka kita harus menjawabnya dengan yang lebih baik.
Dengan kata lain kita mendoakan yang lebih baik lagi, karena esensi dari salam
dalam Islam adalah doa.
Tanganku mencoba membuka kantong kresekku. Kukeluarkan salah
satu botol air mineral yang tadi kubeli. Kebetulan memang tadi aku beli dua
botol, tadinya satu untukku dan satu lagi untuk istriku. Pikirku biarlah untuk
istri nanti bisa beli lagi, lelaki ini jauh lebih memerlukan.
Hari ini seperti biasa aku dan istri habis olah raga sore.
Istriku pamit ke pasar yang tidak terlalu jauh dari alun-alun untuk belanja
sedikit keperluan dapur, sedangkan aku seperti biasa duduk menunggu di bangku taman
sekitar lapang alun-alun yang sekarang tertata dengan rapi dan asri.
“Bapak perlu ini, silakan ambil, masih baru, kok!”
kataku kepada Lelaki itu sambil menyodorkan botol air mineral yang tadi kuambil
dari tas.
“Oh, ga usah , hatur nuhun. Saya mah kebetulan
tidak haus.” Lelaki itu menolak halus dengan bahasa campuran Indonesia dan
Sunda. Walau ekspresi gembiranya tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Itulah kebiasaan
baik bangsa kita, khususnya orang Sunda yang cenderung banyak basa-basi ketika
menerima tawaran seseorang. Ini bukan menunjukkan kemunafikan, tetapi lebih
pada penerapan etika agar tetap mengedepankan etika dalam hidup.
“Gak apa-apa, Pak. Ya, itung-itung bapak menemani saya
minum, kebetulan saya ada dua. Gak enakan kalau saya minum sendirian,” kataku
sedikit memaksa.
Setelah beberapa kali aku menawarkan akhirnya lelaki
itu pun menerima tawaranku. Ia membuka tutup botol air mineral dan meminumnya.
Hampir setengah botol ia habiskan. Aku tersenyum bahagia.
“Duh, punten, tadi abdi ngabohong. Jujur
saja sebetulnya saya sedang sangat kehausan. “Nuhun, nuhun pisan.”
Aku hanya tersenyum. Ada rasa bahagia bisa mengobati
sedikit haus yang diderita si lelaki itu.
“Saya tadi sudah terlalu cape. Berjalan dari Cileunyi
ke sini,” lanjut lelaki itu menjelaskan sendiri walau aku tak mencoba bertanya.
“Memang kenapa Bapak sampai harus berjalan sejauh itu.”
Aku mulai sedikit membuka obrolan dan memberanikan diri untuk mengorek siapa
sebenarnya lelaki itu.
“Saya aslinya dari kampung. Dari Tasik. Kemarin saya
pergi ke Bandung naik elf. Maksudnya untuk mencari kerja, maklum usum halodo
begini di kampung mah tidak ada kerjaan. Sawah dan kebun mengalami
kekeringan.”
“Saya mencoba mencari kerja ke Bandung. Ternyata benar
dengan modal ijazah SD memang susah mendapatkan pekerjaan. Setiap tempat yang saya
datangi jawabannya selalu sama tidak ada lowongan. Ya, saya sadar di usum
corona begini mah karyawan yang ada juga banyak yang di-PHK,” jelas
Lelaki itu.
“Bapak kan kemarin dari Tasik, semalam tidur di mana?
Ada saudara di Bandung?” tanyaku.
“Oh, wengi saya tidur di emper toko dekat alun-alun
Ujung Berung. Di Bandung saya tidak punya Saudara. Uang yang dibawa pun
terbatas. Bahkan ....” Lelaki itu diam sejenak.
Bahkan apa, Pak?” tanyaku penmasaran.
“Bahkan kini dompet itu pun sudah tidak ada. Mungkin
saat saya tidur, tak sadar jatuh atau ada yang ngambil.” Lelaki itu sedikit
menundukan kepalanya. Sepintas terlihat guratan wajah kecewa dalam dirinya.
“Dari Ujung Berung saya jalan mapay pabrik dan
toko yang ada mudah-mudahan ada bisa yang ngasih kerjaan. Saya tidak
pilih-pilih kerjaan yang penting kerja dan saya tidak ngemis apalagi berbuat
maksiat.”
“Sampai tadi toko-toko yang di depan itu saya masuki,
semua jawabannya sama, ga ada lowongan.” Lanjut lelaki itu sambil menunjuk ke
toko-toko yang ada di seberang tempat kami duduk.
“Terus rencana Bapak sekarang bagaimana,” tanyaku. Tak
lupa aklu minta maaf karena terlalu banyak bertanya, takutnya Lelalki itu kurang
berkenan.
“Sehari ini, setelah agak pulih dari cape, saya
mencoba peruntungan di daerah ini. Siapa tahu ada rezeki buat saya. Kalau gagal
ya, paling pulang kampung sambil mapay ke Limbangan atau Malambong. Bukankah
kita diwenangkan punya keinginan dan berusaha, biar Allah saja yang menentukan hasil
akhirnya,” jawab lelaki itu dengan nada sedikit optimis.
“Rencana nanti mau tidur di mana?” tanyaku.
“Saya bisa tidur di bangku ini kelihatannya enak, atau
nanti pindah di masjid itu.” Jawabnya sambil nunjuk masjid yang ada di sebelah kanan
kami.
“Pak, kalau mau Bapak bisa nginap di rumah kami.
Walaupun sempit, tapi bisalah sekedar untuk tiduran yang penting terhindar dari
dingin.” Ajakku.
“Oh, hatur nuhun, gak usah ngerepotin. Saya sudah
biasa tidur apa adanya. Di sini juga cukup.” Jawab lelaki itu.
Saat asyik ngobrol tetiba istriku datang dan mengajakku
pulang. Aku tak sempat mengenalkan Lelaki itu pada istriku, bahkan aku pun tak
sempat bertanya siapa namanya. Kami pun pamit sambil mendokan Lelaki itu agar
ada dalam lindungan Allah SWT dan diberi kemudahan dalam mencari rezekinya. Tak
lupa sambil salaman aku selipkan selembar uang dua puluh ribuan yang kudapat di
saku celana olah ragaku. Kalau olah raga aku memang jarang membawa dompet,
sekedar cukup untuk ongkos dan beli minum.
***
Semalam udara sangat dingin. Kami pun tidur sampai berselimut
double. Seketika pikiranku teringat pada lelaki yang kutemui kemarin.
Terbayang kalau benar di tidur di bangku taman atau di emper masjid pasti ia
sangat kedinginan. “Ah, yang penting aku sudah mengajak, dianya sendiri yang
tidak mau. Yang penting dia sehat.” Aku mencoba menepis pikiran negatif yang
datang sambil tanganku mencoba mengapai ponselku untuk sekedar melihat chat yang
masuk di WAG.
“Bu, cepat sini!” panggilku sedikit beteriak.
“Ada apa, Pak, histeris gitu?” tanya istriku dengan
kesal karena sedang masak di dapur.
“Lihat foto ini! Ibu kan ingat lelaki yang ngobrol
dengan Bapak kemarin di bangku alun-alun? Ini lho,Bu!” Kataku nyerocos.
“Memangnya kenapa?”
“Ini lihat!” kataku sambil menyodorkan ponsel.
“Innalilahiwainna illaihirajiun. Benar, ini
lelaki yang kemarin, Pak.”
Umur memang tak ada yang menduga. Kematian hanyalah
rahasia Illahi. Kalau sudah waktunya tiba, tak ada seorang pun yang bisa
menolak. Lelaki itu sudah memenuhi janjinya untuk kembali ke kampung halaman
karena waktunya sudah tiba. Bukannya ke Tasik tapi ke kampung abdi tempat semua
makhluk akan kembali. Jasadnya ditemukan membujur kaku tepat di bawah bangku yang
kemarin kami duduki. Diduga semalam ia benar tidur di sana dan mengalami
kedinginan atau mungkin serangan jantung. Jasadnya ditemukan polisi yang sedang
patroli sekira pukul enam pagi.
Cicalengka, 1 Oktober 2020.
Catatan
Hatur nuhun = terima kasih
Mah
= ungkapan spontan yang biasa mengiringi kalau orang Sunda bicara
Punten = maaf
Usum halodo = musim kemarau
Mapay = menyusuri.
0 Response to "PULANG KAMPUNG"
Post a Comment